Oleh :
Dedy Priatmojo
VIVA.co.id - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
mengusulkan pemberian dana Rp1 triliun kepada partai politik setiap
tahunnya. Dana tersebut sebagai bentuk perhatian negara untuk
meningkatkan transparansi dan demokrasi.
Selain itu, dana itu diharapkan akan mengurangi korupsi dan untuk
kaderisasi. Bahkan, calon kepala daerah akan dibiayai dari dana bantuan
ini.
Jika merujuk pada jumlah partai politik yang ada di parlemen saat
ini, terdapat 10 parpol. Maka dapat diasumsikan uang rakyat akan dipakai
untuk membiayai elit partai senilai Rp10 triliun per tahun.
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menolak usulan
Mendagri tersebut. Setidaknya ada 9 alasan mengapa FITRA menolak usulan
mantan Sekjen PDI Perjuangan itu.
1. Partai Politik belum mempunyai perangkat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana dari APBN.
Berdasarkan
riset Fitra menunjukkan, penggunaan bantuan keuangan Parpol pada tahun
2010 tidak transparan dan tidak akuntabel setiap tahunnya. Perangkat
transparansi dan akuntabilitas partai politik juga masih rendah.
Salah satu penyebabnya adalah karena bendahara partai biasanya hanya
berfungsi sebagai “kasir”, tanpa pencatatan keuangan yang jelas. Laporan
penggunaan keuangan dari APBN tidak sesuai dengan peruntukan, dan
pencatatan keuangan parpol masih bersifat manual.
2. Rencana alokasi tanpa perhitungan kursi justru membuat partai malas bekerja untuk rakyat.
Rencana
memukul rata alokasi dana Rp1 triliun per partai bertentangan dengan
prinsip ketidakadilan sesuai dengan perolehan suara. Selain itu, hal ini
dapat menjadikan partai politik malas bekerja untuk rakyat, karena
setiap tahun sudah pasti mendapat alokasi anggaran dari APBN. Hal ini
juga akan memicu lahirnya partai baru yang lebih pragmatis hanya sebagai
penadah bantuan keuangan parpol dari APBN.
3. Oligarki Parpol di Indonesia saat ini masih kuat, tanpa demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas tidak akan terbangun.
Bagi FITRA, situasi ini bukannya meminimalisis korupsi, anggaran
selangit senilai Rp.1 triliun tidak akan efektif sebagai cara
meminimalisir korupsi. Potensi ini sangat kuat karena, mekanisme kerja,
pencatatan keuangan dan mekanisme audit secara internal pun tidak
dimiliki oleh partai. Dikhawatirkan justru, jatah dari APBN ini akan
menjadi bancakan elit Parpol.
4. Jatah untuk Parpol tak sesuai dengan pendekatan anggaran berbasis kinerja.
Kinerja Parpol masih buruk. Sejak tahun 2003 Indonesia memiliki UU No
17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang telah mengubah paradigma
penganggaran dari sistem tradisional yang berorientasi pada input atau
anggaran menjadi anggaran berbasis kinerja.
Anggaran berbasis kinerja yang dimandatkan dalam UU ini adalah anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
Dengan kinerja Parpol saat ini yang selalu berkonflik dan
mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri. Jelas tidak layak
mendapatkan jatah yang sangat tinggi.
5. Jatah Rp1 triliun dari APBN per partai justru akan menjadi bentuk korupsi baru.
Dengan
kondisi Parpol yang belum mempunyai perangkat transparansi dan
akuntabilitas, ditambah dengan perilaku politisinya yang masih koruptif
dan pengelolaan partai yang masih oligarkis justru akan menjadikan
bantuan keuangan sebagai sarana korupsi baru.
6. Wacana ini sangat menyakitkan rakyat ditengah krisis pangan dan tingginya harga beras.
Sebagai
contoh, jika 10 partai yang ada masing-masing mendapatkan Rp.1 triliun,
maka akan ada alokasi Rp.10 triliun per tahun. Padahal dalam APBN 2015
dalam Kementrian Pertanian saja, alokasi untuk cadangan beras pemerintah
hanya Rp1,5 triliun.
Cadangan Stabilisasi pangan hanya Rp2
triliun, dan cadangan stabilitas pangan Rp. 0. Hal ini menandakan
pemerintah lebih berpihak pada elit dibandingkan dengan berpihak pada
rakyatnya.
7. Terkait proses audit oleh BPK,
dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan dimana beberapa anggota BPK
berlatarbelakang partai politik.
Situsi ini tentu saja akan sangat mengkhawatirkan dalam level
akuntabilitas. Dana yang begitu besar tentunya akan sulit diaudit
apalagi jika auditornya ternyata berlatarbelakang sebagai partai
politik. Jadi, pertanggungjawaban bisa saja tidak berjalan secara
terbuka namun justru cenderung transaksional.
8. Wacana ini akan memancing daerah melakukan hal yang
sama, menaikkan anggaran bantuan sehingga semakin memiskinkan keuangan
daerah.
Tentu, wacana DPP akan mendapatkan dana Rp1
triliun ini akan diikuti oleh partai di daerah dengan menaikkan angka
bantuan keuangan untuk partai. Sehingga dari hal ini kita dapat
merasakan bahwa wacana ini sangat meresahkan.
9.
Lemahnya penegakkan hukum terutama KPK yang dikriminalisasi berakibat
pada potensi korupsi yang terjadi akan semakin tinggi karena hilangnya
efek jera.
Saat ini, perilaku politisi yang tersangkut korupsi semakin menggila
dengan melakukan proses praperadilan terhadap kasusnya. Jika terjadi
korupsi dalam dana bantuan keuangan Parpol maka kemungkinan akan terjadi
serangan balik oleh partai politik kepada penegak hukum. Serangan balik
ini karena untuk mempertahankan citra partai politik sekalipun uang
rakyat telah dikorupsi.
Berkaca dari sembilan alasan di atas maka
FITRA menuntut Menteri Dalam Negeri untuk menarik wacana ini dan
mengurungkan niatan memberi jatah Parpol dari APBN yang merupakan
keringat rakyat.
"Jika tidak, hal ini akan sangat meresahkan di tengah harga bahan
pokok yang tinggi dan harga beras yang tidak terjangkau oleh rakyat,"
ujar Koordinator Advokasi dan Investigasi Seknas FITRA, Apung Widadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar