BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Sabtu, 30 April 2011

Dari Investasi Emas Hingga Deposito

Solahudin, penulis buku "Salafi Jihadi di Indonesia" yang akan terbit akhir Mei 2011.


VIVAnews - Tanggal 20 Februari 1998 menjadi hari bersejarah bagi sebuah faksi Negara Islam Indonesia (NII). Hari itu di sebuah tempat di wilayah Subang sedang berlangsung rapat para pimpinan NII.
Beberapa petinggi kelompok ini, Adah Djaelani, Ules Sujai dan Abu Toto, hadir di sana.  Suasana pertemuan tak seperti pertemuan kaum radikal. Tak ada peserta yang mengenakan celana cingkrang dan berbaju koko. Semuanya mengenakan jas dan dasi, rapi jali.
Pertemuan pun tak diadakan di mesjid tapi di sebuah tempat yang mirip hotel. Semua peserta duduk di meja dan kursi yang disusun rapi dan dihiasi vas  bunga. Orang biasa bisa kecele, menduga acara ini rapat pimpinan perusahaan.
Padahal, acaranya adalah Sidang Majelis Syuro NII denga agenda melantik Imam NII yang baru. Adah Djaelani yang jadi Imam sejak 1979 lengser dan menyerahkan kepemimpinan kepada Abu Toto alias Panji Gumilang yang kini memimpin Mahad Al Zaitun, Indramayu.
Abu Toto adalah imam dari salah satu faksi yang ada di dalam NII. ”Sebagian orang memang lebih suka menyebut NII Abu Toto sebagai NII KW [Komandemen Wilayah] 9,” ujar Imam Supriyanto, mantan menteri di kelompok ini.
Menurut dia, cikal bakal NII Abu Toto memang NII KW 9.  Istilah Komandemen Wilayah ini sebenarnya merujuk kepada sistem organisasi jamaah ini yang membagi wilayahnya menjadi sembilan wilayah.
KW 9 didirikan pada zaman Komando Jihad pada tahun 1970-an. Komando Jihad adalah gerakan orang-orang ex NII yang merencanakan pemberontakan bersenjata.
Beberapa mantan pentolan Darul Islam (DI) seperti Danu Muhammad Hassan, Adah Djaelani, Tahmid Rahmat Basuki (anak Kartosuwirjo), Aceng Kurnia menghidupkan kembali gerakan ini.
Pada 1973 mereka mengangkat Tengku Daud Beureueh sebagai imam baru NII menggantikan almarhum Kartosuwirjo. Pada 1975 para pentolan DI menyusun struktur NII yang  merujuk pada sistem Komandemen Wilayah.
Mereka membagi Indonesia menjadi sembilan wilayah.  Salah satunya adalah KW 9 yang meliputi daerah Jakarta dan Banten.  Daerah ini dianggap strategis karena pusat pemerintah Indonesia, yang menjadi musuh, berada di Jakarta.
Jakarta di mata orang DI saat itu diibaratkan sebagai Mekah pada zaman Nabi Muhammad yang merupakan pusat pemerintahan Kafir Quraisi.
”KW 9  ini dibentuk sengaja merujuk kepada sejarah perjuangan Nabi. Dulu Nabi ketika akan merebut Mekah, mereka mengirim pamannya, Abas, dari Madinah ke Mekah. Tujuannya mempersiapkan orang-orang yang pro Nabi Muhammad yang kelak akan membantu pasukan Islam menaklukkan Mekah,” ujar Imam Supriyanto.
NII KW 9 ini mengalami pasang surut.  Satu waktu mereka sangat aktif,  di lain waktu mereka tiarap gara-gara para pimpinan dan tokoh-tokohnya ditangkap.  
Panglima pertama KW 9, Ghozin Syarif,  bersama tokoh DI lainnya seperti Danu Muhammad Hasan, Haji Ismail Pranoto dan lain-lain ditangkap pada 1977 karena dituding terlibat Komando Jihad.
Sementara Seno alias Basyar yang jadi penggantinya, bersama pentolan DI yang lain seperti Adah Djaelani, imam baru NII yang diangkat pada 1979 menggantikan Daud Beureueh, diciduk polisi pada 1981 karena dituding makar. 
Setelah 1983, NII KW 9 baru bisa bergerak lebih leluasa.  Saat itu, kelompok ini dipimpin oleh Karim Hasan alias Abi Karim.  Ia adalah seorang ustadz yang juga pengurus Muhammadiyah Tangerang yang juga mengelola sebuah  madrasah di daerah Rempoa Bintaro.
Abi Karim bergabung di NII KW 9 pada sekitar tahun 1978, direkrut oleh Seno, alias Basyar. Salah satu jasa utama dari Abi Karim adalah menyusun ulang ajaran DI yang dikenal dengan sebutan tauhid RMU (Rububiyah-Mulkiyah-Uluhiyah).
Tauhid Rububiyah adalah pengakuan atas Undang-Undang Allah (syariat Islam), sementara Tauhid Mulkiyah adalah pengakuan atas kerajaan Allah yaitu NII. Sedangkan Tauhid Uluhiyah adalah warga negara kerajaan Allah alias umat NII.
Ketiganya tak bisa dipisahkan. Contohnya, tak ada Negara Islam bila syariat Islam tidak ditegakkan.  Juga mustahil syariat Islam bisa tegak di negara bukan Islam. Di mata NII, tauhid ini merupakan hal ushul (pokok) dalam agama. Sebab, tauhid inilah yang menentukan seseorang itu muslim atau kafir. 
Karenanya,  ”Siapapun yang menolak tauhid RMU maka ia kafir walaupun dia shalat, puasa, zakat an lain-lain,” tambah Panji, mantan anggota NII KW 9 kepada VIVAnews.com.
Nah, materi pembinaan inilah yang jadi  kunci sukses perekrutan NII KW 9.  ”Pada sekitar awal 1990-an jumlah anggotanya diperkirakan sudah mencapai 10.000 orang,” tambah Panji.
Namun, pembinaan tersebut juga melahirkan sikap takfir atau  mengkafirkan orang di luar NII. Sikap takfir inilah yang menyebabkan kelompok tersebut membenarkan aksi-aksi perampasan harta orang-orang di luar kelompoknya. Mereka beranggapan harta dan jiwa orang kafir halal. Tak heran berbagai praktek kriminal mereka lakukan.
”Misalnya di wilayah Jakarta Timur, para anggota NII mencari dana dengan cara mencuri dan mencopet. Gara-garanya, kelompok Jakarta Timur banyak merekrut mantan preman,” ucap Imam yang bergabung dengan NII KW 9 pada 1988.
Kepemimpinan Abi Karim berakhir pada 1991. Tahun itu ia wafat dan diganti Haji Rais. Namun, kepemimpinan Haji Rais sangat singkat karena dia diciduk aparat keamanan pada tahun yang sama. Akhirnya kepemimpinan  diambil alih Abu Toto.
Lelaki lulusan Gontor ini sudah dekat dengan Abi Karim sejak lama. Saat ia kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Abu Toto  jadi guru  di madrasah milik Abi Karim.
Abu Toto baru bergabung ke NII pada 1979. Tapi ia hanya aktif sebentar. Soalnya pada 1980 dia berangkat ke Sabah, Malaysia untuk menjadi juru dakwah  Rabitah Alam Islam. Dia baru kembali ke Indonesia pada 1988 dan langsung diangkat menjadi Kepala Staf NII KW 9.
Bila di zaman Abi Karim dikenal sebagai era ideologisasi, maka pada era tersebut lahir kader-kader DI militan yang berjuang menegakkan Negara Islam Indonesia. Pada era kepemimpinan Abu Toto, NII KW 9 fokus dalam kegiatan penggalangan dana.
Pada 1994, Abu Toto menggagas program Binayatul Maliah (Pembinaan Keuangan Negara) atau pos sumber keuangan negara.  Diantaranya ada yang disebut Nafaqah Daulah atau infaq dimana setiap anggota harus membayar infaq minimal Rp55.000 hingga jumlah yang tak terbatas.
Ada lagi setoran yang disebut Harakah Ramadhan, semacam zakat fitrah yang harus disetorkan di akhir Ramadhan, jumlahnya Rp50.000 Tak hanya itu, setiap anggota yang akan menikah harus membayar Sodaqoh Mukahat sebesar Rp300.000
Program ini sangat sukses, ”Bayangkan, pada 1995 ketika program ini baru dijalankan, setiap bulan pemasukan rata-rata mencapai Rp5-6 miliar,” ujar Panji.
Keberhasilan fund raising inilah  yang membuat  NII KW 9 bisa dikatakan sebagai komandemen paling kaya. ”Kami juga rutin menyantuni semua keluarga para pimpinan NII yang saat itu ditahan seperti Adah Djaelani dan kawan-kawan,”  ujar Imam Supriyanto.
Tak heran NII KW 9 ini dianggap sebagai anak emas dari para pentolan DI yang ada di penjara.  Pamor Abu Toto ini makin moncer ketika pada 1996 dia berhasil mengadakan majelis syuro NII yang mengangkat kembali Adah Djaelani, yang saat itu baru bebas, sebagai imam DI.
Sebagai ganjarannya Adah Djaelani mengangkat Abu Toto sebagai Kepala Staf NII.  Namun, pengangkatan ini menimbulkan kekisruhan di tubuh NII. 
Tahmid Rahmat Basuki tak terima dirinya dipecat sebagai Kepala Staf NII.
Pasalnya penggantian dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya dan keputusan itu dikeluarkan oleh sidang majelis syuro yang tidak melibatkan para sesepuh DI. Anak Kartosuwirjo ini akhirnya memisahkan diri dan membentuk faksi NII sendiri.
Kesulitan Keuangan
Abu Toto hanya menjadi Kepala Staf NII selama hampir dua tahun. Pada 1998 dia dilantik menjadi Imam NII yang baru menggantikan Adah Djaelani yang sudah sepuh dan sakit-sakitan.
Sebagai Imam yang baru, Abu menggencarkan program Binayatul Maliyah. Apalagi saat itu NII sedang membangun Pesantren Al Zaitun di Indramayu.
Pesantren terbesar di Asia Tenggara ini juga dijadikan 'cover' bagi gerakan NII Abu Toto.  Untuk itu proses rekrutmen dilakukan secara masif, pasalnya bila jumlah anggota makin banyak berarti jumlah uang yang didapat juga makin besar.  ”Pada  periode 1998-2000 jumlah anggota sudah mencapai 500 ribu orang dan jumlah pemasukan perbulan rata-rata mencapai Rp10 miliar,” ujar Panji.
Dari berbagai program fund raising itu yang paling berhasil adalah adalah Harokatul Qirod, yaitu semacam investasi emas dimana modal dan keuntungannya akan dikembalikan dalam jangka lima tahun.
Karena sifatnya investasi yang keuntungannya akan dikembalikan, banyak anggota yang bersemangat menginvestasikan harta mereka. ”Ada anggota yang menjual rumahnya, tanahnya, mobilnya untuk disetor dalam investasi Harokatul Qirod.  Pada tahun 2000 kami berhasil mengumpulkan  2 ton emas yang saat itu setara dengan uang Rp250 miliar,” ujar Imam Supriyanto.
Sebagian uang dari program Binayatul Maliyah inilah yang digunakan untuk membangun Mahad Az Zaitun yang resmi berdiri pada 1999.  Sementara itu, uang Rp250 miliar dikelola oleh Robert Tantular, Direktur Bank CIC, yang kemudian berganti nama jadi Bank Century.
”Abu Toto sudah kenal Robert Tantular cukup lama. Perkenalan ini via tantenya Robert Tantular yang pada tahun 1980-an mengelola money changger CIC di Tanah Abang. Saat itu Abu Toto sering bolak balik Sabah-Jakarta. Ketika pulang dia biasa menukar ringgit atau dolar di sana,”   ujar Imam Supriyanto.
Selain itu, sebagian dana yang lain diinvestasikan.  Sialnya, investasi itu tak selalu menguntungkan. Pada awal 2000-an, Abu Toto dan kawan-kawan kehilangan Rp50 miliar karena tertipu sindikat mafia Afrika yang menawarkan uang dolar hitam Afrika.
Dana puluhan miliar itu digunakan untuk membeli cairan yang bisa mengubah uang dolar Afrika menjadi uang dolar sungguhan. Transaksi ini sempat dilakukan di Spanyol.
Tak hanya itu,  skandal Bank Century juga telah membuat dana investasi milik NII KW 9 sebesar Rp250 miliar  menjadi tidak jelas nasibnya.
Pada  2008 Abu Toto dan kawan-kawan menjalankan bisnis penggemukan 1000 sapi New Zealand  Proyek ini juga gagal karena sapinya banyak yang mati. Apesnya, Abu Toto memakai dana pinjaman dari bank sebesar Rp50 miliar.
Ia berani meminjam uang gara-gara Jusuf Kalla berjanji akan membantu pembiayaan proyek ini.  Dana itu ternyata tak pernah cair.  Kegagalan proyek sapi ini membuat Al Zaitun harus membayar bunga pinjaman sebesar Rp1,2 miliar setiap bulan.
Kesulitan keuangan ini juga diperburuk dengan makin banyaknya anggota-anggota NII yang keluar. ”Kini kekuatan NII Abu Toto tinggal sekitar 250 ribu orang,” ujar Panji, ”Padahal pada 2000, jumlah anggota masih 500 ribu jiwa.”
Hengkangnya anggota NII secara masif karena mereka menilai Imam NII tersebut  tak mampu mempertanggungjawabkan semua aset milik mereka.
Contohnya soal janji keuntungan dari investasi Haraqatul Qirod, yang berhasil mengumpulkan emas sebanyak dua ton, ternyata tidak pernah dipenuhi.  Mereka yang berinvestasi modalnya tak pernah kembali dan keuntungannya tak pernah diberikan.
Selain itu, banyak anggota NII yang bingung dengan kedekatan Abu Toto dengan para pejabat dan tokoh politik seperti Wiranto, Jusuf Kalla, Hendro Priyono dan Keluarga Suharto.
”Hal ini tak bisa dimengerti oleh banyak anggota. Bagaimana bisa, NII kok bergaul akrab dengan keluarga Suharto yang selalu kami hujat sebagai Abu Jahal,” ujar Panji.
Untuk menyiasati situasi yang sulit ini, Abu Toto memerintahkan para pengikutnya untuk melakukan rekrutmen besar-besaran. Sebab, makin banyak anggota berarti pemasukan ke kas NII jadi makin banyak. Untuk itu proses perekrutan pun berlangsung instan.
”Dulu saya dibina lebih satu tahun sebelum dibaiat bergabung dengan NII. Sekarang dalam hitungan hari seseorang langsung dibaiat, yang penting bisa kasih infaq” ujar Imam.
Eksesnya terjadi pendangkalan proses ideologisasi di NII Abu Toto. Penanaman ajaran NII menjadi tak terlalu penting, yang lebih penting dari segalanya adalah bagaimana bisa menarik dana sebanyak mungkin untuk menyelamatkan Negara Islam Indonesia yang sedang krisis keuangan. 

Tidak ada komentar: