Fajar Pratama - detikNews
Jakarta
Dalam draft UU 30 Tahun 2002 tentang KPK, muncul pasal sisipan yang
mengharuskan KPK untuk meminta izin pengadilan negeri dalam hal
melakukan penyadapan. Hal ini dinilai sangat tidak relevan, mengingat
banyaknya hakim yang bermasalah, yang pernah ditangkap KPK.
"Sama
sekali tidak relevan. Kan banyak kasus hakim itu, yang ditangkap KPK,
masak harus izin, ini tidak logis," ujar penasihat KPK Said Zainal
Abidin dalam perbincangan dengan detikcom, Minggu (30/9/2012).
Terkait
draft revisi UU 30 tahun 2002, Said meminta para anggota komisi hukum
DPR untuk memikirkan kembali. Prosedur perizinan ke pengadilan negeri,
menurut Said, jelas merupakan upaya melemahkan KPK.
"Sebaiknya
para anggota DPR itu berpikir lebih jernih. Kalau mau selamat ya
selamatkan diri saja, jangan memperlemah KPK," papar Said.
Selama
ini, KPK sudah beberapa kali menangkap basah hakim yang kedapatan
tengah menerima suap. Di antaranya adalah Hakim Syarifuddin, Hakim
Pengadilan Hubungan Industrial Imas Dianasari, dan terkahir pada 17
Agusutus silam, penyidik menangkap dua hakim adhoc pengadilan negeri
Tipikor Kartini Marpaung dan Heri Kisbandono.
UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan wewenang
kepada KPK menyadap setiap terduga korupsi. Namun dalam revisi UU KPK,
disisipkan pasal yang banyak menuai kontroversi.
"Di antara Pasal
12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A," demikian
tertulis dalam draf revisi UU KPK yang diperoleh detikcom, Minggu
(30/9/2012).
Dalam pasal 12A diatur mengenai mekanisme penyadapan
KPK. KPK diharuskan meminta izin sebelum menyadap terduga korupsi.
Pasal ini yang kemudian disebut melemahkan KPK.
Berikut bunyi lengkap pasal 12A dalam draf revisi UU tentang KPK:
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a harus memenuhi persyaratan syarat-syarat sebagai berikut:
a.setelah adanya bukti permulaan yang cukup;
b.dilaksanakan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
c.mendapat persetujuan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi meminta izin tertulis dari ketua
pengadilan negeri untuk melakukan penyadapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam keadaan mendesak, penyadapan dapat dilakukan sebelum mendapatkan izin tertulis dari ketua pengadilan negeri.
(4)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus meminta izin tertulis dari
ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam setelah dimulainya penyadapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(5) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf a yang sedang berlangsung dilaporkan kepada Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi setiap bulan.
(6) Penyadapan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak dikeluarkannya izin tertulis dari ketua pengadilan negeri.
(7) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(8)
Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang telah
selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah
penyadapan dilaksanakan.
(9) Hasil penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a bersifat rahasia.
(10) Kerahasiaan hasil penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikecualikan untuk kepentingan peradilan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyadapan diatur dengan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar