BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Minggu, 30 Juni 2013

Kejagung Harus Gandeng KLH Ungkap Kasus PT Chevron

INILAH.COM, Jakarta - Kejaksaan Agung harusnya bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam menyidik kasus korupsi bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) agar proses hukum kasus ini dilakukan secara benar.

"Dakwaan sudah teknis, yakni sudah masuk teknis ke domainnya KLH, sehingga ini saya pertanyakan. Dulu ada kerja sama KLH, Polri, dan Kejagung. Artinya dalam menetapkan dakwaan harus minta petimbangan. Artinya gabungan penyidikan," kata Asisten Deputi Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Wirjono Koesmoedjihardjo dalam sebuah diskusi, Sabtu (29/6/2013)

Dalam diskusi yang diadakan oleh IKA ITS, Wirjono menerangkan, hal itu harus dilakukan penyidik Kejaksaan Agung mengingat dalam UU Lingkungan Hidup mengaturnya agar tidak terjadi kesalahan proses hukum, karena ada sejumlah ketentuan teknis yang tidak semua penyidik memahaminya.

"Sesuai dengan UU kami, bahwa kalau ada pelanggaran lingkungan, itu ada gabungan penyidikan, diatur dalam bab penyidikan. Kemudian, alat bukti itu hasil dari penyidikan dan diserahkan ke jaksa penuntut," paparnya.

Namun, imbuh dia, karena saat ini sudah ada putusan yang kontroversial, maka setelah ada putusan tersebut, yakni terhadap Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI), Ricksy Prematuri, dan Direktur PT Sumigita Jaya, Herlan bin Ompu, hal itu langsung disikapi Sekretaris Kabinet (Setkab).

"Begitu ada putusan CPI, yakni PT GPI dan Sumigita, langsung Setkab memanggil semua, jadi sebelum ini tidak ada putusan yang sampai Setkab turut campur, karena ada hal di luar kebiasaan," tuturnya.

Kemudian, ucap Wirjono, ada dua kali pertemuan untuk membahas kasus tersebut. Pertemuan pertama melibatkan PT CPI, sedangkan pada pertemuan kedua, yakni antara Kejaksaan Agung dan Badan Pengawsan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang merupakan satu tim dengan KLH, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Pada pertemuan itu, Mensetkab, Dipo Alam meminta klarifikasi terhadap Jaksa Agung Basrief Arief, alasan menjadikan Edison Efendi sebagai saksi kasus bioremediasi. Basrief menjawab, bahwa Kejaksaan Agung telah memilih dan menseleksi dari berbagai universitas, kemudian terpilihlah Edison dari Universitas Trisaksi (Usakti) serta dua orang saksi lainnya yang di antaranya asal Malang.

Jawaban itu mengagetkan Dipo. Kemudian karena Dipo alumnus Universitas Indonesia yang kebetulan ada juga alumnus dari kampusnya yang menjadi terdakwa dalam kasus bioremediasi tersebut, kemudian menanyakan alasan Kejaksaan Agung tidak mengambil saksi dari Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) yang juga mempunyai pakar bioremediasi.

"Dijawab jaksa agung, kami tidak lihat dari siapa pengadu, tapi melihat dari subtansi," ucap Wirjono menirukan jawaban Basrief Arief.

Selain kontroversinya saksi ahli Edison Efendi yang disinyalir pernah kalah tender dalam memperebutkan proyek tersebut, ujar Wirjono, pernyataan BPKP juga sangat membingungkan dengan menyebut ada dugaan kerugiaan negara atas proyek bioremediasi tersebut.

Pernyataan BPKP tersebut sangat bertentangan dengan hasil audit Badan Pemerisa Keuangan (BPK) periode 2003-2012 yang tidak menemukan adanya penyimpangan.

"Apa iya hasil audit berkala bisa dipatahkan secara sesaat. Saat ini BPKP kelabakan dan minta data ke KLH. Saat itu Bu Neli, Deputi kami, sampaikan untuk yakinkan audien peserta rapat, bahwa perizinan CPI tidak ada masalah. Bu Neli juga jelaskan, proses izin adalah perpanjangan," bebernya.

Menurutnya, Neli saat itu juga menerangkan, kalau itu perpanjangan, maka tidak diperlukan proses baru untuk mengurus izin tersebut. "Kami hanya lihat, apakah ketentuan-ketentuan itu sudah dilaksanakan, dan apakah teknologinya ini bisa digunakan yang salahsatunya penurunan TPH?" ujarnya.

Selain itu, apakah teknolgi yang digunakan tersebut tidak menjadi masalah bagi lingkungan? "Itu kunci. Selain itu, ada syarat yang belum dipenuhi karena ada aturan kebijakan ketentuan baru, yakni setiap kegiatan harus dilengkapi dokumen lingkingan, sehingha kenapa saat perpanjangan itu proses agak lama," paparnya. [ton]

Tidak ada komentar: