M. Rizal - detikNews
Jakarta -
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menyidik dugaan
korupsi proyek pengadaan kendaraan bermotor dalam program Layanan Rakyat
untuk Sertifikasi Tanah (Larasita) di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
FITRA menilai proyek yang mulai berjalan sejak tahun 2008 hingga 2010
ini, telah merugikan negara sekitar Rp 44 miliar.
"Dugaan korupsi
di BPN sudah pernah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dan Komisi II DPR RI. Namun, tidak pernah ada tindak lanjut atau
perkembangan yang signifikan. Harus dilakukan audit investigasi oleh
Badan Pemeriksa Keuangan untuk melihat kerugian negara. Agar lebih jelas
kerugian negara seperti apa," kata Koordinator Investigasi dan Advokasi
FITRA, Uchok Sky Khadafi dalam rilisnya kepada detikcom di Jakarta, Selasa (6/9/2011).
Menurut
Uchok, kasus dugaan korupsi di BPN masih belum ada titik terang sampai
sekarang. Padahal, sejumlah data dan bukti-bukti sudah pernah diserahkan
oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat. Dia menuturkan, KPK juga
harus segera melakukan penyidikan, bukan hanya penyelidikan. Kasus
korupsi yang terjadi di BPN sangat penting untuk dituntaskan, karena
menyangkut kepentingan masyarakat yang memiliki tanah.
"Saya kira
BPN belum pernah ada yang tersentuh kasus korupsi. Mereka seperti kebal
hukum, padahal sebetulnya BPN itu sangat rentan terhadap korupsi karena
menyangkut mengurus tanah negara," jelasnya.
Dijelaskan Uchok,
berdasarkan data yang dimiliki FITRA, negara terindikasi mengalami
kerugian senilai Rp 44 miliar, akibat pengadaan 1189 kendaraan bermotor
roda dua dan empat dalam program Larasita di BPN mulai 2008 sampai
dengan 2010. Program Larasita bertujuan agar petugas BPN dapat
mendatangi secara langsung masyarakat yang ingin mengurus sertifikat
tanah dengan menggunakan kendaraan bermotor. Namun, diindikasikan
terjadinya mark-up dalam program tersebut dan penetapan anggaran
kendaraan bermotor telah melanggar ketentuan standar biaya yang
ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
"Kasus ini sudah
masuk ranah hukum, kalau ada kasus seperti ini harus ditindak, pihak BPN
masih terkesan santai karena belum ada proses hukum," pungkasnya.
Uchok
memaparkan, pada 2008 BPN mengadakan 188 unit kendaraan bermotor roda
dua (motor) dengan anggaran Rp 4,5 miliar. Satuan per unit motor seharga
Rp 24 juta. Padahal, kalau melihat standar biaya PMK hanya Rp 20 juta.
Terdapat selisih harga yang menyebabkan kerugian negara Rp 793 juta.
Begitu
juga dengan pengadaan kendaraan bermotor roda empat (mobil). Total
anggaran untuk 93 unit mobil adalah Rp 26 miliar. Satuan per unit mobil
senilai Rp 280 juta. Berdasarkan standar biaya PMK hanya 200 juta.
Selisih harga, menyebabkan kerugian Negara senilai Rp 7 miliar.
"Berdasarkan data tersebut, total kerugian negara pada 2008 ialah Rp 8,4 miliar," terangnya.
Pada
2009, Uchok menambahkan, BPN melakukan dua tahap dalam pengadaan
kendaraan bermotor. Tahap pertama, anggaran sejumlah Rp 1,4 miliar
disediakan untuk 56 unit motor. Harga satuan per unit mencapai Rp 26
juta, standar PMK hanya Rp 20 juta. Kerugian Negara mencapai Rp 352
juta.
Sedangkan untuk tahap pertama pengadaan mobil, nilai
anggaran mencapai Rp 8 miliar untuk 30 unit mobil. Satuan per unit mobil
ialah Rp 334 juta, standar PMK hanya Rp 200 juta. Negara mengalami
kerugian senilai Rp 3,3 miliar.
Di tahap dua, BPN mengadakan 250
unit motor dengan anggaran Rp 6,6 miliar. satuan per unit motor adalah
Rp 26 juta, standar PMK hanya Rp 20 juta. Kerugian Negara mencapai Rp
1,6 miliar. Sedangkan untuk 130 unit mobil, anggaran mencapai Rp 41
miliar. Satuan per unit adalah Rp 320 juta, standar PMK hanya 200 juta.
Kerugian Negara mencapai Rp 15 miliar.
“Total kerugian secara keseluruhan pada 2009 adalah Rp 21 miliar,” kata Uchok.
Pada
2010, BPN mengadakan 312 unit motor dengan anggaran Rp 8 miliar. Harga
per unit Rp 26 juta, standar PMK hanya Rp 20 juta. Kertugioan Negara
ditaksir Rp 2,1 miliar. Begitu juga dengan 130 unit mobil dengan
anggaran Rp 53 miliar. Harga per unit mobil adalah Rp 250 juta. Padahal,
kalau melihat standar hanya Rp 200 juta. Kerugian negara sejumlah Rp 12
miliar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar