VIVAnews - Korupsi di Indonesia tidak saja bersifat
sistemik, namun lebih dari itu korupsi yang terjadi cenderung bersifat
struktural. Model korupsi struktural terjadi akibat sistem yang berlaku
di sebuah negara cenderung mendorong individu di negara tersebut untuk
melakukan korupsi.
Dr Rimawan Pradiptya, Deputi Penelitian dan Basis Data dari Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Universitas Gadjah Mada, menyatakan korupsi sebagai kejahatan merupakan tindak pidana 'extra ordinary crime' yang bisa menurunkan kapasitas nasional dan berdampak negatif ada pembangunan.
"Perlu ada upaya keras, menerapkan hukuman yang bisa membuat jera. Ekonom berpikir, waktunya memiskinkan koruptor. Sayangnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya terapkan denda maksimum hingga Rp1 miliar, padahal nilai korupsi tak ada batasnya," kata Rimawan Pradiptya, di Kampus UGM Yogyakarta, Senin 4 Maret 2013.
Menurut Rimawan dengan mengacu aturan UU Tipikor, selamanya tak akan bisa membuat jera koruptor untuk menghentikan aksinya. Perlu ada langkah bersama untuk mengamandemen UU Tipikor dengan menambah poin langkah memiskinkan koruptor dengan membebankan kerugian sosial akibat tindak korupsi yang dilakukan.
"Biaya sosial korupsi perlu juga dihitung untuk jadi pertimbangan putusan hakim tipikor. Di negara maju, yang rendah angka korupsinya ada perhitungan biaya sosial kejahatan. Ini yang perlu kita dorong," katanya.
Dalam penelitian yang dilakukannya, besarnya total hukuman finansial yang dijatuhkan kepada koruptor sepanjang 2001-2012 hanya 8,97 persen dari total biaya eksplisit akibat korupsi. Beban terbesar atas perbedaan biaya eksplisit korupsi dan total hukuman finansial yang terhitung mencapai Rp153,1 triliun.
"Itu ditanggung rakyat pembayar pajak. Di Indonesia disadari atau tidak, sistem yang ada menciptakan rakyat memberikan subsidi kepada koruptor. Fakta yang ironis," katanya.
Rimawan menawarkan metode memiskinkan koruptor menjadi langkah yang bisa ditempuh dalam penegakan hukum. Salah satunya, menghitung biaya sosial korupsi yang ditimbulkan agar seluruh dampak negatif yang diakibatkan korupsi dibebankan kepada koruptor.
“Waktunya menghentikan besarnya subsidi rakyat untuk koruptor, sebab jika dana ratusan triliun akibat korupsi terselamatkan bisa dialihkan untuk mewujudkan aneka program bidang kesehatan, ketahanan energi, ketahanan pangan, lingkungan hidup, pendidikan gratis hingga pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan Indonesia," ujar Rimawan. (eh)
Dr Rimawan Pradiptya, Deputi Penelitian dan Basis Data dari Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Universitas Gadjah Mada, menyatakan korupsi sebagai kejahatan merupakan tindak pidana 'extra ordinary crime' yang bisa menurunkan kapasitas nasional dan berdampak negatif ada pembangunan.
"Perlu ada upaya keras, menerapkan hukuman yang bisa membuat jera. Ekonom berpikir, waktunya memiskinkan koruptor. Sayangnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya terapkan denda maksimum hingga Rp1 miliar, padahal nilai korupsi tak ada batasnya," kata Rimawan Pradiptya, di Kampus UGM Yogyakarta, Senin 4 Maret 2013.
Menurut Rimawan dengan mengacu aturan UU Tipikor, selamanya tak akan bisa membuat jera koruptor untuk menghentikan aksinya. Perlu ada langkah bersama untuk mengamandemen UU Tipikor dengan menambah poin langkah memiskinkan koruptor dengan membebankan kerugian sosial akibat tindak korupsi yang dilakukan.
"Biaya sosial korupsi perlu juga dihitung untuk jadi pertimbangan putusan hakim tipikor. Di negara maju, yang rendah angka korupsinya ada perhitungan biaya sosial kejahatan. Ini yang perlu kita dorong," katanya.
Dalam penelitian yang dilakukannya, besarnya total hukuman finansial yang dijatuhkan kepada koruptor sepanjang 2001-2012 hanya 8,97 persen dari total biaya eksplisit akibat korupsi. Beban terbesar atas perbedaan biaya eksplisit korupsi dan total hukuman finansial yang terhitung mencapai Rp153,1 triliun.
"Itu ditanggung rakyat pembayar pajak. Di Indonesia disadari atau tidak, sistem yang ada menciptakan rakyat memberikan subsidi kepada koruptor. Fakta yang ironis," katanya.
Rimawan menawarkan metode memiskinkan koruptor menjadi langkah yang bisa ditempuh dalam penegakan hukum. Salah satunya, menghitung biaya sosial korupsi yang ditimbulkan agar seluruh dampak negatif yang diakibatkan korupsi dibebankan kepada koruptor.
“Waktunya menghentikan besarnya subsidi rakyat untuk koruptor, sebab jika dana ratusan triliun akibat korupsi terselamatkan bisa dialihkan untuk mewujudkan aneka program bidang kesehatan, ketahanan energi, ketahanan pangan, lingkungan hidup, pendidikan gratis hingga pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan Indonesia," ujar Rimawan. (eh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar