VIVAnews - Puluhan pemilik perusahan otobus, khususnya yang bergerak di sektor pariwisata,
menolak secara tegas kebijakan pemerintah untuk membatasi penjualan
solar bersubsidi di SPBU dan kebijakan solar bersubsidi tidak dijual
saat malam hari.
Ketua Pariwisata - AKAP, Organda Daerah Istimewa Yogyakarta, Hantoro, menegaskan kebijakan pemerintah tersebut bagi pelaku usaha otobus pariwisata jelas akan berdampak pada ketidakjelasan tarif yang dapat ditawarkan pada pelanggan yang kebanyakan biro travel agen wisata.
"Kami tidak akan bisa memberikan tawaran tarif untuk 3 atau 6 bulan ke depan, jika kebijakan pembatasan ini dilakukan. Bus yang kita miliki jalannya tidak siang hari, namun juga malam hari. Bayangkan, jika siang menggunakan solar subsidi, malam menggunakan solar non subsidi akan sangat repot sekali," katanya kepada VIVAnews, Selasa 5 Agustus 2014.
Pemilik PO Otobus GG yang berlokasi di Imogiri Bantul ini juga mengatakan, jika pemerintah membatasi solar bersubsisi, lebih baik naikkan saja harganya dan akan lebih memudahkan dalam iklim usaha, karena akan ada kejelasan harga sewa bus yang akan ditawarkan.
"Pemerintah harus jujur kepada rakyat, kalau negara baru defisit. Jangan hanya pencitraan takut menaikkan harga BBM, tetapi membatasi BBM bersubsidi," bebernya.
Saat ini, dia juga bingung untuk menaikkan sewa bus untuk perjalanan 3 atau 6 bulan ke depan dengan kebijakan pembatasan solar bersubsidi. Sebab perusahaannya terikat kontrak dengan harga sewa yang lama.
"Untuk harga sewa bus ukuran besar dalam 24 jam sebesar Rp2,4 juta dan bus sedang harga sewa Rp1,7 juta dalam 24 jam. Ketika harga solar tak ada kejelasan, kami pasti nombok," tegasnya.
Hantono menjelaskan, jumlah armada bus pariwisata untuk ukuran sedang dan besar di Yogyakarta saat ini diperkirakan mencapai 600 armada. Jika kebijakan pembatasan solar bersubsidi, dipastikan kepastian usaha bagi pemilik otobus pariwisata semakin tak jelas.
"Ditanya berapa sewa bus untuk wisata 3 bulan atau 6 bulan, kita susah menjawab. Bagaimana mau usaha lancar?" tuturnya.
Lebih jauh, Hantono mengakui, perusahaannya juga diundang bidang ESDM Pemda DIY untuk membahas kebijakan pembatasan solar bersubsidi.
"Kalau suara kita jelas menolak. Namun, sepakat menaikkan BBM secara bertahap agar ada kepastian usaha. Serta, pemerintah harus jujur kepada rakyat kalau sedang defisit keuangan. Sebab, apa pun akhirnya yang menanggung tetap rakyat," ujarnya. (ita)
Ketua Pariwisata - AKAP, Organda Daerah Istimewa Yogyakarta, Hantoro, menegaskan kebijakan pemerintah tersebut bagi pelaku usaha otobus pariwisata jelas akan berdampak pada ketidakjelasan tarif yang dapat ditawarkan pada pelanggan yang kebanyakan biro travel agen wisata.
"Kami tidak akan bisa memberikan tawaran tarif untuk 3 atau 6 bulan ke depan, jika kebijakan pembatasan ini dilakukan. Bus yang kita miliki jalannya tidak siang hari, namun juga malam hari. Bayangkan, jika siang menggunakan solar subsidi, malam menggunakan solar non subsidi akan sangat repot sekali," katanya kepada VIVAnews, Selasa 5 Agustus 2014.
Pemilik PO Otobus GG yang berlokasi di Imogiri Bantul ini juga mengatakan, jika pemerintah membatasi solar bersubsisi, lebih baik naikkan saja harganya dan akan lebih memudahkan dalam iklim usaha, karena akan ada kejelasan harga sewa bus yang akan ditawarkan.
"Pemerintah harus jujur kepada rakyat, kalau negara baru defisit. Jangan hanya pencitraan takut menaikkan harga BBM, tetapi membatasi BBM bersubsidi," bebernya.
Saat ini, dia juga bingung untuk menaikkan sewa bus untuk perjalanan 3 atau 6 bulan ke depan dengan kebijakan pembatasan solar bersubsidi. Sebab perusahaannya terikat kontrak dengan harga sewa yang lama.
"Untuk harga sewa bus ukuran besar dalam 24 jam sebesar Rp2,4 juta dan bus sedang harga sewa Rp1,7 juta dalam 24 jam. Ketika harga solar tak ada kejelasan, kami pasti nombok," tegasnya.
Hantono menjelaskan, jumlah armada bus pariwisata untuk ukuran sedang dan besar di Yogyakarta saat ini diperkirakan mencapai 600 armada. Jika kebijakan pembatasan solar bersubsidi, dipastikan kepastian usaha bagi pemilik otobus pariwisata semakin tak jelas.
"Ditanya berapa sewa bus untuk wisata 3 bulan atau 6 bulan, kita susah menjawab. Bagaimana mau usaha lancar?" tuturnya.
Lebih jauh, Hantono mengakui, perusahaannya juga diundang bidang ESDM Pemda DIY untuk membahas kebijakan pembatasan solar bersubsidi.
"Kalau suara kita jelas menolak. Namun, sepakat menaikkan BBM secara bertahap agar ada kepastian usaha. Serta, pemerintah harus jujur kepada rakyat kalau sedang defisit keuangan. Sebab, apa pun akhirnya yang menanggung tetap rakyat," ujarnya. (ita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar