Semarang (ANTARA News) - "Hidup beragama jangan menafikan realitas sosial yang memiliki keanekaragaman atau pluralitas, sebab agama memiliki dua aspek, yakni teologis dan sosiologis," kata ahli antropologi Universitas Diponegoro Semarang, Prof Mudjahirin Thohir.

"Kalau saja setiap orang beragama memaknai dan memahami dua aspek itu, yakni teologis dan sosiologis secara berimbang maka tidak akan terjadi pertikaian antarpemeluk agama," katanya, usai simposium "Deradikalisasi Agama" di Semarang, Senin.

Mudjahirin yang juga Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Tengah itu menjelaskan, kemunculan paham ekstrim yang cenderung memusuhi kelompok lain di luar kelompoknya merupakan akibat pemahaman aspek teologis semata.

Paham ekstrim dan eksklusif, kata dia, hanya mementingkan aspek teologis atau keagamaan yang berkaitan dengan ketuhanan. Sedangkan aspek sosiologis yang merupakan realitas sosial dilupakan, bahkan kelompok yang berbeda cenderung dimusuhi.

"Kalau hanya mementingkan aspek teologis memang seperti itu, bisa menganggap musuh terhadap mereka yang seagama namun apa yang dipahami sesuai alirannya berbeda, apalagi mereka yang memang berbeda agama," katanya.

Padahal, kata dia, aspek teologis bisa dimaknai setiap manusia memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan secara sosiologis bisa dimaknai bahwa realitas sosial menunjukkan setiap orang memiliki perbedaan, termasuk soal agama.

"Persoalannya, kalau kelompok yang ekstrim ini menafikan realitas di luar kelompoknya tentu akan menimbulkan sikap permusuhan dan muncul perpecahan. Padahal, agama bukanlah sumber perpecahan umat manusia," kata Mudjahirin.

Simposium yang diprakarsai oleh PWNU Jateng itu juga menghadirkan Wakil Ketua PWNU Jateng Abu Hafsin yang berpendapat, konflik antarpemeluk agama disebabkan berbagai faktor, salah satunya pemahaman keagamaan yang kurang.

"Kalau bicara sebab munculnya konflik pemeluk agama apa? Banyak, namun setidaknya pemahaman agama yang kurang merupakan salah satu penyebab. Kalau pemahaman keagamaan seseorang baik, tentu bisa menghargai perbedaan," katanya.

Namun, kata dia, perasaan frustasi masyarakat juga turut menjadi pemicu konflik yang tidak boleh dilupakan, bisa frustasi karena kondisi ekonomi, sosial, penegakan hukum, dan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini.

Kalau sudah menyangkut frustasi masyarakat, ia menjelaskan memerlukan peran seluruh pihak, terutama pemerintah untuk menyelesaikan penyebabnya, misalnya keterdesakan ekonomi yang bisa diatasi dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

"Untuk mengatasi dan mencegah konflik agama ini bukan hanya tanggung jawab ormas keagamaan. Semua harus berperan untuk mengatasi faktor pemicunya lebih dulu, termasuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat," kata Abu Hafsin. (ANT)