BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Sabtu, 16 Maret 2013

Ketua MA Bicara Kegalauan Hakim Soal Vonis Mati Gembong Narkoba

Rini Friastuti - detikNews

 Jakarta - Penetapan vonis hukuman mati bagi gembong narkotika rupanya masih menjadi kegalauan di tubuh Mahkamah Agung RI. Beberapa hakim berani dan tegas mengetuk palu hukuman mati bagi pengedar the silent killer. Ada pula yang memberikan keringanan bagi sang bandar kakap narkotika yaitu dengan pemberian hukuman seumur hidup.

"Itu susah, ada hakim yang berpendapat yang berhak mencabut nyawa adalah Tuhan. Ada yang berpendapat bisa dijatuhi hukuman mati karena sudah ada aturannya," kata Ketua MA Hatta Ali, usai menjadi pembicara dalam Lokakarya Transparansi Pengadilan dan Justice Collaborator di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/3/2013).

Hal ini dikarenakan karena adanya perbedaan bagi majelis hakim yang beranggotakan tiga orang. Masing-masing hakim tentunya berbeda pendapat mengenai vonis mati, sehingga langkah terbaik hakim adalah melakukan musyawarah antar hakim dalam penentuan hukuman yang patut diterima terdakwa gembong narkotika.

"Yang menyidangkan perkara kan bukan satu orang, tapi tiga orang. Misalnya saya berpendapat perlu dijatuhkan hukuman mati, ketika dibawa ke musyawarah, yang dua ini menyatakan tidak boleh hukuman mati karena itu urusan Tuhan. Karena itu saya harus mengalah, karena saya satu suara, mereka dua orang. Jadi hakim itu dalam memutus perkara selalu harus satu suara, dan sudah ada ketentuan musyawarah," jelasnya di hadapan sekitar 50 orang peserta lokakya yang didominasi oleh para hakim dan wartawan tersebut.

Akan tetapi, dalam memutus perkara yang memiliki sensitivitas tinggi dan dianggap sangat prinsipal, maka yang memiliki suara sedikit dapat melakukan dissenting opinion (perbedaan pendapat) dan dapat dipertimbangkan untuk dijadikan putusan akhir.

"Kalau tidak ada kesepakatan, maka diambil suara terbanyak, tapi kalau suara minim tapi dianggap sangat prinsip, maka bisa mengajukan dissenting opinion," ujarnya.

Contoh salah satu kasus dissenting opinion yang cukup kontroversial adalah pada kasus pembatalan vonis mati gembong narkoba Hillary K Chimezie yang kedapatan membawa 5,8 kg heroin. Di tingkat kasasi, dia divonis hukuman mati, akan tetapi pada saat Peninjauan Kembali (PK), majelis hakim yang terdiri dari Hakim Agung Imron Anwari, Suwardi, dan Timur Manurung merubah hukumannya menjadi 12 tahun penjara.

Belakangan vonis mengejutkan tersebut mendapatkan sebuah fakta baru ketika ada dugaan hilangnya dissenting opinion hakim agung Suwardi yang menyetujui vonis mati sang gembong narkoba tersebut.

Tidak ada komentar: