BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Minggu, 29 Januari 2012

Pembangunan Mal Jakarta Bakal Digeser ke Pinggiran

RMOL.Anda sering berbelanja di mall, tahukah ada berapa mall di Jakarta? Sampai saat ini, kota seluas 661,52 kilometer persegi dengan penduduk 10 juta jiwaini telah berdiri 170 mal.
Bahkan berdasarkan Research Colliers International Indonesia selama tahun 2012- 2013 di Jakarta akan ada tambahan 21 pusat perbelanjaan baru. Total luas lantainya mencapai 827.376 meter persegi yang 45 persen di antaranya berada di Jakarta. Di an­tara pasokan mal-mal baru ter­sebut, separuhnya sudah melebihi 50 persen tahap konstruksi.
Colliers melansir, mal-mal yang dalam tahap konstruksi dan direncanakan diluncurkan tahun ini antara lain Kemang Village, Men­teng Square, Kota Kassa­blan­ka, Pulomas X-’Venture, Ci­putra World Jakarta, dan Pondok Indah Street Gallery. Kecuali Pu­lomas X-’Venture, sisanya masih berlokasi di Jakarta Selatan dan Pusat. Ditambah lagi, Agung Po­domoro baru meluncurkan pro­yeknya, Kuningan City Mall, pa­da akhir tahun lalu.
Selain itu, Agung Podomoro ju­ga tengah meneruskan pemba­ngu­nan fasilitas perbelanjaan di ka­wasan residensialnya di Kali­bata, yang berdiri di atas lahan seluas 60-90 ribu hektar. Proyek yang ditargetkan selesai tahun depan ini bisa menampung 120 hingga 180 tenant.
Colliers menghitung, tahun ini pasokan kumulatif mal di Jakarta akan tumbuh hingga 5,6 persen atau seluas 335.456 meter per­segi. Pertumbuhan yang dira­mal­kan bahkan lebih tinggi diban­ding tahun lalu, di mana pasokan bertambah 4,5 persen menjadi 5,95 juta meter persegi.
Meski Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan se­mentara izin pembangunan mal, namun aturan itu tidak berlaku surut. Ta­hun ini sedikitnya 21 mal baru siap dibangun di penjuru ibu kota.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, Izin Mendiri­kan Bangunan bagi mal-mal tersebut dikeluarkan sebe­lum diterbitkannya kebija­kan morato­rium mal di DKI Jakarta.
“Kalau yang sudah mempero­leh izin, tentu saja tidak bisa me­nerapkan moratorium itu, karena mereka sudah mengantongi izin­nya. Memang ada yang masih ber­jalan, tapi saya tidak tahu jum­lah persisnya berapa,” katanya, belum lama ini.
Fauzi menegaskan, pihaknya akan terus melakukan evaluasi perizinan mal yang luasnya lebih dari 5 ribu meter persegi. Sebab, masih banyak wilayah di DKI Ja­karta yang belum terisi dengan pu­sat perbelanjaan seperti di Jakarta Barat. (Oleh karena itu, pembangunan pusat perbelanjaan tersebut akan dialihkan ke wi­layah yang belum banyak me­miliki mal.
“Itulah yang menjadi pertim­ba­ngan untuk melakukan mora­to­rium mal. Kami ingin melakukan pe­nataan mal di Jakarta. Yang jelas, sesuai dengan komitmen saya mengeluarkan moratorium. Itu berarti tidak akan keluarkan izin lagi. Nanti kami evaluasi,” ujarnya.
Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta Wiriyatmoko mengakui, saat ini ada proses pembangunan puluhan mal di Jakarta. Hanya saja, dirinya tidak mengetahui pas­ti berapa jumlah mal yang akan dibangun tahun ini.
“Jumlahnya puluhan, saya tidak tahu jumlah pasti berapa. Jangan dilebih-lebihkan. Yang dibangun hingga tahun ini sudah mendapat izin lebih dulu sebelum moratorium mal diberlakukan tahun lalu,” pintanya.
Dijelaskan, kebijakan mora­to­rium diberlakukan untuk meng­antisipasi kemacetan di Jakarta yang semakin hari kian parah. Un­tuk itu, kata dia, DKI Jakarta mem­prioritaskan pembangunan mal di kawasan pinggiran Jakarta.
“Berdasarkan kajian kita se­benarnya masih bisa mem­berikan izin mal diperun­tukan komersial di JORR. Mal ditarik ke ping­giran. Prioritas utama di Jakarta Timur, karena sangat ku­rang mal disana. Paling tidak pada 2013 kita berikan izin mal baru,” ujarnya.
Meski begitu, Wiriyatmoko menga­kui banyak permohonan dari sejumlah pengembang untuk mendapatkan izin pembangunan mal di Jakarta usai moratorium selesai diberlakukan. “Yang me­mo­hon banyak tapi saya tak bisa sebutkan titik dan nama, itu tak mudah. Tapi saya lihat ada sekitar di atas 20-an,” ucap dia.
Untuk dapat mendirikan mal, pengusaha harus mengajukan izin ke Dinas Tata Ruang untuk me­lihat kesesuaian lokasi. Jika dise­tujui, mereka harus melanjutkan ke Badan Pengelola Lingkungan H­idup Daerah (BPLHD) guna meng­urus Analisis Mengenai Dam­­pak Lingkungan (Amdal) se­­­ba­gai syarat meminta Izin Men­­di­rikan Ba­ngunan (IMB) dari Dinas Pe­nga­wasan dan Pe­nertiban Ba­ngu­nan (P2B). Selain per­sya­ratan biro­krasi, lokasi yang dipilih untuk pen­dirian mal juga harus dilalui fasi­litas angkutan umum.
Sarinah Mal Pertama di Indonesia
Mal adalah kata serapan dari ba­hasa Inggris “Mall” yang diterje­mah­kan menjadi gedung atau ke­lompok gedung yg berisi macam-ma­cam toko dengan dihubung­kan oleh lorong/koridor (jalan peng­hubung). Selain mal, fasili­tas gedung kawasan belanja ka­dang disebut plasa, dan square.
Sarinah mal pertama yang ada di Indonesia. Nama Sarinah di­berikan Presiden Sukarno. Dalam buku Sarinah, Sukarno mengaku nama itu adalah nama penga­suh­nya, pengasuh keluarganya. Mbok Sarinah, begitu Sukarno biasa memanggil perempuan yang diakui telah ikut mendi­dik­nya, dan membantu ibu bapak­nya. Sarinah, kata Sukarno, “…mendidik mengerti bahwa se­gala sesuatu di negeri tergantung daripada rakyat jelata.”
Sarinah, nama seorang wanita yang mengasuh dan membesar­kan Sukarno. Sarinah pula yang mengajarkan Sukarno menjadi manusia yang mengerti arti pen­ting rakyat. Pendek kata, nama Sa­rinah begitu lekat di benak Su­karno, sehingga ia terinspirasi mengabadikannya menjadi se­buah nama department store per­ta­ma di Republik Indonesia.
Proyek Sarinah, masuk dalam agenda pembangunan 10 Juli 1959 dan 6 Maret 1962. Selain Sari­nah, proyek lain yang digarap perode itu adalah asembling radio transistor, TV dan bemo, penam­bangan marmer di Kediri, tekstil, alat pertanian, dan lain-lain.
Dibangun sejak 23 April 1963, Gedung Sarinah dimaksudkan oleh Sukarno menjadi sebuah pusat perbelanjaan modern yang bisa memenuhi keinginan rakyat men­dapatkan barang-barang murah tapi dengan mutu yang ba­gus. Gaga­san­nya berasal dari Su­kar­no, menyu­sul lawatannya ke sejumlah negara yang sudah lebih dulu memiliki pusat belanja mo­dern.
Ketika inflasi membubung pa­da masa itu, pembangunan Sari­nah bukan nihil kritikan. Suara oposan ketika itu menuding, Su­karno antara lain dianggap hanya meneruskan proyek mercusuar dan Sarinah adalah salah satu pro­yek gagah-gagahan ciptaan Su­karno. Hampir bersamaan waktu, ketika itu Sukarno memang se­dang membangun Gelanggang Olahraga Bung Karno seluas 300 hektar pada 8 Februari 1960 untuk menyongsong pelaksanaan Asian Games IV.
Apa komentar Sukarno? Kepa­da R. Soeharto, dokter pribadi yang ketika itu menjabat Menteri Muda Perindustrian Rakyat dan ditugaskan mewujudkan pem­bangunan Sarinah Dept. Store, Bung Karno memberi penjelasan panjang. “Jangan terlalu meng­hi­raukan kecaman itu. Sarinah harus merupakan pusat sales pro­motion barang-barang produksi dalam negeri, terutama hasil per­tanian dan industri rakyat. Pem­bangunan department store itu perlu dikait­kan dengan pendidi­kan tenaga terampil dan ahli kons­truksi gedung bertingkat ting­gi.
Mengenai bidang manaje­men­nya sejalan dengan apa yang kita lakukan mengenai pembangunan Hotel Indonesia. Bangunannya dirancang dengan arsitek Abel Sorensen dari Denmark, diba­ngun oleh kontraktor Jepang, dan pembiayaannya dari rampasan perang Jepang.”
Tidak cukup dengan penjela­san­nya, Bung Karno menam­bah­kan, “Kita harus memandang jauh ke depan. Saya sudah meng­ajukan ketetapan, semua gedung di tepi Jalan Thamrin dan Jen­deral Sudirman harus bertingkat, paling sedikit terdiri dari lima tingkat. Arsitek dan insinyur kita sen­diri kelak harus dapat menger­jakannya tanpa bantuan tenaga asing.”
Sarinah Dept Store, oleh Bung Karno ditargetkan pembangunan­nya selama 5 tahun, dan harus su­dah bisa diresmikan 17 Agus­tus 1966. Berkat bantuan aktif dr Su­mar­no, Gubernur Jakarta wak­tu itu, pembangunan berjalan lan­car, dan sudah bisa diresmikan 15 Agustus 1966, maju dua hari dari target.
Peresmian pada 15 Agustus itu se­betulnya terlambat hampir se­ta­hun dari keinginan Sukarno yang bermaksud meresmikan Sarinah pada Hari Ibu 1965, 22 Desember. Ketika diresmikan, Sukarno se­dang berada di bawah tekanan po­litik yang cukup berat menyusul peristiwa politik berda­rah yang mengakibatkan banyak nyawa melayang pada akhir 1965. Dia berada di ujung akhir ke­kuasaan. Sebelum akhirnya menjalani ta­hanan politik Orde Baru hingga kematiannya pada 1970, Sukarno hanya bisa menik­mati Sarinah sekitar 2 tahun sejak diresmikan
Pembangunan Sarinah, adalah ga­gasan yang sangat maju pada za­mannya. Sukarno yang menge­tahui potensi besar negaranya, meng­hendaki adanya show case yang modern. Dengan begitu, po­te­nsi bangsa dan negara Indone­sia dapat dilihat di Sarinah Dept. Store. Bu­kan sembarang potensi, melainkan potensi sebuah bangsa yang digali dari semangat nasio­nalisme yang tinggi, bukan kare­na modal asing, te­naga asing, dan manajemen asing. Alhasil, jika pada akhirnya se­karang kita men­dapati Sarinah justru jadi show case bisnis kapitalis.
Moratorium Berbeda Dengan Tidak Memberikan Izin
Muhammad Sanusi, Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta
Pemprov DKI Jakarta tidak serius memberlakukan penun­daan perizinan alias  morato­rium mal, sekadar lips service saja. Buktinya, masih banyak pembangunan mal-mal baru.
Pemberian izin pembangu­nan mal sepenuhnya ada di ta­ngan Gubernur. Nah, Fauzi Bo­wo bisa saja tidak mengeluar­kan izin kepada pihak pengem­bang, dengan begitu tidak perlu ada kebijakan moratorium izin pembangun mal.
Menurut saya, bila pemprov memilih kebijakan moratorium sebaiknya melibatkan seluruh stakeholder, seperti DPRD dan masyarakat. Saat ini pemprov masih menggunakan patokan Perda Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang mem­perbo­leh­kannya pembangunan mal.
Perlu diketahui saat ini Perda RTRW sedang menunggu pe­no­moran di Kementerian Da­lam Negeri, sedangkan Perda RDTR pemprov sama sekali belum menyusun naskah aka­demiknya.
Seharusnya komitmen mora­torium itu disampaikan setelah ada perubahan peruntukan dalam RTRW dan RDTR yang ba­ru. Moratorium itu beda de­ngan ti­dak memberikan izin. Mo­rato­rium itu betul-betul meli­batkan seluruh stakeholder.
Setahun Ini Tidak Ada Izin Baru
A Stefanus Ridwan, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia
Kalangan pengusaha tidak kha­watir dengan kebijakan mo­ra­torium pembangunan mal yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebab, pember­lakuannya tidak akan lama.
Kami memahami kebijakan pemprov itu, tapi harus konsis­ten. Pemprov berjanji sampai akhir 2012 tidak akan dikeluar­kan izin baru. Artinya, setahun ini tidak ada izin baru.
Dengan jeda waktu satu ta­hun itu bisa dimanfaatkan mem­benahi mal-mal yang ada, sehingga akan dapat bersaing dengan mal-mal baru yang akan muncul di kemudian hari.
Sebelumnya, Stefanus me­nanyakan kepastian kebijakan moratorium pembangunan mal. Karena kebijakan tersebut hing­ga saat ini belum dituangkan da­lam bentuk peraturan guber­nur atau dasar hukum yang le­bih tinggi, yakni peraturan dae­rah (perda). Untuk itu, para pengem­bang mempertanyakan kebena­ran moratorium tersebut.
Sudah Mencapai 170 Bangunan
Yayat Supriatna, Pakar Planologi Universitas Trisakti
Tidak ada satupun kota-kota megapolitan di dunia yang me­miliki mal di atas 100 buah se­perti Jakarta. Ini sebuah konsep pembangunan yang kebabla­san.  (Akibatnya tata ruang kota men­jadi kacau balau.
Jumlah pusat perbelanjaaan di Jakarta saat ini diperkirakan mencapai 170 lebih dan telah melebihi batas ideal dari jumlah penduduknya. Seharusnya ada skala untuk mengatur agar jum­lah mal tidak tumbuh dengan sangat pesat.
Banyak mal dibangun di­te­ngah pemukiman, sehingga meng­aburkan batasan wilayah hunian dan komersial. Pemba­ngu­nan mal di kawasan strate­gis menjadi biang keladi kema­cetan.
Singapura saja yang dikenal dunia sebagai surga bagi orang-orang yang gemar berbelanja ha­­nya terdapat 130-an mall. Kuala Lumpur dan Selangor, Malaysia yang ratting jumlah wi­satawan­nya lebih tinggi di­ban­ding Jakar­ta hanya memili­ki 100-an mal.
Pembangunan mal memang ber­izin, tapi kenapa bisa terke­san menginvansi dan mering­sek ke kawasan yang semula hu­nian menjadi kawasan komersial.
Hanya saja warga Jakarta men­­jadikan mal sebagai obat de­­presi dan stres. Kondisi ini dapat dipahami karena kini di kota ini memang sangat minim ruang publik yang aman dan nyaman selain mal.
Pesatnya pembangunan mal mengabaikan peningkatan fasili­tas bagi pejalan kaki. Bisa diban­dingkan dengan Singa­pura, yang tengah memper­can­tik trotoar Orchard Road, dari segi taman, fasilitas pejalan ka­ki, dan tata lampu sehingga tro­toar Orchard Road menjadi le­bih lebar, hijau, menyala, dan menghibur. (Ber­be­da dengan kondisi mal di Ja­karta yang menjadi magnet kemacetan. Mal di Jakarta tidak ramah bagi pe­jalan kaki, tetapi sangat me­man­jakan pengguna kendaraan pribadi.
Terkait wacana moratorium izin mal, saya pesimis bisa efek­tif menekan pertumbuhan mal. Sebab, pembangunan mal ber­kai­tan erat dengan kepen­tingan Pemprov DKI Jakarta untuk  mengeruk keuntungan. [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar: