Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Penangkapan pejabat Mahkamah Agung (MA) Andri
Tristianto Sutrisna (ATS) oleh KPK membuka lubang judicial corruption di
bidang administrasi pengadilan. Andri diduga menunda pengiriman berkas
perkara dengan imbalan segepok uang dari si terpidana korupsi Ichsan
Suaidi.
Selain terseret kasus korupsi, aparat yang menunda
pengiriman putusan juga melanggar UU Mahkamah Agung dan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA).
"Peristiwa belum disampaikannya segera
salinan putusan juga bentuk pengingkaran Pasal 52 UU 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan pengadilan wajib menyampaikan
salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu yang ditentukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan," kata ahli hukum tata negara
Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Jumat (19/2/2016).
Aturan
itu lebih tegas diatur dalam SEMA Nomor 01 Tahun 2011 tentang Perubahan
Surat Edaran Nomor 02 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan
Putusan yang menyebutkan pengadilan yang memeriksa dan mengadili
perkara perdata sudah harus menyediakan salinan putusan untuk para pihak
dalam waktu 14 hari kerja sejak putusan diucapkan. Sementara untuk
perkara pidana, pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam
jangka waktu paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diucapkan kepada
terdakwa atau penasihat hukumnya, penyidik dan penuntut umum.
"Oleh
karena itu disayangkan jika lembaga sekelas MA melanggar aturan dalam
hal ini SEMA yang dibuatnya sendiri mengingat MA adalah puncak lembaga
pengadilan yang harusnya memberikan contoh baik bagi tingkatan
pengadilan di bawahnya yaitu contoh ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan saat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya," papar
Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Salah satu putusan
yang hingga kini masih menjadi misterius adalah vonis perdata terhadap
perusahaan sebesar Rp 368 miliar karena membakar hutan di Aceh. MA
berdalih salinan putusan itu belum selesai diketik padahal telah diputus
pada Agustus 2015 lalu.
"Ini merupakan kejadian yang semakin
menurunkan wibawa MA sebagai pengadilan negara tertinggi dari badan
peradilan di Indonesia di mata publik. Peristiwa ini selain bertentangan
dengan asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan, juga bertentangan dengan prinsip pengadilan membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan,"
papar Bayu.
Pelanggaran terhadap jangka waktu penyampaian
salinan putusan ini juga tidak bisa hanya dilihat sebagai kesalahan
administratif semata, melainkan harus dilakukan pemeriksaan oleh
internal MA untuk mengetahui apakah terdapat unsur penyalahgunaan
wewenang oleh oknum pejabat di MA.
"Terhadap peristiwa ini Komisi
Yudisial juga sudah bisa mulai bergerak untuk melakukan pemeriksaan
apakah terdapat keterlibatan oknum hakim agung dalam peristiwa ini
ataukah hanya di level kesekjenan dan panitera, mengingat sesuai Pasal
53 UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang
dibuatnya. Tanggung jawab atas putusan ini dalam kode etik dan pedoman
perilaku hakim dijabarkan yaitu hakim dilarang memperlambat atau menunda
eksekusi," pungkas Bayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar