Rini Friastuti - detikNews
Jakarta - Penetapan vonis hukuman mati bagi gembong
narkotika rupanya masih menjadi kegalauan di tubuh Mahkamah Agung RI.
Beberapa hakim berani dan tegas mengetuk palu hukuman mati bagi pengedar
the silent killer. Ada pula yang memberikan keringanan bagi sang bandar kakap narkotika yaitu dengan pemberian hukuman seumur hidup.
"Itu
susah, ada hakim yang berpendapat yang berhak mencabut nyawa adalah
Tuhan. Ada yang berpendapat bisa dijatuhi hukuman mati karena sudah ada
aturannya," kata Ketua MA Hatta Ali, usai menjadi pembicara dalam
Lokakarya Transparansi Pengadilan dan Justice Collaborator di Hotel
Novotel Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/3/2013).
Hal ini dikarenakan
karena adanya perbedaan bagi majelis hakim yang beranggotakan tiga
orang. Masing-masing hakim tentunya berbeda pendapat mengenai vonis
mati, sehingga langkah terbaik hakim adalah melakukan musyawarah antar
hakim dalam penentuan hukuman yang patut diterima terdakwa gembong
narkotika.
"Yang menyidangkan perkara kan bukan satu orang, tapi
tiga orang. Misalnya saya berpendapat perlu dijatuhkan hukuman mati,
ketika dibawa ke musyawarah, yang dua ini menyatakan tidak boleh hukuman
mati karena itu urusan Tuhan. Karena itu saya harus mengalah, karena
saya satu suara, mereka dua orang. Jadi hakim itu dalam memutus perkara
selalu harus satu suara, dan sudah ada ketentuan musyawarah," jelasnya
di hadapan sekitar 50 orang peserta lokakya yang didominasi oleh para
hakim dan wartawan tersebut.
Akan tetapi, dalam memutus perkara
yang memiliki sensitivitas tinggi dan dianggap sangat prinsipal, maka
yang memiliki suara sedikit dapat melakukan dissenting opinion (perbedaan pendapat) dan dapat dipertimbangkan untuk dijadikan putusan akhir.
"Kalau
tidak ada kesepakatan, maka diambil suara terbanyak, tapi kalau suara
minim tapi dianggap sangat prinsip, maka bisa mengajukan dissenting
opinion," ujarnya.
Contoh salah satu kasus dissenting opinion
yang cukup kontroversial adalah pada kasus pembatalan vonis mati gembong
narkoba Hillary K Chimezie yang kedapatan membawa 5,8 kg heroin. Di
tingkat kasasi, dia divonis hukuman mati, akan tetapi pada saat
Peninjauan Kembali (PK), majelis hakim yang terdiri dari Hakim Agung
Imron Anwari, Suwardi, dan Timur Manurung merubah hukumannya menjadi 12
tahun penjara.
Belakangan vonis mengejutkan tersebut mendapatkan sebuah fakta baru ketika ada dugaan hilangnya dissenting opinion hakim agung Suwardi yang menyetujui vonis mati sang gembong narkoba tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar