BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 23 Februari 2015

Badrodin Haiti: Soal Rekening Gendut, Tanya Saja KPK

Ibad Durohman - detikNews
Jakarta - Komisaris Jenderal Badrodin Haiti diusulkan Presiden Joko Widodo untuk menjadi calon Kepala Polri ke Dewan Perwakilan Rakyat. Namanya pernah disebut-sebut sebagai salah satu jenderal pemilik rekening gendut.

Badrodin akan menggantikan Komjen Budi Gunawan, yang pencalonannya menimbulkan kontroversi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka pemilik rekening gendut. Menjadi tersangka, Budi mengajukan permohonan praperadilan dan menang. Namun, karena pencalonan Budi menimbulkan kontroversi, Jokowi memutuskan tidak melantiknya dan memilih menunjuk Badrodin.

Badrodin tidak khawatir akan bernasib sama dengan Budi Gunawan. Pemilik harta Rp 8,2 miliar ini menyatakan tidak ada masalah dengan hartanya. Ia mengaku sebagai polisi yang rajin melaporkan hartanya ke KPK.

Hasil penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badrodin disebut tercatat membeli polis asuransi pada PT Prudential Life Assurance dengan harga yang fantastis, yakni sebesar Rp 1,1 miliar. Badrodin menjelaskan semua sudah dilaporkan ke KPK. “Ada polis asuransi Rp 1 miliar. Itu ada di LHKPN. Terbuka kok itu,” ujarnya dalam fokus majalah detik edisi 169.

Lantas bagaimana Badrodin akan menyelesaikan kisruh Polri dengan KPK? Bagaimana pula ia akan memberi posisi kepada Budi Gunawan? Berikut ini wawancara dengan Badrodin Haiti di rumah dinasnya, Jakarta, Kamis, 19 Februari.

Sekarang Anda dicalonkan jadi Kapolri. Bagaimana Anda akan menyelesaikan kisruh KPK-Polri? Penyelesaian KPK-Polri menjadi prioritasyang akan kita ambil. Kalau itu tidak selesai, kerja sama ke depannya juga tidak baik. Karena itu, (permasalahan) itu kita selesaikan dulu.Penyelesaiannya, kita mau duduk bareng membicarakan apa maunya kamu, apa maunya dia. (Kisruh) yang sekarang ini kan paling berat karena memang sudah ada politiknya di sini, sehingga Bapak Presiden juga mengambil keputusannya harus menghitung-hitung. Menghitung mana yang tepat.

Anda sebelumnya bilang akan ada komunikasi dengan pimpinan KPK yang baru terkait penanganan pimpinan KPK yang sudah dijadikan tersangka. Apakah maksudnya kasusnya akan di-SP3? Jadi begini, selama ini komunikasi antara KPK dan Polri secara personal berjalan baik, akan tetapi dibangun setelah ada kasus. Setelah ada kasus, baru komunikasi (dilakukan) secara intensif. Kenapa tidak dibangun dari awal untuk melakukan pencegahan? Misalkan, kalau ada sesuatu, ngasih tahu, “Ini Pak, bahaya.” Kan harusnya seperti itu. Kalau ada suatu penyimpangan, jangan dibiarkan saja, jadi akhirnya hubungan ini baik di permukaan tapi di dalamnya masih ada kecurigaan

Pola komunikasi yang baru intensif ketika ada kasus harus diubah. Apalagi pola hubungan Polri dan KPK pada level pelaksana—artinya penyidik—seolah-olah ditanamkan bahwa penyidik di KPK ini, dan penyidik Polri ini. Selalu sasarannya Polri, tidak boleh begitu, kan. Tak boleh. Jadi seperti itu. Kalau ada penyimpangan, ya kasih tahu.

SP3 ada persyaratannya. SP3 kan instrumen hukum. Nah, persoalan persyaratannya kan harus ada. Tak bisa sewenang-wenang, “Oh, saya maunya SP3”. Tak bisa begitu.

Tidak ada komentar: