Nograhany Widhi K - detikNews
Jakarta - Usia mereka sudah senja namun masih saja
dibawa menjadi pesakitan di meja hijau. Kondisi nenek-nenek itu suatu
ironi bila dibandingkan dengan penggarong uang negara yang bahkan ada
yang masih bebas berkeliaran. Siapa saja nenek malang itu?
1. Nenek MinahKetika sedang asik memanen kedelai,
mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao ranum di Dusun Sidoarjo, Desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2
Agustus 2009 lalu. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya
untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Lahan garapan Minah ini
juga dikelola oleh PT Rumpun Sari Antan (RSA) untuk menanam kakao.
Setelah
dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan
begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang
mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang
memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu
perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh
dilakukan karena sama saja mencuri.
Sadar perbuatannya salah,
Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya
lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor
tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja.
Namun
dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab
seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi.
Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai
seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Dan
hari Kamis (19/11/2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang
Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3
bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal
362 KUHP tentang pencurian.
Menurut pantauan detikcom saat itu,
suasana persidangan Minah berlangsung penuh keharuan. Selain
menghadirkan seorang nenek yang miskin sebagai terdakwa, majelis hakim
juga terlihat agak ragu menjatuhkan hukum. Bahkan ketua majelis hakim,
Muslih Bambang Luqmono SH, terlihat menangis saat membacakan vonis.
"Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang," ujar Muslih.
Vonis
hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan disambut
gembira keluarga, tetangga dan para aktivis LSM yang mengikuti sidang
tersebut. Mereka segera menyalami Minah karena wanita tua itu tidak
harus merasakan dinginnya sel tahanan.
2. Nenek Artija
Nenek Artija yang berusia 70 tahun
pada 2013 lalu, dilaporkan oleh anak kandungnya sendiri Manisa yang
mengaku jika pohon yang dicuri dengan cara ditebang itu berada di tanah
miliknya. Manisa mengaku, hanya melaporkan kakak kandungnya, Ismail dan
anaknya Syafii.
"Waktu itu yang saya laporkan adalah kakak saya,
Ismail dan anaknya yang bernama Syafii. Saya tidak pernah melaporkan ibu
saya karena sebagai anak saya juga mencintainya," kata Manisa dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Jember, Kamis (25/4/2013) siang.
Manisa
juga mengaku terkejut, ketika dalam perkembangan kasusnya, ternyata ibu
kandungnya Artija juga menjadi tersangka, karena dianggap sebagai orang
yang menyuruh menebang pohon. Manisa menduga, masuknya Artija dalam
kasus ini, merupakan upaya yang dilakukan Ismail dan Syafii bersama
penasihat hukumnya.
"Itu kan memang rekayasa mereka agar ibu saya
tersangkut. Padahal saya tidak pernah melaporkan ibu saya. Kalau saya
diminta mencabut laporan dan berdamai dengan ibu saya, ya saya mau. Tapi
kalau diminta berdamai dengan Ismail dan anaknya, saya menolak," tegas
ibu dua anak ini.
Manisa juga menegaskan bahwa kayu yang ditebang
Ismail dan Syafii merupakan pohon yang tumbuh di atas tanahnya. Tanah
itu telah dibeli Manisa pada tahun 2002 lalu. Dia terpaksa membeli tanah
itu karena oleh pemiliknya akan diwakafkan dan dijadikan kuburan
Sementara
penasihat hukum terdakwa, Abdul Haris Afianto SH menampik tudingan
bahwa dirinya merekayasa masuknya nama Artija dalam kasus tersebut.
Menurut pengacara yang akrab disapa Alfin itu, masuknya nama Artija
murni kewenangan polisi sebagai penyidik. Sebab Artija mengaku
penebangan kayu itu atas perintahnya sehingga perempuan itu dianggap
sebagai orang yang turut serta.
Dalam beberapa kali sidang,
Artija selalu histeris karena tidak kuat menahan beban atas kasus yang
melilitnya. Bahkan perempuan itu sempat dipapah ke luar sidang karena
nyaris pingsan.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jember akhirnya
menghentikan sidang kasus nenek Artija. Majelis hakim menyatakan
tuntutan atas kasus pencurian kayu yang dialamatkan kepada warga
lingkungan Gempal, Keluarahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari itu, tidak
dapat diterima.
"Berdasarkan surat pencabutan perkara dari
Kejaksaan Negeri Jember dan demi rasa keadilan masyarakat, maka majelis
hakim memutuskan tuntutan terhadap terdakwa Ismail, Syafii dan Artija
alias Bu Ismail, tidak dapat diterima," kata ketua Majelis Hakim Ari
Satyo Rancoko SH dalam persidangan, Kamis (16/5/2013).
Begitu
hakim mengetukkan palu sidang, Artija pun tak kuasa membendung air
matanya. Perempuan berusia 72 tahun itu pun langsung berdiri dari tempat
duduknya dan menyalami majelis hakim, diikuti anaknya Ismail dan
cucunya Syafii yang juga menjadi terdakwa.
Sambil terus
meneteskan air mata, Artija mengucapkan terima kasih kepada 3 hakim yang
menyidangkan kasus pencurian kayu bakar itu.
3. Nenek Asyani
Seorang nenek 63 tahun menangis
histeris di ruang sidang pengadilan negeri (PN) Situbondo, Jatim. Asyani
alias Bu Muaris, asal Kecamatan Jatibanteng, meminta belas kasihan
majelis hakim, agar dibebaskan dari tuduhan pencurian kayu jati (illegal
logging).
Sebab, kayu yang ditebang sekitar 5 tahun lalu itu,
berada di atas lahannya sendiri. Asyani menangis histeris, saat kuasa
hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusantara Situbondo membacakan
eksepsi atau pembelaan.
Nenek Asyani ini dijerat dengan pasal
12 juncto pasal 83 UU Nomor 18 tahun 2013, tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
"Penyidikan kasus ini terkesan
dipaksakan. Terdakwa dipaksa mengakui atas perbuatan yang tidak
dilakukan guna menyempurnakan BAP sesuai yang diinginkan penyidik. Ini
jelas tidak sesuai dengan UU dan sudah melanggar HAM," kata Supriyono,
kuasa hukum terdakwa, Senin (9/3/2015).
Keterangan yang diperoleh
detikcom menyebutkan, kasus penebangan 7 batang kayu jati yang menyeret
Asyani ini terjadi sekitar 5 tahun lalu. Namun, pihak Perhutani
melaporkan kasus ini pada Agustus 2014 lalu.
Nenek Asyani pun
ditahan oleh penyidik sejak 15 Desember 2014. Selain itu, lokasi
penebangan pohon itu disebut-sebut berada di lahan milik Asyani.
Kepemilikan lahan itu konon juga dikuatkan dengan catatan di buku
catatan tanah di kantor desa setempat.
Saat sidang di Pengadilan
Negeri (PN) Situbondo, Kamis (12/3/2015), Asyani menangis dan menjerit,
saat melihat salah satu Mantri Perhutani berada di ruang sidang. Konon,
si mantri itulah yang melaporkan kasus pencurian kayu Asyani ke Mapolsek
Jatibanteng.
"Been se tege ka engkok, engkok tak tao alako
ngecok (Kamu yang tega ke saya. Saya tidak pernah mencuri)," jerit
Asyani saat duduk di kursi pesakitan PN Situbondo.
Nenek Asyani
histeris, saat tanggapan terhadap nota pembelaan kuasa hukumnya baru
saja selesai dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ida Hariyani. Dia baru
berangsur tenang setelah kuasa hukumnya dan JPU berusaha menenangkan.
Salah satu kuasa hukumnya, H Supriyono, juga meminta agar si mantri
perhutani keluar dari ruang sidang.
Munculnya tudingan rekayasa
penyidikan terhadap Asyani dibantah keras aparat kepolisian di
Situbondo. Polisi memastikan, proses penyidikan yang dilakukan Unit
Reskrim Polsek Jatibanteng sudah sesuai prosedur. Sehingga tahapan
penyidikan bisa diselesaikan dan berkas dinyatakan sempurna oleh
Kejaksaan Negeri (Kejari) Situbondo.
"Proses penyidikan sudah
selesai dan sekarang sudah memasuki tahap persidangan. Silakan hormati
proses hukum yang berjalan, agar tidak muncul opini yang justru bisa
membingungkan masyarakat. Kalau ada yang merasa dirugikan, silakan
tempuh jalur hukum," kata Kasubbag Humas Polres Situbondo, Ipda H Nanang
Priambodo, Kamis (12/3/2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar