VIVAnews - Pada 7 September 2004, tujuh tahun yang
lalu, aktivis HAM Munir tewas diracun dalam penerbangan Garuda Indonesia
menuju Amsterdam, Belanda. Dalam kasus ini, hakim telah menjatuhkan
vonis 20 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto. Namun,
siapa aktor intelektual yang merencanakan pembunuhan Munir, sampai
sekarang tak pernah terungkap.
Karena itu, menjelang peringatan
meninggalnya Munir, Amnesty Internasional melayangkan surat terbuka
kepada Jaksa Agung Basrief Arief. Lembaga pembela HAM terkemuka dunia
itu, mendesak Jaksa Agung untuk menggelar penyelidikan baru atas kasus
tersebut, dan menjadikannya sebagai prioritas. Amnesty menilai
penanganan kasus ini tak meyakinkan dan bisa menjadi preseden buruk bagi
penegakan HAM di Indonesia.
"Amnesty Internasional prihatin
atas penanganan kematian Munir, yang tidak transparan dan akuntabel,
sehingga berkontribusi menimbulkan
perasaan takut para pembela HAM di
Indonesia, serta membangkitkan pertanyaan atas komitmen pemerintah
Indonesia dalam melindungi pembela HAM," ujar Josef Roy Benedict,
anggota tim kampanye Amnesty Internasional untuk Indonesia dan Timor
Leste dalam surat elektroniknya yang dikirim 6 September 2011.
Amnesty
menilai kasus ini merupakan peringatan mengerikan bagi aktivitis
pembela HAM--bahwa pekerjaan mereka bisa menggiring mereka ke kematian.
"Ini
ancaman yang menakutkan bagi pembela HAM di Indonesia. Sebab, mereka
yang bertanggung jawab atas sejumlah pelanggar HAM--baik itu penyiksaan,
pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa pembela HAM--terkesan
mendapat impunitas," tambah dia.
Sesuai hukum internasional
maupun nasional, Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menjamin
agar mereka yang diduga melanggar HAM diajukan ke muka hukum dalam
proses peradilan yang sesuai standar keadilan internasional. "Pemerintah
Indonesia juga berkewajiban menjamin pekerja HAM untuk bisa melanjutkan
pekerjaannya, sesuai dengan deklarasi Majelis Umum PBB tentang
pembelaan HAM serta menjamin berekpresi sesuai konstitusi Indonesia,"
jelasnya.
Menurut Benedict, Amnesty Internasional sudah menyurati
Jaksa Agung secara resmi. Surat ini diteken oleh wakil-wakil Amnesty
Internasional dari Australia, Prancis, Filipina, Amerika Serikat,
Jerman, Belanda, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Nepal, Mongolia,
Malaysia dan Inggris. (Laporan: Banjir Ambarita, Papua | kd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar