Oleh : Elly Herawati, Roni Anasoka
VIVA.co.id - Saya lahir di sebuah desa kecil di pinggiran daerah Tulang Bawang, Lampung. Saya tiga bersaudara dan tinggal bersama ibu. Ayah saya meninggal sejak saya berumur 1,5 tahun.
Di kehidupan desa selalu ada yang suka dan tidak suka kepada orang lain, di desa juga masih banyak orang yang selalu mengurusi urusan orang lain, bahkan tidak jarang banyak di lingkungan saya yang sering mencibir saya.
Bahkan saat ibu saya membuka lahan sawah di sebuah kawasan untuk menanam padi, ada salah satu tetangga saya yang mencibir saya, dia bilang saya badannya kurus kering karena tidak dikasih makan oleh ibu saya.
Saya
pun merasa dunia ini tidak adil, kenapa di saat Indonesia merdeka masih
ada manusia yang berfikir seperti itu. Hal itu berlangsung lama, semua
hinaan dan cacian para tetangga saya anggap sebagai dorongan agar saya
bisa hidup lebih baik lagi dan mengangkat derajat orang tua saya.
Pada
suatu hari, kakak laki-laki saya lulus dari SMP dan ingin melanjutkan
sekolah di kota, ibu pun sangat mendukung keinginan kakak saya. Ibu
mencari pinjaman ke sana ke mari untuk membiayai sekolah kakak.
Bukanya mendapat pinjaman, malah ibu mendapat hinaan dari para tetangga, ada yang bilang “orang miskin, sudah janda mau nyekolahin anak!”
Namun, ibu tak kenal putus asa, ibu mencoba meminjam uang ke tempat
saudara yang ada di desa sebelah, tapi apa yang ibu dapat? Ibu bukan
hanya dihina bahkan lebih parah. Para saudara melarang kakak saya
sekolah, malah disuruh menggembala sapi dan mencari rumput buat makanan sapi.
Bahkan,
para saudara yang lain menyuruh ibu untuk menjual ladang satu-satunya
peninggalan ayah yang selama ini jadi penghidupan kita. Akhirnya, mau
tidak mau ibu pulang dan berfikir keras untuk menyekolahkan kakak saya
di kota.
Pada
saat itu ibu saya memiliki 2 ekor sapi dan ibu pun memutuskan untuk
menjual salah satu sapi yang ibu miliki, sampai akhirnya kakak saya bisa
berangkat sekolah di kota.
Syukur,
kakak saya lulus dengan nilai yang bagus bisa di bilang juara dan pada
saat bersamaan, saya juga lulus dari SMP. Jadi, kelulusan saya dan kakak
saya bersamaan.
Masalah
pun terjadi lagi ketika saya dan kakak saya menginginkan melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan terulang lagi hinaan makian
para tetangga yang tidak senang kepada saya dan keluarga. Tetapi hinaan
dan cacian mereka tak menyurutkan tekad kami untuk terus sekolah.
Saya
melanjutkan sekolah ke tingkat SMA di kota, dan kakak saya melanjutkan
kuliah di perguruan tinggi swasta. Kenapa kakak saya tidak masuk
keperguruan tinggi negeri? Jawabannya karena kakak saya tidak hanya
ingin kuliah, tapi dia juga ingin membiayai kuliah, makan, serta tempat
tinggalnya sendiri.
Bahkan
dia rela membagi uang yang dia kumpulkan kepada saya. Selain kuliah dia
juga berjualan nasi goreng, roti bakar, serta menjadi pembuat makalah
teman mahasiswa yang malas mengerjakan.
Ibu
pun sudah tidak merasa berat karena kakak saya sudah sedikit banyak
bisa membantu keuangan. Saya sekolah dengan tekun dan tidak pernah jajan
di sekolah, karena saya berfikir, kakak saya saja yang sudah bisa cari
uang sendiri tidak pernah jajan di kampus, masa saya yang minta mau
seenaknya.
Waktu
berlalu begitu cepat, akhirnya kakak dan saya lulus juga. Kakak saya
bertekad untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuka rental komputer
seperti pengalaman yang dia dapat dari kampusnya. Saya melanjutkan
kuliah dibiayai kakak saya dan akhirnya lulus dan dapat membantu orang
tua.
Tetangga
saya yang dulu selalu menghina saya, kini perlahan mulai mendekati
keluarga saya. Saya tidak pernah dendam kepadanya, justru berterimakasih
kepadanya, karena atas hinaan dan cacian dia saya bisa menunjukan pada
dunia bahwa tak selamanya anak orang miskin itu tidak mampu bersekolah.
Ini
cerita hidup saya yang benar saya alami, bila suatu saat saya ada
rezeki saya ingin membuat cerita ini menjadi sebuah film. Pesan moral
yang dapat kita ambil adalah jangan pernah membiarkan orang lain
menghina kita untuk yang kedua kalinya, tunjukan pada penghina kita
bahwa kita mampu lebih dari mereka. (Cerita ini dikirim oleh Roni Anasoka, Lampung)
1 komentar:
Ini kisah saya mas, sampean dapet dari mana
Posting Komentar