BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 05 Maret 2013

RI Perlu Kerjasama dengan Hague Conference on Private International Law

Arifin Asydhad - detikNews

Jakarta - Salah satu agenda Wamenkum HAM Denny Indrayana ke Den Haag, Belanda adalah bertemu Hague Conference on Private International Law (HCPIL). Ternyata banyak hal yang bisa dimanfaatkan Indonesia dalam melakukan kerja sama internasional yang difasilitasi HCPIL untuk memperkuat kepastian hukum dan membangun iklim investasi yang sehat.

Pertemuan Wamenkum HAM dan delegasi Indonesia dengan HCPIL berlangsung di kantor HCPIL di Jl Scheveningseweg 6, Den Haag, Senin (4/3/2013) dari pukul 15.30 hingga 17.00 waktu setempat. Delegasi diterima oleh Sekjen HCPIL Hans Van Loon. Diskusi berjalan menarik dengan suguhan teh, kopi, dan jus jeruk ini.

Salah satu delegasi Indonesia, Mas Achmad Santosa yang merupakan deputi VI kepala UKP4 menyambut pertemuan dan diskusi dengan organisasi internasional antar pemerintah di bidang hukum keperdataan dan perdagangan itu. "Banyak yang Indonesia manfaatkan untuk memperkuat kepastian hukum dan membangun iklin investasi yang sehat," kata Mas Achmad Santosa.

Menurut dia, jaringan kerja sama internasional/global di sektor hukum keperdataan dan perdagangan ini belum dimanfaatkan oleh Indonesia walaupun organisasi ini telah didirikan sejak 1893. Organisasi ini kemudian diresmikan menjadi organisasi permanen antar pemerintah (a permanent global/intergovernmental organization) sejak 1955. HCPIL ini beranggotakan 70 negara (member states) dan Uni Eropa. Sampai saat ini HCPIL sudah mengadopsi 38 Konvensi Internasional di bidang keperdataan dan komersial. Hampir Keseluruhan konvensi tersebut berangkat dari permasalahan riil antar bangsa yg bermuara pada tujuan meningkatkan kepastian hukum (legal certainty/security) dan kemudahan dalam mengembangkan transaksi perdagangan investasi antar negara.

Salah satu yang menarik perhatian Mas Achmad Santosa adalah " Apostille Convention" yang diadopsi pada tahun 1961. Konvensi ini walaupun sudah lama diadopsi dan diratifikasi 104 negara, namun belum banyak dikenal di Indonesia. Konvensi yang berjudul asli " Convention on Abolishing the Requirement of legalisation for foreign Public Documents" (Konvensi untuk mempermudah proses legalisasi dokumen publik di negara tertentu yang rumit dan berbelit) apabila, diratifikasi Indonesia akan mendatangkan banyak manfaat.

"Dokumen publik saat ini di Indonesia lebih mudah diakses karena negara kita sudah berkomitmen mendorong keterbukaan informasi dan memperkuat kualitas pelayanan publik dalam konteks open government perlu dilengkapi dengan kemudahan mata rantai legalisasi dokumen publik yang diproduksi negara dan dimintakan oleh negara asing," terang Mas Achmad Santosa.

Menurut dia, kemanfaatan resiprositasnya sangat besar baik bagi warga negara/badan hukum Indonesia ataupun warga negara/badan hukum asing yang mengurus legalisasi dokumen publik yang memiliki mata rantai yang seringkali berbelit-belit. Ratifikasi "Konvensi Apostilles" ini sejalan dengan visi pemerintahan saat ini, yaitu pertama, meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan menghilangkan "bureacratic red tape". Kedua, mendorong investasi/modal dari luar negeri. Ketiga, realisasi dari komitmen Indonesia untuk terus mendorong pemerintahan terbuka (open government).

Untuk diketahui, Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) termuat dalam Perpres 55/2012 salah satu tolok ukur keberhasilannya adalah meningkatkan indeks "ease of doing business" yang setiap tahun diluncurkan Bank Dunia. "Keikutsertaan Indonesia dalam "Konvensi Apostilles" ini saya yakin akan meningkatkan indeks ease of doing business ini," kata Mas Achmad Santosa.

Sementara Cahyo Rahadian Muhzar, Direktur Hukum Internasional di Kemkum HAM, juga menilai Indonesia perlu ikut bergabung dalam organisasi ini. Salah satu keuntungannya, Indonesia bisa melakukan kerja sama dengan negara-negara anggota bila terjadi wanprestasi dalam bidang usaha/investasi dengan negara lain.

"Sebagai misal, bila ada kasus wanprestasi antara perusahaan dalam negeri dengan perusahaan asing, maka Indonesia bisa mengajukan persidangan di dalam negeri, dan nanti negara anggota tempat perusahaan asing itu berada bisa membantu untuk melakukan eksekusi dalam pembayaran ganti rugi," kata Cahyo.

Dalam kunjungan ke Den Haag, Denny membawa beberapa delegasi. Antara lain Mas Achmad Santosa (deputi VI UKP4), Cahyo Rahadian Muhzar (Direktur Hukum Internasional di Kemkum HAM), Indriaswati Dyah Saptaningrum (direktur eksekutif ELSAM), Refly Harun (direktur ekskutif Constitusional & Electoral Reform Center), dan Hasrul Halili (direktur eksekutif Studi Pusat Anti Korupsi UGM), Tri Atmojo Sejati (Kemenkum HAM), dan Kilal Abidin (Kemenkum HAM).

Diskusi yang berlangsung di kantor HCPIL cukup menarik. HCPIL mengajak Indonesia untuk bergabung. Sementara pertanyaan-pertanyaan mengenai keberadaan HCPIL dilayangkan para delegasi Indonesia, termasuk bagaimana pendanaan HCPIL. Juga ditanyakan bagaimana keuntungan yang didapatkan Indonesia bila menjadi anggota konferensi ini atau ikut meratifikasi konvensi-konvensi yang ditetapkan HCPIL.

HPCIL saat ini juga telah memiliki kantor regional di Hong Kong. Beberapa negara besar yang menjadi anggota HCPIL, antara lain Brazil, Australia, China, Jerman, Prancis, Italia, India, Jepang, Rusia, Afrika Selatan, Swiss, Turki, Inggris, dan Amerika. Beberapa negara Asia Tenggara yang ikut menjadi anggota, antara lain Filipina dan Malaysia. Sementara negara-negara Asia Tenggara yang telah bekerja sama namun tidak menjadi anggota antara lain Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Sudah banyak konvensi yang dihasilkan organisasi ini, termasuk mengenai prosedur kependudukan, penculikan anak, adopsi, perceraian, pernikahan, akses untuk pengadilan, dan sebagainya.

Tidak ada komentar: