BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 30 Januari 2012

Penyidik & Penuntut Kasus Cek Pelawat Layak Dibidik

RMOL. Setelah Miranda Goeltom menjadi tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, LSM ICW menggelar jumpa pers hasil eksaminasi publik terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta dengan terdakwa Dudhie Makmun Murod, kemarin.
Majelis eksaminasi publik ini, terdiri dari bekas Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Hu­sein, dosen Fakultas Hukum Uni­versitas Padjadjaran Wanodyo Sulistyani, praktisi hukum Ari J Gema dan dosen Fakultas Hukum Paramadina Agus Surono.
Dalam jumpa pers di Kantor In­donesia Corruption Watch, Ka­libata, Jakarta Selatan, Yunus Hu­sein menyatakan, putusan majelis hakim belum mengarah pada ak­tor di balik layarnya. Me­nu­rut­nya, yang masih perlu ditelusuri adalah siapa sponsor di balik per­kara tersebut.
“Saya menduga, kemungkinan, sponsornya adalah bank-bank ber­masalah, maka yang harus di­dalami adalah siapa di balik orang-orang ini,” kata pria yang tahu ba­nyak mengenai transaksi-tran­saksi keuangan mencurigakan lantaran pernah menjadi orang no­mor satu di PPATK ini.
Hal senada disampaikan Sek­jen LSM Transparency Inter­na­tio­nal Indonesia (TII) Teten Masduki yang juga hadir dalam acara tersebut. Menurut dia, ter­pi­lihnya Miranda sangat diingin­kan lembaga perbankan tertentu. “Dengan harapan, nanti bank itu me­miliki relasi ke Miranda jika Miranda terpilih,” tandas bekas Koordinator LSM ICW ini.
Nah, salah satu poin dalam ek­sa­minasi publik ini, hakim Pe­nga­dilan Tipikor kurang meng­gali masalah sponsor tersebut. Majelis eksaminasi ini berharap, hakim mematuhi KUHAP, seperti berperan aktif menggali fakta da­lam persidangan dan mendalami keterangan para saksi.
Koordinator Divisi Hukum ICW Febri Diansyah menam­bah­kan, Komisi Pemberantasan Ko­rupsi perlu mencermati beberapa pihak yang diduga terlibat, tapi sampai saat ini belum ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu, menurut Febri, per­kara suap pemilihan Deputi Gu­bernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) diduga tidak hanya menguntungkan Miranda semata. Pihak-pihak yang diuntungkan atas keterpilihan Miranda, lan­jut­nya, diduga memanfaatkan infor­masi mengenai tindakan yang akan diambil Bank Indonesia kepada bank bermasalah.
“Untuk itu, KPK mesti serius mene­mu­kan dan menjerat pihak per­ban­kan yang diuntungkan ter­kait ke­bijakan BI pasca terpilih­nya Mi­randa,” tandas dia.
Kata Febri, Komisi Pem­be­rantasan Korupsi juga perlu me­la­kukan evaluasi terhadap penyi­dik dan penuntut yang bertugas menangani kasus tersebut. “Pada rekomendasi majelis ek­saminasi, KPK perlu melakukan evaluasi ter­hadap penyidik dan jaksa pe­nun­tut umum dalam kasus cek pe­lawat. Mereka mesti menggali data lebih dalam agar tidak me­nemukan jalan buntu,” ujarnya.
Berdasarkan hasil eksaminasi ini, jaksa penuntut umum (JPU) KPK tidak optimal dan tidak cer­mat mengajukan tuntutan. Soal­nya, JPU hanya menjerat ter­dak­wa dengan Pasal 5 Undang Un­dang Nomor 31 Tahun 1999 de­ngan ancaman huku­man mak­si­mal lima tahun.
Padahal, JPU da­pat meng­gunakan Pasal 12 huruf b UU 31 tahun 1999 jo UU N­o­mor 20 ta­hun 2010, yang anca­man pida­na­nya maksimal 20 tahun.
Febri mengingatkan, dalam kasus jaksa Urip Tri Gunawan, JPU KPK sudah melakukan hal yang benar dengan menggunakan Pasal 12 huruf b dan e, sehingga jaksa penerima suap itu dijatuhi hukum 20 tahun penjara.
Menurut majelis eksaminasi, unsur-unsur pada kasus cek pelawat ini terbukti memenuhi Pasal 12 huruf b itu. “Jika KPK menggunakan pasal ini, ancaman untuk penerima cek pelawat lebih tinggi dan dapat memberikan efek jera,” tandas dia.
Febri berharap, hasil eksami­nasi publik tersebut akan menjadi pertimbangan Komisi Pemb­eran­tasan Korupsi dalam me­nun­tas­kan kasus cek pelawat secara utuh. “Hasil eksaminasi ini akan kami bawa ke KPK,” katanya.
Poin lain dalam eksaminasi ini, pertimbangan hakim yang me­ringankan terdakwa karena sudah memiliki anak dan tidak pernah terlibat pidana, tidak lumrah.
“Ter­­dakwa yang berprofesi se­bagai penyelenggara negara dan per­buatannya bertentangan de­ngan semangat pemberantasan korupsi, semestinya dijadikan per­timbangan yang memberat­kan, tapi malah tidak,” tegasnya.
Febri menambahkan, putusan hakim yang sangat ringan akan berdampak negatif bagi pem­berantasan korupsi, yakni tidak me­nimbulkan efek jera bagi pe­laku dan masyarakat luas. hakim menjatuhkan vonis tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta kepada Dudhie.
REKA ULANG
Divonis 2 Tahun, Dibebaskan April 2011
Bekas anggota Fraksi PDIP DPR Dudhie Makmun Murod dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh hakim Pe­ngadilan Negeri Tipikor, Jakarta. Ketua Majelis Hakim Nani In­drawati menegaskan Dudhie ter­bukti bersalah karena menerima suap berupa traveller cheque (TC) 10 lembar dengan nilai total Rp 500 juta saat pemilihan De­puti Gubernur Senior Bank Indo­nesia (BI) tahun 2004.
Dalam persidangan pembacaan vonis itu, terungkap adanya kerja sama di antara anggota FPDIP di Komisi IX DPR periode 1999-2004. Majelis menyimpulkan Dudhie maupun anggota fraksi PDIP di Komisi IX telah terbukti bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.
Penerimaan hadiah atau janji ini, kata hakim, berkaitan dengan kekuasaaan serta kewenangan jabatan yang bersangkutan seba­gai anggota DPR. Dudhie pun dijerat dengan dakwaan kedua, yakni Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.
Selain vonis penjara, Dudhie juga diwajibkan membayar uang denda sebesar Rp 100 juta sub­sider 3 bulan penjara. Hal yang meringankan, Dudhie belum di­hukum dan mengakui terus te­rang perbuatannya. Selain itu dia ada tanggungan keluarga.
27 April 2011, Dudhie men­da­patkan pembebasan bersyarat dari Ditjenpas Kementerian Hu­kum dan HAM (Kemenkum­ham). “Iya sudah bebas bersyarat, dia (Dudhie) sudah kembali ke keluarganya,”kata Kepala Humas Ditjenpas, Akbar Hadi Prabowo saat dihubungi wartawan, Kamis (9/6/2011).
Menurut Akbar, perhitungan waktu pembebasan bersyarat tersebut juga telah dikurangi re­misi atau potongan masa tahanan yang diterima mantan anggota Komisi IX DPR itu. Dudhie men­dapatkan remisi umum selama satu bulan pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2010. Putra mendiang Jendral Makmun Murod itu juga menerima remisi khusus dalam rangka hari raya keagamaan selama 15 hari.
Akbar menjelaskan, Dudhie dibebaskan secara bersyarat mengacu Surat Keputusan nomor PAS.2.XIII.2847.PK.01:05:06 tertanggal 15 Maret 2011. Ke­pu­tusan tersebut berdasarkan per­timbangan bahwa Dudhie telah menjalani dua per tiga masa tahanannya.
“Remisi umum tahun 2010 se­lama satu bulan dan remisi khu­sus tahun 2010 selama 15 hari, tapi tetap wajib lapor ke Balai Pe­masya­ra­katan sebulan sekali,” pungkas Akbar.
Ada Pembajakan Otoritas Kebijakan
Yunarto Wijaya, Peneliti Charta Politika
Peneliti Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan, kasus suap pemilihan Deputi Gu­bernur Senior Bank Indo­nesia (DGSBI) sangat kental nuansa politisnya.
“Aroma politiknya sangat kental, karena tertuju pada satu partai politik dan orang-orang­nya,” katanya. Dia menilai, dari kasus DGSBI tersebut terlihat sekali pembajakan otoritas ke­bijakan melalui proses demok­ra­tisasi di DPR.
“Eksekutif dan kekuatan lain seperti pengusaha ada didalam­nya dan kemung­ki­nan juga ada orang politik juga.”
Tanpa menyebutkan nama partai politik tersebut, Yunarto menjelaskan, ada dugaan Partai politik tersebutlah yang men­jadi aktor utama dalam men­jalankan proses ini.
“Ini terlihat dari adanya upa­ya secara sadar dalam mem­bangun monopoli pemilihan di parlemen,” ungkapnya. Dia ber­­harap, KPK harus bisa me­ngu­sut tuntas siapa saja yang ter­libat. Termasuk di dalamnya, kader partai atau pengusaha yang diduga berkolaborasi da­lam kasus cek pelawat ini.
Yunarto berpendapat penang­ka­pan Nunun Nurbaeti seha­rus­nya bisa dijadikan momen pen­ting bagi perbaikan kinerja KPK. “Tertangkapnya Nunun ha­rus dijadikan momentum buat KPK agar kasus ini tidak jadi blunder sehingga me­nyu­litkan KPK masuk pada kasus-kasus lainnya.
KPK Diprediksi Bakal Berhadapan Dengan Kekuatan Besar
Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR
Anggota komisi III DPR, Nudirman Munir menilai, un­tuk melihat siapa yang menjadi sponsor Miranda S. Goeltom, re­latif mudah. Hal itu bisa ditelusuri lewat alur pembelian sampai penerimaan cek pelawat tersebut.
“Melihatnya gampang dari mana sumber cek pelawat itu. Ke­mungkinan besar, itulah sponsor Miranda,” katanya.
Menurutnya, siapa yang membeli cek pelawat menjadi penting. Karena dari sana kasus ini berawal. Untuk itu dia me­nyarankan agar pemodal alias orang yang membeli cek pela­wat dibongkar terlebih dahulu.
Nudirman menambahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bisa merunut kasus ini secara cermat. Hal itu di­tujukan agar, dugaan keter­li­ba­tan semua pihak bisa dike­tahui. Politisi Partai Golkar ini juga mengapresiasi tindakan KPK dalam menetapkan Miran­da sebagai tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI .
“Itu kemajuan KPK. Tapi jangan senang dulu,  sekarang ma­salahnya belum semua tun­tas,” tegasnya. Dia meyakini, pasca penetapan status ter­sangka terhadap Miranda, KPK akan berhadapan dengan ke­kuatan besar di balik Miranda.
 Dia mendesak agar KPK le­bih transparan dalam menying­kap kasus ini. Dengan begitu, publik menjadi tahu apa ada janji-janji tertentu jika Miranda terpilih. Dia mendorong KPK untuk meminta data dari Bank In­donesia (BI) guna memas­ti­kan atas nama siapa cek pelawat tersebut dibeli. [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar: