BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Kamis, 26 Februari 2015

Menangis Saat Putuskan Kasus PPP, Ini Kiprah Hakim Teguh

Prins David Saut - detikNews
Jakarta - Hakim Teguh Satya Bhakti menangis saat memutuskan gugatan atas kepengurusan PPP yang diajukan oleh kubu Suryadharma Alie pada Rabu (25/2) kemarin. Ternyata hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) itu kerap disebut sebagai hakim progresif.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Kamis (26/2/2015), hakim Teguh memulai karirnya memegang palu pada 2007 hingga 2010 lalu di PTUN Banjarmasin. Lalu ia dipindahkan oleh Mahkamah Agung (MA) ke PTUN Semarang pada 2010 hingga 2013 lalu.

Setelah menjalani tugas di Semarang, hakim Teguh kini menjadi salah satu hakim di PTUN Jakarta. Usut punya usut, ternyata dia adalah hakim PTUN yang pernah membatalkan Keppres pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar pada 2014 lalu. Namun belakangan putusannya dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi TUN dan MA.

Hakim Teguh juga diketahui pernah mengajukan permohonan uji materi UU Keuangan Negara ke MK terkait kesejahteraan hakim pada 2011 lalu. Namun pada 9 April 2012 lalu, Kemenkeu menyatakan kenaikan gaji hakim mengikuti PNS.

Walau begitu, hakim Teguh sempat membuat grup untuk memperjuangkan kesejahteraan hakim di Indonesia dengan anggota mencapai 5.000 orang lebih dari berbagai kalangan, dan mengancam melakukan mogok nasional. Hal ini yang membuat hakim Teguh pernah diperiksa oleh Badan Pengawas MA pada 21 April 2011 lalu.

Kemudian hakim Teguh juga dilibatkan sebagai anggota tim penyusunan rancangan revisi UU Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) yang dikaji oleh MA pada Juli 2014 lalu.

Saat membacakan putusan gugatan atas pengesahan Kemenkum HAM terkait kepengurusan PPP yang diakui pemerintah, Ketua majelis hakim Teguh Satya Bhakti terlihat lima kali menangis terisak.

Berulang kali dia mengutip beberapa ayat dalam Alquran tentang perlunya umat Islam bersatu, bukan tercerai berai seperti PPP saat ini. "Umat Islam itu harus bersatu, bukan bercerai berai," kata hakim yang lahir di Ampenan, NTB, sambil terisak membacakan putusannya di ruang sidang PTUN, Jakarta Timur, Rabu (25/2).

Tidak ada komentar: