INILAH.COM, Jakarta - Informasi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) via Zulkieflimansyah kepada Kedubes AS mengenai
biaya politik, mengisyaratkan mahalnya ongkos politik untuk meraih
kekuasaan di negeri ini.
Suplai informasi dari PKS bagi Kedubes AS di Jakarta cukup krusial dalam menghitung dan mengkalkulasi biaya-biaya politik di Indonesia era demokrasi. Ada sisi gelap dari mahalnya biaya politik itu sendiri yakni makin meluasnya korupsi politik di negeri ini.
Informasi dokumen kawat diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang dibocorkan Wikileaks diakui politisi PKS Zulkieflimansyah. Dalam dokumen tertanggal 25 April 2007 itu menyebutkan Adang Dorodjatun ketika maju sebagai cagub DKI Jaya harus membayar sebesar Rp15 miliar hingga Rp25 miliar untuk memperoleh dukungan PKS. Sangat mahal.
Para analis menyatakan, informasi itu bagi AS penting karena mengkonfirmasikan fakta mengapa korupsi politik merajalela di Indonesia dewasa ini. AS, IMF dan Bank Dunia merupakan kekuatan adidaya yang mendesak agar good governance ditegakkan di Indonesia untuk memberantas KKN yang merajalela.
Harus diakui, kehidupan demokrasi di Indonesia berujung pada lingkaran setan biaya politik yang mahal. Kita bisa melihat berapa miliar rupiah yang harus dikeluarkan seorang politikus untuk menjadi anggota Dewan di tingkat pusat maupun daerah. Belum lagi miliaran rupiah yang juga harus keluar dari calon presiden, gubernur, dan wali kota/bupati untuk membiayai kampanye mereka.
Partai politik juga membutuhkan dana besar untuk menjalankan mesin politiknya. Ringkasnya, para politikus mengeluarkan “investasi” yang besar untuk mencapai kedudukan politik. Hal ini berakibat, pada saat berkuasa, mereka mencari imbal balik dari investasi yang mereka lakukan.
Anton A Setyawan MA, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta mengungkapkan bahwa besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menduduki suatu jabatan menjadi sebab suburnya tindak pidana korupsi di Indonesia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menduduki suatu jabatan publik seseorang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dalam hal korupsi, ungkap Anton Setyawan, Partai Demokrat tidak sendirian menjadi parpol yang kadernya terlibat korupsi. Partai lain seperti Partai Golkar, PDIP, PKS,PAN, dan partai lain yang mempunyai kursi di parlemen tidak bebas dari kader yang terlibat korupsi.
Imbal balik “investasi” para politikus ini adalah dana penyelenggaraan negara yang mereka selewengkan dengan berbagai cara. Beberapa bagian dana penyelenggaraan negara masuk ke kantong pribadi, tetapi banyak juga yang masuk ke kas parpol untuk dana kampanye .
Menguatnya korupsi politik membuat sektor pelayanan publik memburuk dan sulit menopang kemajuan rakyat untuk berdikari. Anggaran dan penerimaan negara yang sedianya dipergunakan untuk membiayai pelayanan publik diselewengkan untuk melanggengkan kekuasaan.
Hal ini, ungkap Anton A Setyawan, yang sebenarnya terjadi di balik kasus M Nazarudin/Kemenpora, Nunun Nurbaeti, Kemenakertrans dan politisi lain yang terlibat kasus korupsi besar di negeri ini. Inilah patologi politik di era demokrasi. [mdr]
Suplai informasi dari PKS bagi Kedubes AS di Jakarta cukup krusial dalam menghitung dan mengkalkulasi biaya-biaya politik di Indonesia era demokrasi. Ada sisi gelap dari mahalnya biaya politik itu sendiri yakni makin meluasnya korupsi politik di negeri ini.
Informasi dokumen kawat diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang dibocorkan Wikileaks diakui politisi PKS Zulkieflimansyah. Dalam dokumen tertanggal 25 April 2007 itu menyebutkan Adang Dorodjatun ketika maju sebagai cagub DKI Jaya harus membayar sebesar Rp15 miliar hingga Rp25 miliar untuk memperoleh dukungan PKS. Sangat mahal.
Para analis menyatakan, informasi itu bagi AS penting karena mengkonfirmasikan fakta mengapa korupsi politik merajalela di Indonesia dewasa ini. AS, IMF dan Bank Dunia merupakan kekuatan adidaya yang mendesak agar good governance ditegakkan di Indonesia untuk memberantas KKN yang merajalela.
Harus diakui, kehidupan demokrasi di Indonesia berujung pada lingkaran setan biaya politik yang mahal. Kita bisa melihat berapa miliar rupiah yang harus dikeluarkan seorang politikus untuk menjadi anggota Dewan di tingkat pusat maupun daerah. Belum lagi miliaran rupiah yang juga harus keluar dari calon presiden, gubernur, dan wali kota/bupati untuk membiayai kampanye mereka.
Partai politik juga membutuhkan dana besar untuk menjalankan mesin politiknya. Ringkasnya, para politikus mengeluarkan “investasi” yang besar untuk mencapai kedudukan politik. Hal ini berakibat, pada saat berkuasa, mereka mencari imbal balik dari investasi yang mereka lakukan.
Anton A Setyawan MA, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta mengungkapkan bahwa besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menduduki suatu jabatan menjadi sebab suburnya tindak pidana korupsi di Indonesia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menduduki suatu jabatan publik seseorang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dalam hal korupsi, ungkap Anton Setyawan, Partai Demokrat tidak sendirian menjadi parpol yang kadernya terlibat korupsi. Partai lain seperti Partai Golkar, PDIP, PKS,PAN, dan partai lain yang mempunyai kursi di parlemen tidak bebas dari kader yang terlibat korupsi.
Imbal balik “investasi” para politikus ini adalah dana penyelenggaraan negara yang mereka selewengkan dengan berbagai cara. Beberapa bagian dana penyelenggaraan negara masuk ke kantong pribadi, tetapi banyak juga yang masuk ke kas parpol untuk dana kampanye .
Menguatnya korupsi politik membuat sektor pelayanan publik memburuk dan sulit menopang kemajuan rakyat untuk berdikari. Anggaran dan penerimaan negara yang sedianya dipergunakan untuk membiayai pelayanan publik diselewengkan untuk melanggengkan kekuasaan.
Hal ini, ungkap Anton A Setyawan, yang sebenarnya terjadi di balik kasus M Nazarudin/Kemenpora, Nunun Nurbaeti, Kemenakertrans dan politisi lain yang terlibat kasus korupsi besar di negeri ini. Inilah patologi politik di era demokrasi. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar