Arifin Asydhad - detikNews
Jakarta - Salah satu agenda Wamenkum HAM Denny
Indrayana ke Den Haag, Belanda adalah bertemu Hague Conference on
Private International Law (HCPIL). Ternyata banyak hal yang bisa
dimanfaatkan Indonesia dalam melakukan kerja sama internasional yang
difasilitasi HCPIL untuk memperkuat kepastian hukum dan membangun iklim
investasi yang sehat.
Pertemuan Wamenkum HAM dan delegasi
Indonesia dengan HCPIL berlangsung di kantor HCPIL di Jl Scheveningseweg
6, Den Haag, Senin (4/3/2013) dari pukul 15.30 hingga 17.00 waktu
setempat. Delegasi diterima oleh Sekjen HCPIL Hans Van Loon. Diskusi
berjalan menarik dengan suguhan teh, kopi, dan jus jeruk ini.
Salah
satu delegasi Indonesia, Mas Achmad Santosa yang merupakan deputi VI
kepala UKP4 menyambut pertemuan dan diskusi dengan organisasi
internasional antar pemerintah di bidang hukum keperdataan dan
perdagangan itu. "Banyak yang Indonesia manfaatkan untuk memperkuat
kepastian hukum dan membangun iklin investasi yang sehat," kata Mas
Achmad Santosa.
Menurut dia, jaringan kerja sama
internasional/global di sektor hukum keperdataan dan perdagangan ini
belum dimanfaatkan oleh Indonesia walaupun organisasi ini telah
didirikan sejak 1893. Organisasi ini kemudian diresmikan menjadi
organisasi permanen antar pemerintah (a permanent
global/intergovernmental organization) sejak 1955. HCPIL ini
beranggotakan 70 negara (member states) dan Uni Eropa. Sampai saat ini
HCPIL sudah mengadopsi 38 Konvensi Internasional di bidang keperdataan
dan komersial. Hampir Keseluruhan konvensi tersebut berangkat dari
permasalahan riil antar bangsa yg bermuara pada tujuan meningkatkan
kepastian hukum (legal certainty/security) dan kemudahan dalam
mengembangkan transaksi perdagangan investasi antar negara.
Salah
satu yang menarik perhatian Mas Achmad Santosa adalah " Apostille
Convention" yang diadopsi pada tahun 1961. Konvensi ini walaupun sudah
lama diadopsi dan diratifikasi 104 negara, namun belum banyak dikenal di
Indonesia. Konvensi yang berjudul asli " Convention on Abolishing the
Requirement of legalisation for foreign Public Documents" (Konvensi
untuk mempermudah proses legalisasi dokumen publik di negara tertentu
yang rumit dan berbelit) apabila, diratifikasi Indonesia akan
mendatangkan banyak manfaat.
"Dokumen publik saat ini di
Indonesia lebih mudah diakses karena negara kita sudah berkomitmen
mendorong keterbukaan informasi dan memperkuat kualitas pelayanan publik
dalam konteks open government perlu dilengkapi dengan kemudahan mata
rantai legalisasi dokumen publik yang diproduksi negara dan dimintakan
oleh negara asing," terang Mas Achmad Santosa.
Menurut dia,
kemanfaatan resiprositasnya sangat besar baik bagi warga negara/badan
hukum Indonesia ataupun warga negara/badan hukum asing yang mengurus
legalisasi dokumen publik yang memiliki mata rantai yang seringkali
berbelit-belit. Ratifikasi "Konvensi Apostilles" ini sejalan dengan visi
pemerintahan saat ini, yaitu pertama, meningkatkan kualitas pelayanan
publik dengan menghilangkan "bureacratic red tape". Kedua, mendorong
investasi/modal dari luar negeri. Ketiga, realisasi dari komitmen
Indonesia untuk terus mendorong pemerintahan terbuka (open government).
Untuk
diketahui, Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
(Stranas PPK) termuat dalam Perpres 55/2012 salah satu tolok ukur
keberhasilannya adalah meningkatkan indeks "ease of doing business" yang
setiap tahun diluncurkan Bank Dunia. "Keikutsertaan Indonesia dalam
"Konvensi Apostilles" ini saya yakin akan meningkatkan indeks ease of
doing business ini," kata Mas Achmad Santosa.
Sementara Cahyo
Rahadian Muhzar, Direktur Hukum Internasional di Kemkum HAM, juga
menilai Indonesia perlu ikut bergabung dalam organisasi ini. Salah satu
keuntungannya, Indonesia bisa melakukan kerja sama dengan negara-negara
anggota bila terjadi wanprestasi dalam bidang usaha/investasi dengan
negara lain.
"Sebagai misal, bila ada kasus wanprestasi antara
perusahaan dalam negeri dengan perusahaan asing, maka Indonesia bisa
mengajukan persidangan di dalam negeri, dan nanti negara anggota tempat
perusahaan asing itu berada bisa membantu untuk melakukan eksekusi dalam
pembayaran ganti rugi," kata Cahyo.
Dalam kunjungan ke Den Haag,
Denny membawa beberapa delegasi. Antara lain Mas Achmad Santosa (deputi
VI UKP4), Cahyo Rahadian Muhzar (Direktur Hukum Internasional di Kemkum
HAM), Indriaswati Dyah Saptaningrum (direktur eksekutif ELSAM), Refly
Harun (direktur ekskutif Constitusional & Electoral Reform Center),
dan Hasrul Halili (direktur eksekutif Studi Pusat Anti Korupsi UGM), Tri
Atmojo Sejati (Kemenkum HAM), dan Kilal Abidin (Kemenkum HAM).
Diskusi
yang berlangsung di kantor HCPIL cukup menarik. HCPIL mengajak
Indonesia untuk bergabung. Sementara pertanyaan-pertanyaan mengenai
keberadaan HCPIL dilayangkan para delegasi Indonesia, termasuk bagaimana
pendanaan HCPIL. Juga ditanyakan bagaimana keuntungan yang didapatkan
Indonesia bila menjadi anggota konferensi ini atau ikut meratifikasi
konvensi-konvensi yang ditetapkan HCPIL.
HPCIL saat ini juga
telah memiliki kantor regional di Hong Kong. Beberapa negara besar yang
menjadi anggota HCPIL, antara lain Brazil, Australia, China, Jerman,
Prancis, Italia, India, Jepang, Rusia, Afrika Selatan, Swiss, Turki,
Inggris, dan Amerika. Beberapa negara Asia Tenggara yang ikut menjadi
anggota, antara lain Filipina dan Malaysia. Sementara negara-negara Asia
Tenggara yang telah bekerja sama namun tidak menjadi anggota antara
lain Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Sudah
banyak konvensi yang dihasilkan organisasi ini, termasuk mengenai
prosedur kependudukan, penculikan anak, adopsi, perceraian, pernikahan,
akses untuk pengadilan, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar