PATUT
diacungi jempol kreatifitas warga Kelurahan Heledulaa Utara (Helut),
Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo. Di kelurahan tersebut, sampah
menjadi salah satu barang primadona masyarakat. Bahkan dengan sampah,
masyarakat di Helut bisa membayar tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
rekening PDAM dan listrik.
Rudini, Heledulaa Utara
Rumah
berdinding anyaman bambu (pitate) itu tak pernah sepi dari kunjungan
warga. Setiap pagi, siang maupun sore para warga silih berganti datang.
Menariknya, kedatangan warga di rumah yang beralaskan lantai semen itu
bukan untuk bertamu. Melainkan membawa sampah.
Ya,
begitulah aktivitas keseharian di Bank Sampah Mutiara Posko Heledulaa
Utara. Setiap hari, ada saja warga yang datang untuk menyetorkan sampah
dari rumah. Ada yang datang membawa setumpuk kertas, botol bekas air
mineral hingga berbagai benda yang terbuat dari plastik.
Beragam
sampah yang awalnya hanya terbuang itu dihargai bervariasi. Untuk sampah
kertas HVS dihargai Rp 750 per kilogram. Sampah kardus Rp 1.500 per
kilogram, plastik campuran Rp 2.500 per kilogram serta sampah botol
bekas air mineral Rp 3.500 per kilogram.
Sebelumnya,
banyak warga di Kelurahan Heledulaa Utara yang membuang sampah begitu
saja. Padahal sampah-sampah yang didominasi sampah rumah tangga itu
masih bernilai dan memberikan manfaat.
Pada 26
Desember 2015 lalu, Pemerintah Kelurahan Heledulaa menggulirkan program
Bank Sampah. Awalnya masyarakat belum menaruh perhatian. Bahkan banyak
warga yang belum tahu apa itu program bank sampah. Praktis hal itu
membuat Lurah Heledulaa Utara Arifin Gawa,SE bersama Ketua Posdaya
Mandiri Sejahtera Heledulaa Utara Salim Aguli bekerja ekstra untuk
memberikan penjelasan dan pemahaman kepada masyarakat.
“Pada
awalnya hanya pemerintah kelurahan yang menjual sampah ke Bank Sampah.
Dari masyarakat belum banyak yang tertarik untuk menjual sampah,” ungkap
Salim Aguli kepada Gorontalo Post (Jawa Pos Group).
Minimnya
ketertarikan masyarakat untuk menjual sampah membuat pihak Pemerintah
Kelurahan dan Posdaya Mandiri Sejahtera Heledulaa Utara memutar otak.
Hingga akhirnya ditemukan strategi cukup jitu. Yakni membayar tagihan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), rekening listrik dan air PDAM dengan
sampah.
“Kami
sengaja menerapkan strategi untuk membayar PBB dengan sampah, karena
tingkat kontribusi masyarakat untuk membayar PBB hanya berkisar 70
persen,” ungkap Lurah Heledulaa Utara Arifin Gawa.
Strategi
membayar tagihan PBB, listrik dan air dengan sampah ternyata cukup
efektif. Pertengahan Januari 2016, aktivitas bank sampah yang sebelumnya
sepi mendadak ramai. Banyak warga yang datang untuk menjual sampah
untuk menutupi tagihan PBB. Terutama warga yang termasuk dalam kategori
rumah tangga miskin.
“Jumlah
penduduk Kelurahan Heledulaa Utara sebanyak 4.340 jiwa. Dari jumlah
tersebut sebanyak 269 Kepala Keluarga (KK) masuk dalam kategori miskin.
Alhamdulillah dengan program bayar pajak, listrik dan PDAM dengan
sampah, para KK miskin itu mengikuti program tersebut. Bahkan ada KK
yang mampu juga mengikuti program tersebut,” tutur Arifin Gawa.
Saat ini
jumlah peserta bank sampah di Kelurahan Heledulaa Utara sebanyak 349
KK. Dengan jumlah peserta tersebut, dalam seminggu sampah yang
tertampung di bank sampah mencapai 900 kilogram. Sampah-sampah itu
selanjutnya dikirim ke Surabaya.
“Dulu
masyarakat bingung bagaimana bisa membayar pajak namun sekarang
masyarakat bisa membayar pajak melalui penjualanya sampahnya setiap
harinya,” ungkap Arifin Gawa dengan senyum lebar.
Sementara
itu menurut Salim Aguli, program bank sampah ini bukan berarti mengubah
masyarakat menjadi pemulung. Melainkan bagaimana menggerakkan
masyarakat untuk mengelola sampah di tingkat rumah tangga.
Dalam
artian, di tingkat rumah tangga masyarakat sudah melakukan pemilihan dan
pemilahan sampah-sampah mana yang bisa digunakan kembali atau masih
memiliki nilai. “Sehingga sampah yang ada tidak lantas dibuang ke tong
sampah,” ucap Salim Aguli.
Terpisah
salah seorang warga Lisa Suripati mengaku sangat senang dengan adanya
program bank sampah. Lisa pun tak malu-malu mengumpulkan sampah di
lingkungannya untuk kemudian dijual ke bank sampah.
“Dengan
adanya bank sampah ini saya tak lagi pusing untuk membayar PBB, karena
sudah ditutupi dengan tabungan saya di bank sampah,” tandas Lisa.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar