BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 08 Maret 2013

Plus Minus Ganjil Genap

VIVAnews -- Begitu parahnya kemacetan di Jakarta. Cobalah bertandang ke kota ini pada jam kerja, semua jalan utama seperti terkunci. Ribuan motor meraung mencari celah di antara barisan padat ribuan mobil. Asap knalpot pekat meruap. Waktu seperti bergerak lambat. Semua kendaraan itu tampak lumpuh.
Para sopir taksi di Jakarta pasti menyerah kalau ditanya di mana jalur lancar pada jam kerja yang sibuk. “Karena semua jalan macet, kita cuma punya satu pilihan: mau macet di mana?”, begitu ujar seorang sopir taksi berseloroh. Nadanya terdengar setengah frustasi.
Kemacetan Jakarta bahkan menggerus tali silaturahmi. Pertemuan dengan kolega, kerabat, atau bahkan antar warga, kerap batal. Ada cerita dari ratusan anak jalanan di Jakarta, yang kecewa berat pada Jumat, 22 Februari lalu.
Pada hari itu, para bocah yang kerap mengais rezeki di jalanan berkumpul di Kampung Pedongkelan, Pulogadung, Jakarta Timur.  Mereka berjubel duduk di bawah tenda biru. Ada banyak hiburan rupanya di acara bertajuk "Ngobrol Bareng Bersama Anak Jalanan dan Orang tua" itu.
Mereka menunggu seorang tamu penting, yang belum tiba meski hari sudah beranjak petang. Tiba-tiba, ada satu sedan hitam merapat dekat tenda, dengan didahului oleh voorijder. Serempak anak-anak jalanan itu bangkit, dan berteriak,  "Jokowi! Jokowi! Jokowi!".  Gubernur DKI itu memang sedang ditunggu di sana.
Rupanya yang keluar dari dalam mobil bukan sang gubernur. Dia adalah Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri, yang juga tamu acara itu. "Bukan. Itu bukan Jokowi," ujar anak-anak jalanan itu. Mereka lalu kembali ke tenda, dan masih sabar menunggu tokoh idola. Tapi sampai menjelang malam, Jokowi tak juga tiba.
Wali Kota Jakarta Timur, HR Krisdianto,  akhirnya naik ke panggung. Dia mengabarkan sang gubernur tak bisa hadir.  "Mobilnya tidak bisa bergerak di jalan karena macet. Jadi lain waktu saja bertemu lagi. Pak Jokowi menyampaikan salam untuk anak-anakku semua," kata HR Krisdianto. Anak-anak kecewa. Acara pun bubar.
Apa yang dialami oleh Gubernur Jokowi, adalah peristiwa rutin bagi banyak warga Jakarta. Tak terhitung kerugian materi ditimbulkan oleh macet.
Celakanya, dari hari ke hari, macet kian parah. Ribuan polisi yang dikerahkan pun tak banyak menolong. Sementara jumlah kendaraan bermotor makin hari makin membengkak.
Simak data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Sejak Januari sampai April 2012 ada sekitar 13.346.802 kendaraan yang membebani jalanan Jakarta.  Jika tak ada pembenahan sistem transportasi, berdasarkan riset di Kementerian Pekerjaan Umum, lalu lintas Jakarta akan total terkunci pada 2014.  Kendaraan warga bakal tersendat sejak ke luar dari rumah.
Soalnya, panjang jalan yang ada tak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan bermotor. Di Jakarta,  jalan tersedia hanya sekitar 7,2 ribu kilometer, sedangkan kebutuhan hingga 2012 adalah 12 ribu kilometer. "Itu berarti baru memenuhi 60 persen kebutuhan masyarakat atas jalan," kata Setiabudi Albamar,  staf ahli Bidang Ekonomi dan Investasi Kementerian Pekerjaan Umum.
Meski penguasa Jakarta datang silih berganti, soal macet ini masih saja menjadi problem besar tak terpecahkan. Beragam solusi ditawarkan, termasuk dengan baliho yang memberikan harapan: “Macet pasti akan terurai”. Faktanya, macet tambah menggila.
Formula ganjil genap
Itu sebabnya, Gubernur Jokowi yang baru memerintah Ibukota, mencari formula yang tepat. Dia memilih solusi pembatasan kendaraan lewat nomor polisi ganjil dan genap. Sebetulnya, ini bukan wacana baru. Sistem itu sudah dibicarakan sejak awal 2011 lalu. Pada perhelatan SEA Games pada November 2011, mestinya sistem ganjil genap ini akan dicoba. Tapi entah mengapa batal.
Ide itu kini muncul lagi, dan menjadi prioritas di era Gubernur Jokowi. Semula sistem ganjil genap dijadwalkan berlaku Maret 2013. Tapi diundur sampai akhir Juni tahun ini. Alasan Jokowi, persiapan belum maksimal.  Ada hal yang masih dikaji, perubahan kebiasaan warga dari membawa mobil pribadi, menjadi naik angkutan umum.  "Itu yang harus dihitung, dan belum saya dapatkan," ujar Jokowi, Kamis, 28 Februari 2013.
Sistem ini memang harus dihitung masak-masak.  Syaratnya harus ada transportasi publik yang memadai. Angkutan pengganti harus terintegrasi. Pelayanan Transjakarta juga harus diperbaiki. Misalnya, kata Jokowi, akan ada penambahan 600 bus Transjakarta sebagai penunjang. Tentu, agar rapi, harus ada koordinasi ketat dengan Polda Metro Jaya.
Kalau sistem ini berjalan, dia akan menjadi batu loncatan ke sistem lebih canggih,  yakni jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Setelah itu barulah solusi lain dipertimbangkan: transportasi massal MRT, dan monorail. Jokowi sadar, di negara lain sistem ini selalu gagal. [Lihat bagian 3 Agar Ganjil-Genap Tidak Ganjil]. Tapi dia toh mengembalikan hal itu ke warga. "Tergantung masyarakat. Kita mau macet atau tidak macet. Itu saja menurut saya," ucap Jokowi.
Soal rute yang akan diujicoba awal, kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono, adalah jalur eks 3 in 1, yaitu Jalan Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Gatot Subroto dan Rasuna Said. Juga kawasan lingkar dalam kota yang dilalui jalur bus Transjakarta.
Sistem itu akan diterapkan pada hari kerja, mulai pukul 6 pagi hingga 8 malam. Kebijakan itu tak berlaku di hari Sabtu, Minggu dan hari libur nasional. Bagi kendaraan dari luar Jakarta, seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor, tetap harus patuh pada aturan. " Harus menyesuaikan diri, karena mereka tamu," ujar Udar.
Sistem ganjil genap itu akan bekerja dengan tanda stiker. Setiap mobil pribadi, kecuali mobil barang, akan ditempel stiker. Tanda itu dipasang di kaca depan mobil bagian atas. Untuk pelat mobil berangka ganjil, stikernya warna hijau. Angka genap, warnanya merah. Stiker itu juga berguna menghindari pemalsuan pelat nomor. Untuk menyediakan stiker bagi 2,5 juta mobil, Pemprov DKI merogoh dana Rp12,5 miliar.
Mobil yang boleh melintas di jalur ganjil genap disesuaikan tanggal pada saat itu. Kata dia, mobil berpelat ganjil akan melintas pada tanggal ganjil. Pelat genap boleh lewat di tanggal genap. Kajian soal sistem ini masih dilakukan oleh Dinas Perhubungan, dan Polda Metro Jaya. Terutama soal pengawasan sistem itu, apakah manual atau elektronik.
Pengawasan elektronik
Soal pengawasan ini memang tak mudah.  Tenaga yang ada terbatas. Maka, kata Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Wahyono, yang paling mungkin adalah cara elektronik. Cara itu juga efektif memantau kepadatan kendaraan yang luar biasa.
Untuk itu, persiapan data digital yang akurat pun dilakukan. Polda Metro Jaya, misalnya,  kini menyiapkan electronic registration and identification (ERI), berupa data digital kendaraan dan pengemudinya. Proyek pemindahan data manual ke elektronik itu baru tuntas sekitar 50-60 persen. Itu sebabnya, kebijakan ganjil genap belum bisa segera diterapkan.
ERI adalah data yang akan disimpan di Traffic Management Center (TMC) Polda Metro Jaya. Dengan begitu, kendaraan pelanggar aturan ini akan mudah diidentifikasi petugas TMC.
Proses digitalisasi data ini, kata Wahyono, memang makan waktu. Ada ratusan ribu lembar kertas milik kepolisian dari dulu hingga sekarang. Setelah proses ERI kelar, polisi akan berkoordinasi dengan stakeholder. "Kami tak mau buru-buru, karena ERI ini kan data base. Kalau salah bisa fatal," ujarnya.
Data digital itu juga bisa digunakan untuk hal lain. Misalnya oleh e-banking, atau membayar ERP, dan parkir on street. Untuk e-banking, Polda akan bekerjasama dengan beberapa bank swasta dan pemerintah. Dengan ERI, orang tidak perlu lagi repot membayar pajak ke kantor polisi. Cukup lewat e-banking saja.
ERI juga bisa mengantisipasi pelat palsu. Kendaraan berpelat palsu akan mudah diiketahui bila pengendara melanggar aturan lalulintas.
Bila data digital itu beres, maka akan dipasang kamera di sepanjang jalur ganjil genap. Ini bagian dari electronic traffic law enforcement (ETLE), atau tilang elektronik. Para pelanggar akan terekam kamera yang terhubung dengan TMC. Mau ngebut agar terhindar kamera juga percuma. Kamera itu bisa merekam kendaraan dengan kecepatan hingga 200 Km/jam.
Para pelanggar juga tak akan ditilang polisi di tengah jalan. Surat tilang akan dikirim ke rumah pemilik kendaraan melalui pos. “Ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dilakukan petugas," ucapnya.
Kurangi macet 40 persen
Apakah ini solusi manjur bagi macet Jakarta? Belum pasti. Tapi Dinas Perhubungan DKI percaya aturan ini bisa mengurai kemacetan di Jakarta hingga 40 persen. Terutama di jalan-jalan protokol. Sesuai data Dinas Perhubungan, kini kendaraan yang melintas mencapai 262.313.31 unit per jam. Bila sistem ini berjalan, diprediksi jumlahnya akan berkurang menjadi 121.567.28 unit.
Dengan begitu, setiap satu jam jumlah kendaraan pribadi yang beredar berkurang 140.746.02 unit. Tentu, jalanan jadi lebih lega. Pristono memperkirakan, dengan kondisi itu, mobil atau motor bisa melaju sampai 41,2 km per jam. "Sebelumnya hanya 20,8 km per jam. Kemacetan pun akan terurai," ujarnya.
Keuntungan lain, ongkos operasional bisa dihemat. Total, warga DKI akan menghemat biaya transportasi Rp8,85 triliun per tahun. Pemakaian BBM juga akan berkurang hingga 345 ribu kilo liter per tahun. Artinya, bakal hemat 19,7 persen dari kuota BBM bersubsidi di wilayah DKI.
Tapi, tentu sistem ini ada kelemahannya. Menurut Polda Jaya, aturan ini tak bisa berlaku sepanjang tahun. Sebab, kalau untuk jangka waktu lama, ia akan mendorong orang menambah mobil.
Gejala itu pun sudah mulai terlihat. Meski ganjil genap belum diterapkan, banyak warga berniat membeli mobil baru. Mereka juga memesan pelat nomor yang diinginkan kepada dealer. Direktur Marketing After Sales Service PT Honda Prospect Motor (HPM), Jonfis Fandy, mengatakan ada dealer Honda yang meminta biaya tambahan untuk menyesuaikan nomor ganjil atau genap.
Tentang gejala warga beli mobil baru, Pristono mengatakan tak bisa mengendalikannya. "Kalau harus beli tetap akan dipakai satu. Tak mungkin keduanya dipakai pada saat bersamaan," katanya. Lalu, bagaimana bila warga belum siap ikut aturan ini?
Untuk soal ini, Dinas Perhubungan menyiapkan empat alternatif.  Warga bisa menghindari aturan ganjil genap dengan memakai Bus Rapid Transit (BRT). Cara lain mengubah rute perjalanan, atau waktu perjalanan. Bisa juga memakai sistem car pooling.  Atau pilihan akhir: berangkat sebelum pukul 6 pagi, dan pulang setelah pukul 10 malam.
Anda siap?

Tidak ada komentar: