Sandiaga S Uno - detikNews
Jakarta - Tahun 2015 ini, kesempatan kami untuk bersafari Ramadan
ada di Yogyakarta dan Solo. Safari Ramadan menjadi kegiatan rutin yang
saya dan kawan-kawan lakukan untuk melihat langsung perkembangan usaha
mikro, kecil dan menengah yang ada di akar rumput ataupun mempelajari
langkah-langkah proaktif yang digagas secara mandiri oleh masyarakat.
Ada
beberapa realita yang saya temui ketika berdialog dengan para pelaku
UKM yang ada di Yogya. Kondisi ekonomi makro saat ini yang penuh
tantangan (kurs dollar yang relatif tinggi, eksport yang melemah, trend
harga komoditas yang menurun, harga BBM yang relatif fluktuatif, dan
lain sebagainya), sudah mulai memberi dampak negatif kepada pelaku UKM
tersebut. Harga bahan baku semakin mahal, yang membuat biaya produksi
menjadi tinggi. Sementara di lain sisi, daya beli masyarakat saat ini
cenderung menurun.
Kompleksitas ini dirasakan oleh puluhan
pengrajin batik yang ada di Desa Pelem Sewu, Bantul – Yogyakarta. Para
pengrajin tersebut saat ini sangat sulit belanja bahan baku, sehingga
produksi mereka sangat terbatas. BMT (Baitul Mal wat Tamwil) Insan Sadar
Usaha yang menjadi mitra MRUF (Mien R Uno Foundation) di Desa Pelem
Sewu mengambil inisiatif memberikan kerjasama simpan pinjam guna
pembelian bahan baku.
Kondisi perlambatan ekonomi ini juga saya
dapatkan saat berdiskusi dengan komunitas wirausaha yang ada di Yogya,
seperti komunitas Tangan Di Atas, Himpunan Pengusaha Santri, maupun JCI
(Junior Chamber Int’l) grup Yogya.
Terus terang ini adalah hal
yang sangat memprihatinkan. Saya kembali teringat ketika Indonesia
menghadapi krisis pada 1997, 2008, 2010. Saat itu meskipun kondisi makro
ekonomi Indonesia tidak begitu baik, namun geliat ekonomi di akar
rumput masih bergerak. Hal ini bisa kita refleksikan dari tingginya
angka penjualan otomotif dan sektor properti.
Saya masih ingat
dengan jelas, karena saat itu banyak teman-teman eksportir furniture
yang tiba-tiba kebanjiran order dari Eropa dan Amerika untuk ekspor.
Atau para petani kakao, kopi yang juga mengekspor komoditasnya ke luar
negeri. Begitu pula dengan pengusaha batubara maupun barang tambang yang
harganya masih cukup baik di pasar internasional. Mereka tiba-tiba
mampu membeli kendaraan baru (bahkan mobil mewah) atau rumah baru.
Namun
kondisi ekonomi saat ini saya melihat anomali yang luar biasa. Karena
hampir semua sektor, mulai dari industri besar hingga UKM, sudah
merasakan imbas makro ekonomi yang mengarah pada perlambatan ekonomi.
Situasi
ini harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Pemerintah
harus ambil langkah cepat agar ekonomi diakar rumput harus terus
bergerak dengan maksimal. Ingat, tulang punggung perekonomian kita ada
pada ekonomi mikro, kecil, dan menengah.
Tahun 1997, 2008, 2010,
perekonomian Indonesia masih dapat terselamatkan karena UKM yang masih
terus bergerak. Karena memang UKMlah yang member sumbangsih paling besar
di sektor riil perekonomian negeri ini. Jumlah mereka lebih dari 95%
jika dibanding pelaku industri besar.
Pemerintah harus mengubah
mindset dari ‘superman’ menjadi ‘gotong-royong/paguyuban’. Pemerintah
harus melibatkan semua pemangku kepentingan untuk mengatasi perlambatan
ekonomi ini. Pemerintah harus mengajak bicara para pelaku usaha, untuk
mendapatkan input yang sama-sama saling menguntungkan untuk menggerakkan
sektor riil. Program KUR yang disebar untuk masyarakat di pedesaan,
ataupun kebijakan insentif lainnya.
Dapat dibayangkan, apa
jadinya jika UKM yang selama ini digadang-gadang sebagai tulang punggung
perekonomian Indonesia, ternyata juga harus ‘bertekuk lutut’ dan pada
akhirnya ‘menyerah’ oleh krisis. Mau jadi apa ekonomi negeri ini?
*) Sandiaga S Uno adalah pengusaha dan pendiri Pendiri Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar