BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 19 Februari 2016

Pejabat MA Ditangkap KPK, Tunda Pengiriman Putusan Juga Langgar UU dan SEMA

Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Penangkapan pejabat Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna (ATS) oleh KPK membuka lubang judicial corruption di bidang administrasi pengadilan. Andri diduga menunda pengiriman berkas perkara dengan imbalan segepok uang dari si terpidana korupsi Ichsan Suaidi.

Selain terseret kasus korupsi, aparat yang menunda pengiriman putusan juga melanggar UU Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

"Peristiwa belum disampaikannya segera salinan putusan juga bentuk pengingkaran Pasal 52 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Jumat (19/2/2016).

Aturan itu lebih tegas diatur dalam SEMA Nomor 01 Tahun 2011 tentang Perubahan Surat Edaran Nomor 02 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan yang menyebutkan pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata sudah harus menyediakan salinan putusan untuk para pihak dalam waktu 14 hari kerja sejak putusan diucapkan. Sementara untuk perkara pidana, pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diucapkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya, penyidik dan penuntut umum.

"Oleh karena itu disayangkan jika lembaga sekelas MA melanggar aturan dalam hal ini SEMA yang dibuatnya sendiri mengingat MA adalah puncak lembaga pengadilan yang harusnya memberikan contoh baik bagi tingkatan pengadilan di bawahnya yaitu contoh ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan saat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya," papar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.

Salah satu putusan yang hingga kini masih menjadi misterius adalah vonis perdata terhadap perusahaan sebesar Rp 368 miliar karena membakar hutan di Aceh. MA berdalih salinan putusan itu belum selesai diketik padahal telah diputus pada Agustus 2015 lalu.

"Ini merupakan kejadian yang semakin menurunkan wibawa MA sebagai pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan di Indonesia di mata publik. Peristiwa ini selain bertentangan dengan asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, juga bertentangan dengan prinsip pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan," papar Bayu.

Pelanggaran terhadap jangka waktu penyampaian salinan putusan ini juga tidak bisa hanya dilihat sebagai kesalahan administratif semata, melainkan harus dilakukan pemeriksaan oleh internal MA untuk mengetahui apakah terdapat unsur penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat di MA.

"Terhadap peristiwa ini Komisi Yudisial juga sudah bisa mulai bergerak untuk melakukan pemeriksaan apakah terdapat keterlibatan oknum hakim agung dalam peristiwa ini ataukah hanya di level kesekjenan dan panitera, mengingat sesuai Pasal 53 UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. Tanggung jawab atas putusan ini dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim dijabarkan yaitu hakim dilarang memperlambat atau menunda eksekusi," pungkas Bayu. 

Tidak ada komentar: