BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 19 Februari 2016

Pengamat Hukum: Memiskinkan Koruptor Lebih Baik Dibanding Hukuman Mati

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Hukum dari Universitas Bung Hatta, Padang Refki Saputra tidak setuju ide hukuman mati bagi terpidana korupsi yang mencapai jumlah besar.
Karena menurut dosen Hukum dari Universitas Bung Hatta, Padang ini, pidana ditujukan untuk memperbaiki (rehabilitasi).
Dijelaskan, paradigma pemenjaraan ditujukan dalam rangka pemasyarakatan.
Jadi penjara bukan sekedar tempat pengekangan hak kebebasan semata. Melainkan untuk menyiapkan para narapidana untuk kembali ke masyarakat.
Selain juga dia sendiri termasuk yang menolak hukuman mati diterapkan dalam tindak pidana apapun.
"Karena pidana ditujukan untuk memperbaiki (rehabilitasi)," tegas dia kepada Tribun, Kamis (17/2/2016).

Dia pun menegaskan Pasal 2 ayat 2 UU No 20 Tahun 2001 yang mengatur terkait hukuman mati, tetapi hanya dalam keadaan tertentu. Tidak di luar pasal 2.
"Pidana mati hanya bisa dilakukan untuk pasal 2 saja," demikian dia ingatkan.
Alasan lainnya, bila tindak pidana mati diterapkan untuk bidang keuangan atau ekonomi, maka akan mempersulit proses pengembalian aset yang telah dikorupsi oleh pelaku yang dibawa keluar negeri.
"Sebagian besar negara-negara sudah menghapus pidana matinya. Maka akan sulit menjalin kerjasama (mutual legal assistance) dalam mengejar aset hasil tindak pidana," ujarnya.
Karena itu, dia tegaskan, efek jera memiskinkan dengan memaksimalkan sanksi pidana denda para koruptor jauh lebih penting.
"Makanya, saya lebih menekankan pemaksimalan pidana dendanya. Karena disitu ada yang diambil dari kenikmatan pelaku korupsi," katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo kecewa dengan vonis pengadilan terhadap para terdakwa korupsi yang kerap di bawah tuntutan jaksa.

Hasil pengamatannya sekitar dua bulan di KPK atas kasus-kasus korupsi, Agus mulai berpikir agar para terdakwa korupsi dalam kasus tertentu bisa dihukum mati.
Dalam Pasal 2 ayat 2 UU No 20 Tahun 2001 memang sudah diatur terkait hukuman mati, tetapi hanya dalam keadaan tertentu.
Keadaan tertentu yang dimaksud adalah korupsi dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Agus ingin agar hukuman mati bisa diterapkan terhadap kasus di luar yang diatur itu, misalnya terhadap terdakwa yang melakukan korupsi dalam jumlah besar.

Tidak ada komentar: