BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 01 Oktober 2012

Penasihat KPK: Banyak Hakim Bermasalah, Izin Menyadap ke PN Tidak Logis

Fajar Pratama - detikNews

Jakarta Dalam draft UU 30 Tahun 2002 tentang KPK, muncul pasal sisipan yang mengharuskan KPK untuk meminta izin pengadilan negeri dalam hal melakukan penyadapan. Hal ini dinilai sangat tidak relevan, mengingat banyaknya hakim yang bermasalah, yang pernah ditangkap KPK.

"Sama sekali tidak relevan. Kan banyak kasus hakim itu, yang ditangkap KPK, masak harus izin, ini tidak logis," ujar penasihat KPK Said Zainal Abidin dalam perbincangan dengan detikcom, Minggu (30/9/2012).

Terkait draft revisi UU 30 tahun 2002, Said meminta para anggota komisi hukum DPR untuk memikirkan kembali. Prosedur perizinan ke pengadilan negeri, menurut Said, jelas merupakan upaya melemahkan KPK.

"Sebaiknya para anggota DPR itu berpikir lebih jernih. Kalau mau selamat ya selamatkan diri saja, jangan memperlemah KPK," papar Said.

Selama ini, KPK sudah beberapa kali menangkap basah hakim yang kedapatan tengah menerima suap. Di antaranya adalah Hakim Syarifuddin, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Imas Dianasari, dan terkahir pada 17 Agusutus silam, penyidik menangkap dua hakim adhoc pengadilan negeri Tipikor Kartini Marpaung dan Heri Kisbandono.

UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan wewenang kepada KPK menyadap setiap terduga korupsi. Namun dalam revisi UU KPK, disisipkan pasal yang banyak menuai kontroversi.

"Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A," demikian tertulis dalam draf revisi UU KPK yang diperoleh detikcom, Minggu (30/9/2012).

Dalam pasal 12A diatur mengenai mekanisme penyadapan KPK. KPK diharuskan meminta izin sebelum menyadap terduga korupsi. Pasal ini yang kemudian disebut melemahkan KPK.

Berikut bunyi lengkap pasal 12A dalam draf revisi UU tentang KPK:

(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a harus memenuhi persyaratan syarat-syarat sebagai berikut:
a.setelah adanya bukti permulaan yang cukup;
b.dilaksanakan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
c.mendapat persetujuan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri untuk melakukan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam keadaan mendesak, penyadapan dapat dilakukan sebelum mendapatkan izin tertulis dari ketua pengadilan negeri.

(4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah dimulainya penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang sedang berlangsung dilaporkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi setiap bulan.

(6) Penyadapan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak dikeluarkannya izin tertulis dari ketua pengadilan negeri.

(7) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

(8) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah penyadapan dilaksanakan.

(9) Hasil penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a bersifat rahasia.

(10) Kerahasiaan hasil penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikecualikan untuk kepentingan peradilan.

(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyadapan diatur dengan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi.


Tidak ada komentar: