Jpnn
JAKARTA – Turunnya harga
minyak dunia membuat pemerintah mengalkulasi kembali besaran harga BBM
subsidi. Terbuka kemungkinan harga premium dan solar diturunkan.
Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan
Djalil mengatakan, saat ini pemerintah mengkaji beberapa opsi untuk
menyikapi turunnya harga minyak. Salah satunya adalah revisi harga BBM
subsidi.
”Mudah-mudahan sebelum akhir tahun
diumumkan,” ujarnya setelah menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo
dari Korea Selatan di Bandara Halim Perdanakusuma Jumat malam (12/12).
Menurut Sofyan, pemerintah memiliki tiga
opsi yang bisa diambil. Sayang, dia belum bersedia memerinci opsi apa
saja yang tengah dimatangkan. ”Yang jelas, (kebijakan) nanti bisa
dirasakan rakyat,” katanya.
Sofyan mengatakan, pemerintah menginginkan
kebijakan yang sifatnya permanen. Sebagaimana diketahui, selama ini
pemerintah selalu dipusingkan dengan membengkaknya beban subsidi karena
naiknya konsumsi atau lonjakan harga minyak dunia. ”Kita ingin masalah
itu tidak terulang-ulang,” ucapnya.
Salah satu opsi yang dinilai bisa menjadi
solusi permanen atas permasalahan subsidi BBM adalah skema subsidi yang
dipatok di angka tetap atau fixed subsidy. Dengan skema tersebut, harga
BBM subsidi akan naik turun mengikuti harga keekonomian BBM.
Misalnya, jika pemerintah mematok subsidi
Rp 1.000 per liter dan harga keekonomian premium Rp 10.000 per liter,
harga jual premium subsidi menjadi Rp 9.000 per liter. Namun, bila harga
keekonomian turun menjadi Rp 9.000 per liter, harga premium turun
menjadi Rp 8.000 per liter.
Lantas, berapa harga keekonomian premium?
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Sumber Daya Mineral
(ESDM) Teguh Pamudji, harga keekonomian premium saat harga minyak dunia
turun mendekati level USD 60 per barel dan nilai tukar rupiah di kisaran
12.300 per USD adalah Rp 8.665 per liter. ”Jadi, harga premium saat ini
(yang Rp 8.500) disubsidi Rp 165 per liter,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, harga keekonomian
BBM ditentukan oleh harga minyak dunia. Namun, karena separo lebih BBM
subsidi Indonesia berasal dari impor, variabel nilai tukar juga
berpengaruh. Semakin lemah rupiah, harga keekonomian akan makin mahal.
Jumat lalu (12/12) nilai tukar rupiah
sudah menembus Rp 12.432 per USD. Itu merupakan level terendah sejak
November 2008. Nilai tukar tersebut jauh lebih lemah bila dibandingkan
dengan asumsi makro dalam APBN Perubahan 2014 yang dipatok Rp 11.600 per
USD maupun asumsi APBN 2015 yang sebesar Rp 11.900 per USD.
Kalkulasinya, jika dalam beberapa waktu ke
depan rupiah bisa kembali menguat, lalu harga minyak dunia melanjutkan
tren penurunan, harga keekonomian premium bisa jadi akan lebih rendah
dari Rp 8.500 per liter. Artinya, pemerintah tidak perlu mengeluarkan
subsidi, namun justru bisa meraih untung.
Itulah yang tidak diinginkan pemerintah.
Sofyan Djalil memastikan, pemerintah tidak akan mengambil untung dari
penjualan BBM bersubsidi.
Karena itu, jika memang harga keekonomian
premium sudah berada di bawah Rp 8.500 per liter, pemerintah membuka
opsi untuk mengevaluasi harga premium bersubsidi. ”Sebab, minyak ini
menyangkut hajat hidup orang banyak,” ucapnya. (owi/c10/sof)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar