Samarinda (ANTARA News) - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda, Kalimantan Timur, KH Zaini Naim, mensinyalir, gerakan Negara Islam Indonesia (NII) di kota itu sudah ada sejak lima tahun silam atau pada 2006.

"MUI Samarinda empat hingga lima tahun yang lalu sudah mendeteksi adanya upaya untuk merekrut orang masuk ke NII," katanya di Samarinda, Jumat.

Ia mencontohkan, kasus Lok Bahu pada empat tahun lalu dimana ada sekelompok wanita yang direkrut seorang wanita yang tidak diketahui asal-usulnya.

Wanita itu kemudian diajak ke suatu tempat dan setelah beberapa hari kemudian mereka pulang ke rumah, ritual yang dilakukan berbeda dengan orang lain dan bahkan mereka mengkafirkan orang tuanya," ungkapnya.

Secara tegas, KH Zaini Naim menyebut, NII merupakan penipuan berkedok agama dan ajarannya sesat.

"Apapun alasannya, tindakan makar merupakan musuh Islam karena tidak sesuai syariat Islam. NII merupakan gerakan makar yang mengatasnamakan agama dan menurut saya, itu adalah musuh Islam sehingga harus segera ditindak sesuai hukum yang berlaku," kata Zaini Naim.

Perkembangan NII di Samarinda lanjut dia sulit dideteksi karena penyebarannya dilakukan secara berpindah.

"Penyebaran NII tidak terbuka dan cenderung berpindah-pindah sehingga sulit dideteksi. Saya menandai dari pola rekruitmen Al Zaitun dan dalam kurung waktu dua tahun terakhir ini sudah tidak ada orang tua yang melapor," ungkap Zaini Naim.

Gerakan NII di Samarinda lanjut Zaini Naim, tidak dilakukan di kampus tetapi di luar dan di mushalla.

Ia menduga, gerakan NII juga terkait dengan keberadaan Pesantren Al Zaitun di Indramayu, Jawa Barat.

"Kami mensinyalir, pihak pesantren Al Zaitun mengutus orang-orangnya untuk mengajak warga di daerah untuk masuk pesantren. Di Kaltim sendiri, keberadaan orang-orang tersebut sudah terdeteksi di beberapa kabupaten/kota, diantaranya Pasir, Penajam, Kutai Barat, Kutai Kartanegara termasuk Samarinda," katanya.

"Beberapa orang yang pernah direkrut mengaku, tata cara atau ritual yang dilakukan berbeda dengan umat Islam pada umumnya," katanya.

Ia mencontohkan, ada sebuah masjid besar di pesantren itu tetapi tidak digunakan sebagai tempat shalat berjamaah, bahkan yang paling menyimpang dari ajaran Islam yakni, mewajibkan setiap orang membayar zakat Rp1 juta per tahun.

"Bukan saja pengakuan dari orang-orang yang pernah jadi santri di sana, tetapi saya juga pernah berkunjung ke pesantren Al Zaitun dan memang sangat mencengankan. Gedung-gedung bertingkat di sana jauh lebih megah daripada Samarinda bahkan asrama santrinya lebih hebat dibanding asrama atlit," ungkap Zaini Naim.

Sebelumnya pendiri Pesantren Al-Zaitun KH AS Pandji Gumilang secara tegas menolak jika keberadaan pesantren itu dikait-kaitkan dengan Gerakan Pembentukan Negara Islam Indonesia.(*)