M Iqbal - detikNews
Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
melontarkan wacana soal pendanaan bagi partai politik mencapai Rp 1
triliun, untuk mencegah praktik korupsi. Subsidi dari negara bagi parpol
sebetulnya sudah berlangsung, namun tidak mencapai angka seperti yang
diwacanakan Tjahjo.
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2011, pasal 34
mengatur keuangan parpol bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang
sah menurut hukum dan bantuan keuangan dari APBN dan APBD. Nah,
sumbangan dari negara ini hanya diberikan kepada parpol yang mendapat
kursi di legislatif dengan angka yang proporsional sesuai perolehan
kursi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem) Titi Anggraeni, menilai sepakat dengan subsidi negara yang
lebih besar untuk partai politik dibandingkan yang saat ini berlaku
yaitu Rp 108 per suara sah. Tapi perlu diatur lebih jelas bahkan perlu
Undang-undang baru yang mengatur itu.
"Partai selalu
mempersoalkan keterbatasan pendanaan dan kemudian dalam beberapa kasus
menjadikan anggaran negara baik APBN/APBD sebagai bancakan untuk
pembiayaan parpol. Mereka lalu mencari sumber-sumber ilegal untuk
pembiayaan parpol. Parahnya lagi parpol bahkan dikuasai elit-elit
pemilik modal yang menggunakan uang sebagai alat kekuasaan," papar Titi
Anggraini kepada detikcom, Senin (9/3/2015).
Titi memaparkan,
tujuan bantuan keuangan partai politik adalah menjaga kemandirian partai
politik. Sebab, jika kebutuhan dana partai politik lebih banyak
dipenuhi para penyumbang, maka partai politik cenderung memperhatikan
kepentingan penyumbang daripada kepentingan anggota atau rakyat dalam
mengambil keputusan atau kebijakan.
"Apabila hal itu terjadi,
maka posisi dan fungsi partai politik sebagai wahana memerjuangkan
kepentingan anggota atau rakyat, menjadi tidak nyata. Di sinilah nilai
strategis bantuan keuangan partai politik dari negara," ujar pengamat
Pemilu itu.
"Apakah itu berarti bantuan kuangan partai politik
harus dinaikkan? Jawabnya jelas ya. Namun, sampai berapa besar
kenaikannya dan bagaimana menentukan besaran bantuan keuangan parpol
menjadi masalah penting yang memerlukan jawaban seksama," imbuhnya.
Sebab, hal itu tidak hanya terkait dengan masalah ketersediaan dana
APBN, kesiapan partai politik dalam mengelola dana bantuan, dan
kesungguhan pengurus partai politik dalam mempraktekkan prinsip
transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga menyangkut persepsi
masyarakat atas kinerja partai politik.
Namun Titi menegaskan,
penguatan atau penambahan jumlah subsidi negara untuk parpol harus
disertai prasyarat wajib transparansi, keterbukaan, akuntabilitas, dan
pengawasan yang ketat dalam pengelolaannya. Bukan cek kosong saja.
"Selain
itu harus ada proposal resmi yang harus diajukan parpol untuk
mendapatkan dana ini. Dana ini juga penggunaannya harus dibatasi hanya
untuk rekrutmen dan kaderisasi parpol," ujar pengamat pemilu itu.
Karena
kalau tak ada peraturan dan mekanisme yang bisa menjamin untuk
akuntabilitas, pengawasan dan transparansi keuangan partai politik, maka
gagasan penambahan subsidi ini kata Titi sebaiknya ditinjau ulang.
"Menurut
kami harus didorong dibuatnya satu UU khusus yang mengatur tentang
keuangan partai politik yang mengatur keseluruhan keuangan parpol dari
hulu ke hilir," ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar