Andri Haryanto - detikNews
Jakarta
Tabuh genderang perang terhadap 'The Silent Killer' alias narkotika
terus bergemuruh. Namun di tengah harapan hukuman mati mampu membuat
jera gembong narkotika di Indonesia, ketuk palu hakim menganulir hukuman
mati seorang bandar narkotika menjadi belasan tahun bui. Artinya, sang
bandar tinggal menunggu waktu untuk kembali menghirup udara bebas.
Jauh
sebelum putusan diketuk, beberapa aparat yang fokus dalam upaya
pemberantasan narkotika, Badan Nasional Narkotika (BNN), harus bergelut
dengan lika-liku kendala yang dihadapi di lapangan. Mulai dari hujan,
panas, sampai harus berbulan-bulan hidup di jalanan. Bahkan ada perwira
tinggi yang rela berdiri lama di dekat kamar mandi dengan bau tidak
sedap demi menunggu sipir kencing guna pemeriksaan.
Seorang
penyidik BNN bercerita kerasnya proses pengungkapan dari kasus-kasus
yang ditangani. "Kadang kita harus tinggalin keluarga sampai dua bulan,
kadang tiga bulan. Itu kena panas dan hujan tidak bisa lepas dari target
yang diburu," ujar penyidik yang meminta identitasnya disamarkan, saat
berbincang dengan detikcom, beberapa waktu lalu.
Kepada keluarga,
mereka harus menyimpan rapat tugas yang akan mereka hadapi di lapangan.
Hal ini agar operasi tidak bocor sedikit pun ke luar lingkaran petugas
yang terjun memburu gembong The Silent Killer.
"Kami juga harus
menghindari razia kepolisian agar operasi benar-benar senyap dan tidak
bocor dari petugas di wilayah yang dimasuki," jelasnya.
Pengalaman
terberat yang dia rasakan adalah ketika harus menguntit bos pabrik
ekstasi terbesar di Asia, Cikande, Serang, milik Benny Sudrajat alias
Pandi Winarti dan Iming Santosa alias Budi Sucipto, pada 2006 lalu.
Setelah empat bulan berada di jalanan mengikuti kaki tangan sang bandar,
sakit pun mulai dirasakan. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah
mereka
"Namanya itu risiko tugas, mau tidak mau harus tetap
dilakukan," ujarnya seraya menambahkan kendala lainnya adalah
terputusnya sel-sel antar pengedar narkoba.
Informasi lain yang
diterima detikcom, beratnya medan dirasakan aparat saat harus menempun
ladang ganja yang berada di kawasan pegunungan Sumatra, Mandailing
Natal, Sumut dan Aceh. Dia mencontohkan bagaimana perjuangan untuk
mencapai puncak gunung Huta Tua di Mandailing Natal mencari ladang ganja
seluas 7 hektare berdasarkan informasi dari masyarakat.
"Dari kaki gunung sekitar pukul 05.30 WIB, sementara kami mencapai puncak pukul 13.30 WIB," ujar penyidik lainnya.
Perjalanan
di kawasan itu cukup berat. Tidak ada jalan setapak yang memandu
petugas mencapai puncak. Kontur lereng yang curam dan licin menyulitkan
petugas yang terjun. Mereka menapaki lereng dengan bergelantungan.
Kondisi serupa juga mereka jumpai di Aceh saat menembus belantara untuk
mencapai salah satu puncak Gunung Seulawah, memberantas 11 hektare
ladang ganja yang sedang dipanen.
Hal menarik adalah ketika
petugas BNN menggerebek Lapas Narkotika berdasarkan pengembangan
penyelidikan kasus peredaran sabu. Saat itu petugas yang dipimpin
langsung Deputi Penindakan BNN, Brigjen Pol Benny Mamoto, usai memeriksa
sel yang dihuni bandar, langsung melakukan tes urin kepada seluruh
sipir Lapas.
Ada yang menarik saat tes urine dilakukan, di mana
salah seorang sipir tidak juga kunjung berhasil mengeluarkan air seni
walaupun telah meneguk 3 liter air mineral kemasan dan diminta berlari
mengelilingi lapangan lapas. Saat itu, Benny yang mengantar dan
menunggui sipir itu kencing. Hal yang tak lazim dilakukan seorang
perwira tinggi, berdiri di lorong kamar mandi dengan bau tidak sedap
karena saluran air yang rusak.
Sikap itu diambil karena
kemungkinan sang sipir tegang saat dijaga petugas BNN bersenjata dan
menggunakan masker. "Prinsip saya, ketika penugasan penuh risiko saya
harus ada di situ," ujar Benny beberapa waktu lalu di Aceh.
Dalam
setiap operasi, Benny memang selalu terlihat memimpin pasukannya.
"Lapas menjadi rawan, kepancing emosi itu ada, kalau anggota dilepas
pasti ribut," ujar mantan atlet tembak dan tidak menyukai golf ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar