BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 20 Januari 2012

Bos Anak Perusahaan Indosat Jadi Tersangka

RMOL. Anak perusahaan PT Indosat, yakni PT Indosat Mega Media (IM-2) diduga beroperasi sebagai penyelenggara jaringan bergerak seluler tanpa izin pemerintah, sehingga negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp 3,8 triliun.
“PT IM-2 hanya memiliki izin sebagai internet service provider, bukan penyelenggara jaringan bergerak seluler,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Ke­jak­saan Agung (Kapuspenkum Ke­jagung) Noor Rochmad, kemarin.
Seharusnya, menurut Noor, PT IM-2 membayar biaya-biaya yang diwajibkan kepada penye­leng­gara jaringan seluler seba­gai­mana ketentuan perundang-unda­ngan, antara lain Pasal 33 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2006.
Namun, kata dia, PT IM-2 da­lam melaksanakan kegiatan ter­sebut tidak pernah membayar biaya up front fee dan badan hak penggunaan (BHP) frekuensi kepada pemerintah sebagaimana yang diwajibkan dalam undang-undang. “Ketentuan perundang-undangan menjelaskan bahwa mereka harus membayar kepada pemerintah sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak,” tandasnya.
Lantaran itulah, Kejaksaan Agung kemudian menetapkan bos PT IM-2 yang berinisial IA se­bagai tersangka kasus pengu­na­an jaringan frekuensi 2,1 Ghz. Ter­sangka IA dijerat dengan Pa­sal 2 dan Pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Penyidik kejaksaan menaksir, ke­rugian negara dalam perkara ter­sebut mencapai 3,8 triliun ru­piah. Persisnya, Rp 3.834.009.736.400.00  (tiga triliun, delapan ratus tiga puluh empat miliar, sembilan juta tujuh ratus tiga puluh enam ribu, empat ratus rupiah).
Menurut Noor, kasus ini awal­nya ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, namun karena cakupan perkaranya tidak ha­nya di Jawa Barat, maka diba­wa ke Kejaksaan Agung. Dari hasil penyelidikan di Pidana Khu­sus (Pidsus) Kejaksaan Agung dan setelah ekspose perkara, per­kara tersebut kemudian dilan­jutkan ke tingkat penyidikan.
Maka, lanjutnya, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRINT-04/F.2/Fd.1/01/2012 tanggal 18 Januari 2012, ter­sang­ka IA selanjutnya diproses. Akan tetapi, belum ada penahanan. “Se­mua itu nantinya tergantung pe­nyidik, apakah perlu ditahan atau tidak,” kata Noor.
Menurut Kapuspenkum Keja­gung, PT IM-2 tidak pernah me­ngikuti seleksi pelelangan pita ja­ringan bergerak seluler IM2-2000 pada pita frekuensi 2,1 GHz. Akan tetapi, perusahaan itu me­nye­lenggarakan jaringan tersebut melalui kerjasama yang dibuat antara PT IM-2 dengan Indosat Tbk. “PT IM-2 itu sebenarnya ha­nyalah anak perusahaan dari Indosat Tbk,” ujarnya.
Dalam bidang usahanya, jelas Noor, PT IM-2 hanyalah bergerak dalam layanan internet. “IM2 ini sebagai penyelenggara jasa te­le­komunikasi telah me­nya­lah­gu­na­kan jaringan bergerak seluler fre­kuensi 3G. Mereka telah meng­gu­nakan jaringan 3G tanpa izin pemerintah,” katanya.
Ketika ditanya, apakah ada ke­­mungkinan tersangka lain da­lam kasus ini, Noor me­nyam­paikan bah­wa proses penyi­di­kan masih berjalan dan tidak ter­tutup ke­mung­kinan akan ada ter­sangka baru.
“Tergantung perkembangan hasil penyidikan. Kalau memang memenuhi kualifikasi tindak pi­dana korupsi dan didukung alat buk­ti yang cukup, tentu akan di­mintai pertanggungjawban seba­gai tersangka,” ujar Noor.
Menurut anggota Majelis Per­himpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indo­ne­sia (PBHI) Sandi Ebeneser Situng­­k­ir, semestinya kejaksaan sudah me­miliki sejumlah bukti kuat un­tuk menjerat para pemain yang terlibat di dalam kasus ini, saat penetapan tersangka.
“Seharusnya mereka sudah yakin betul bahwa ada pihak-pi­hak lain yang juga harus dija­di­kan tersangka. Tapi, apakah m­e­re­ka sengaja membuat peluang-peluang untuk bermain? SDM Ke­jagung itu cukup untuk me­ngusut sebuah perkara sampai tuntas,” tegasnya.
Lantaran itu, Sandi mengi­ngat­kan Kejaksaan Agung agar me­ngusut juga pihak Ke­menterian Komunikasi dan Informatika. Se­bab, Kementerian Kominfo semestinya mengetahui adanya layanan 3G tanpa izin.
“Melacak nomor telepon kita saja bisa, sebab mereka memiliki alat yang canggih. Patut diduga, ada juga pejabat yang bermain di dalam,” ujarnya.
REKA ULANG
Diambil Alih Kejagung Dari Kejati Jabar
Kejaksaan Agung telah melakukan gelar perkara atau ekspos kasus dugaan korupsi di anak perusahaan PT Indosat, yakni PT Indosat Mega Media (IM-2) yang diperkirakan meru­gikan keuangan negara sebesar Rp 3,84 triliun.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengambil alih kasus tersebut dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar), mengingat lokasi kejadian (locus delicti) tidak ha­nya di wilayah Jawa Barat, tapi juga di DKI Jakarta.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nir­wanto membantah kasus dugaan korupsi pada penyalahgunaan pita frekuensi 2,1 Ghz itu diambil alih Kejaksaan Agung karena nilai kerugian negaranya men­capai triliunan rupiah.
“Bukan karena kerugian nega­ranya lebih besar. Kalau hanya level Jawa Barat, wilayah hu­kumnya hanya Jawa Barat. Tapi kalau kami yang tangani, wilayah hukumnya akan lebih luas,” katanya.
Awalnya, kasus ini dilaporkan LSM Konsumen Telekomunikasi Indonesia (KTI) ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. KTI mela­por­kan Indosat dan anak peru­sa­haannya, yakni IM-2 atas dugaan penyalahgunaan pita frekuensi 3G. Indosat, Telkomsel dan XL merupakan pemenang tender fre­kuensi 3G pada tahun 2007.
Namun, menurut KTI, Indosat melakukan pelanggaran dengan menjual internet bergerak (broad­band) kepada IM-2 yang tidak ikut tender. IM-2 merupakan pe­rusahaan penyelenggara broad­band yang saat itu masih berstatus perusahaan private, walau ke­mu­dian pada November melakukan migrasi ke Indosat.
Menurut KTI, Indosat telah mengeluarkan biaya lelang yang tidak sedikit, padahal proyek kemudian dikerjakan IM-2.
Dugaan kerugian negara juga ditemukan karena ada potensi kehilangan pajak nilai badan hak penggunaan (BHP) jasa teleko­mu­nikasi sejak tahun 2007. KTI menduga ada pelanggaran Pasal 33 Undang Undang Nomor 36 Ta­hun 1999 tentang Telekomu­ni­kasi, Pasal 58 ayat 3, dan Pera­turan Men­teri Nomor 7 Tahun 2006.
Kejaksaan Agung Kerap Kandas Di Tengah Jalan
Sandi Ebeneser, Aktivis PBHI
Perkara korupsi yang dita­ngani Kejaksaan Agung banyak yang kandas di tengah jalan. Demikian penilaian anggota Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sandi Ebe­neser Situngkir.
“Kinerja kejaksaan dalam mengusut perkara korupsi kerap tidak clear and clean,” tan­das Sandi, kemarin.
Lantaran itu, kata dia, pe­ngu­sutan dugaan korupsi pengu­na­an jaringan frekuensi 2,1 Ghz oleh anak perusahaan PT Indo­sat, yakni PT Indosat Mega Me­dia (IM-2) ini belum tentu ber­akhir sukses di pengadilan.
Bahkan, lanjut dia, bisa jadi ter­sangka kasus ini ujung-ujungnya akan mendapatkan su­rat perintah penghentian pe­nyi­dikan (SP-3). “Sebab, sel­a­ma ini terlalu banyak perkara yang ditangani kejaksaan tidak tuntas. Faktornya masalah ke­mauan saja, mau atau tidak me­re­ka menuntaskannya,” kata dia.
Dalam penanganan perkara ini pun, menurut Sandi, publik layak mencurigai kinerja Kejak­saan Agung. “Patut dicurigai, ke­napa perkara ini dicicil. Mi­salnya ada bukti-bukti, ada pi­hak-pihak lain yang semestinya juga bertanggung jawab, tapi yang jadi tersangka satu orang. Ini mencurigakan,” tegasnya.
Mengenai posisi perkaranya, Sandi menjelaskan, apabila ti­dak ada izin menyelenggarakan layanan 3G dari Kementerian Ko­munikasi dan Informatika atau pemerintah, maka hal itu adalah pelanggaran Undang Undang Telekomunikasi, yang sanksi­nya bisa denda, kurungan atau ad­ministrasi, karena meng­gu­na­kan frekuensi secara tidak sah.
“Unsur korupsinya diduga ter­ja­di karena hasil penjualan produk 3G yang menggunakan frekuensi tersebut, tidak ada yang masuk sebagai PNBP, ti­dak disetorkan kepada negara. Se­hingga, negara diduga me­nga­lami kerugian,” ujarnya.
Kejagung Jangan Main Mata Untuk Keluarkan SP3
Pieter Zulkifli, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Pieter Zulkifli mengingatkan Ke­jaksaan Agung agar tidak ha­nya heboh di awal, tapi ujung-ujungnya perkembangan pena­nga­nan perkara ini tidak jelas atau malah berbuah Surat Perin­tah Penghentian Penyidikan (SP-3).   
Pieter menegaskan, nama baik kejaksaan selalu menjadi pertaruhan setiap kali Korps Adyhaksa menangani perkara. Apalagi, menangani kasus ko­rupsi yang nilai kerugian nega­ra­nya besar. Lantaran itu, Ke­jak­saan Agung mesti obyektif me­nangani perkara tanpa pan­dang bulu, dan menyampaikan perkembangannya kepada masyarakat.
“Agar publik melihat dengan jelas bahwa kejaksaan serius dan berani mengambil langkah-langkah konkret untuk menja­wab keraguan masyarakat,” sarannya, kemarin.
Pieter menilai, sejauh ini Ke­jaksaan Agung belum begitu ber­sinar di mata masyarakat. “Terutama dalam penuntasan kasus-kasus korupsi,” kata ang­­gota DPR dari Partai De­mokrat ini.
Dia pun mengingatkan Ke­jak­saan Agung agar tidak “ber­main mata” untuk menge­luar­kan SP3. “Lembaga hukum ha­rus jujur dan profesional me­nangani semua perkara korupsi, tidak boleh menjadi alat ke­kua­saan untuk memanipulasi per­kara karena tujuan-tujuan ter­ten­tu. Intinya, siapa pun yang ter­bukti, ya harus ditindak,” ujarnya.
Pieter menambahkan, tuntu­tan bagi para terdakwa perkara korupsi pun belum men­un­juk­kan keseriusan dalam me­ne­gak­kan hukum. Padahal, terdakwa itu banyak yang didakwa me­ru­gikan negara miliaran, bahkan ada yang triliunan rupiah.
“Fungsi dan peran hukum harus dapat memberikan efek jera terhadap siapa pun yang ter­bukti merugikan keuangan ne­gara, termasuk dalam perkara In­dosat yang sedang ditangani Ke­jagung ini,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar: