TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT
Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto menyatakan perhitungan kerugian
sebesar Rp 14,8 triliun lantaran menanggung selisih harga bahan bakar
minyak bersubsidi jenis Premium. Selisih itu ditanggung sejak Februari
2015.
"Kerugian ini untuk Premium daerah Jamali (Jawa Madura
dan Bali) dan non-Jamali," ujar Dwi dalam rapat dengar pendapat bersama
Komisi VII DPR, Selasa, 1 September 2015.
Kerugian untuk Premium wilayah Jamali sebesar Rp 5,9 triliun. Sementara
wilayah non-Jamali mencapai Rp 8,9 triliun. Patokannya adalah harga jual
Premium wilayah Jamali sebesar Rp 7.400 per liter, dan non-Jamali
sebesar Rp 7.300 per liter.
Perhitungan dilakukan berdasarkan harga acuan Singapura (mean of platts/MoPS) yang trennya sempat naik. Melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga mendukung membengkaknya selisih ini.
Perhitungan harga berdasarkan rata-rata pergerakan MoPS dan kurs selama
sebulan, yakni Juli-Agustus, keluar harga keekonomian Premium mencapai
Rp 7.700 per liter. Untuk perhitungan rata-rata tiga bulan dan empat
bulan, harga keekonomian mencapai Rp 8.450 dan Rp 8.600 per liter.
Sedangkan jika perhitungan dilakukan secara enam bulan (periode
Februari-Agustus), didapatkan harga Premium sebesar Rp 8.350 per liter.
"Jadi kalau dilihat dari semua perhitungan, harga keekonomian masih
lebih tinggi dari harga jual," kata Dwi.
Akhir pekan lalu harga minyak dunia menyentuh angka US$ 40 per barel
sebelum naik pada awal pekan ini ke US$ 50 per barel. Dwi menaksir jika
tren harga beberapa bulan ke depan tetap rendah, harga jual Premium bisa
sama dengan harga keekonomiannya.
ROBBY IRFANY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar