BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 08 Mei 2015

Karena Gempa, Keinginan Buniyati Kembali ke Indonesia Kini Terwujud

Yudhistira Amran Saleh - detikNews
Banda Aceh - Keriput di wajahnya menandakan umur yang tak muda lagi. Tapi usianya yang sudah menginjak 48 tahun, tak membuat semangat Buniyati yang tinggal di Nepal kendur untuk dapat kembali ke Tanah Air.

Buniyati berasal dari Kota Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur. Ia tak pernah menyangka akan tinggal di Nepal untuk waktu yang terbilang cukup lama.

Berawal dari keinginannya untuk bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), ia memutuskan ikut mendaftar di salah satu agen di Surabaya. Itu terjadi pada akhir 2008. Selang setahun kemudian ia diberangkatkan sebagai TKI di Malaysia.

"Ya untuk mencukupi kebutuhan saya. Di sini saya kurang (uang) terus. Suami hanya buruh biasa dan anak saya 1 musti dicukupi kebutuhannya. Maka saya memutuskan untuk menjadi TKI," ujar Buniyati saat berbincang santai dengan detikcom di Lanud Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, Rabu (6/5/2015).

Sambil menyuapi kedua anaknya yang masih kecil bernama Pande (7) dan Rajit (5), Buniyati mengatakan selama setahun bekerja di Malaysia, ia tak pernah mendapat gaji dari majikannya. Pihak agen pun tak bisa dihubungi untuk dimintai bantuan.

Sampai suatu ketika di awal tahun 2010, ia memberanikan diri untuk lari dari rumah majikannya yang letaknya di Kota Subang Jaya menuju bandara Kuala Lumpur Internasional Airport (KLIA). Dengan bermodal uang RM (Ringgit Malaysia) seadanya, ia mencoba peruntungan mencari tiket murah ke Jakarta.

"Saya lupa berapa. Tapi ternyata setelah nunggu 3 jam lebih, nggak ada tiket murah ke Jakarta. Akhirnya saya putusin buat bermalam di bandara," lanjutnya.

Saat menunggu itulah ia didekati seorang pria yang menawarinya pekerjaan di Nepal. Biaya perjalanan Buniyati serta visa dibiayai oleh pria yang menghampirinya di KLIA.

Bunyati pun menikah dengan pria tersebut pada bulan Maret. Akan tetapi, setelah sebulan berada di Nepal, Buniyati tak kunjung mendapat pekerjaan seperti yang dijanjikan suaminya itu.

Lalu ia berusaha sendiri mencari pekerjaan di Nepal. Malang bagi Buniyati, baru setahun menikah, sang suami menceraikannya, dan pekerjaan pun tak kunjung ia dapatkan.

"Pas saya lagi cari-cari kerjaan, suami saya yang Nepal menceraikan saya. Ia janjikan saya dapat pekerjaan, namun ternyata dia menceraikan saya. Dan saya harus membiayai kedua anak saya yang masih kecil," ungkapnya sambil terisak.

Buniyati lantas mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Karena keterbatasan biaya, Buniyati tak bisa memperpanjang visa, yang artinya membuat dia bekerja di Nepal secara ilegal.

Merasa tak punya siapa-siapa lagi di Nepal, Buniyati memutus kembali ke Tanah Air. Namun malang bagi Buniyati, ia tidak diizinkan meninggalkan Nepal dan harus membayar visa ditambah dendanya sebesar $700.

Buniyati kemudian berusaha mencari uang pinjaman ke sana dan kemari hingga akhirnya ia dapat membayar visa beserta dendanya tersebut. Meski demikian, Buniyati tetap tidak bisa kembali ke Tanah Air karena kasus ilegal dalam bekerja.

Hingga 5 tahun berselang, gempa mengguncang Nepal dengan kekuatan 7,9 Skala Richter (SR). Ia merasakan goncangan yang hebat ketika sedang menyapu halaman rumahnya.

"Saya kira tadinya saya pusing. Kebetulan saya ada migran juga. Tapi kok lama kelamaan makin kencang goyangannya dan anginnya nakutin. Cuaca jadi gelap dan orang-orang pada berlarian," tuturnya.

Ia langsung masuk ke dalam rumah dan berlindung di bawah meja bersama kedua anaknya. Gempa berlangsung selama 2 menit itu membuat Buniyati gemetar seakan kiamat telah tiba.

Usai gempa berakhir, ia langsung membawa kedua anaknya keluar dari rumah dan bergegas menuju ke lapangan sekitar yang tak ada pohon atau bangunan tinggi. Buniyati tinggal di Kota Baglung, sebelah barat Kota Kathmandu.

Berselang 2 menit, gempa kembali terjadi dan goncangannya semakin besar hingga rumah-rumah di sekitar lapangan runtuh. Gempa susulan tersebut berlangsung dalam waktu 1 menit.

"Selesai gempa itu udah sore. Sinyal nggak ada, anak saya udah nangis. Pokoknya keadaan saat itu mencekam sekali," kisahnya.

Buniyati beserta kedua anaknya dan warga lainnya kemudian menginap di lapangan dengan tidur beralaskan kain seadanya selama 6 hari. Awal Mei, sinyal komunikasi mulai pulih, puluhan SMS dan missed call ia terima

Salah satu SMS tersebut berisi ajakkan untuk mengungsi ke posko evakuasi dan penyelamatan WNI yang terdapat di Kota Kathmandu, Nepal. Akhirnya, Buniyati dan kedua anaknya berangkat menuju Kathmandu dengan menggunakan bus pada hari Jumat (1/5/2015).

Ia dan anaknya tiba di Kathmandu pada pukul 16.00 WIB. Kedatangannya langsung disambut oleh perwakilan Kementerian Luar Negeri. Lalu ia dan kedua anaknya mendaftarkan diri sebagai WNI yang ingin kembali ke Tanah Air. Setelah usaha sekian lama dari 2010, akhirnya Rabu (6/5), Bunyati dan kedua anaknya dapat kembali ke Tanah Air.

Ia mengungkapkan rasa bangga terhadap Pemerintah Indonesia yang dengan gigih mencari, membantu serta menolong WNI yang terdampak gempa Nepal. Menurutnya, meski musibah gempa ini telah meluluh lantakkan Nepal, dan membuat semua masyarakatnya berduka, namun ia sangat senang karena akhirnya ia dapat kembali ke Tanah Air.

"Setelah menunggu sekian tahun, akhirnya saya dapat menginjakkan kaki di Jakarta, Indonesia. Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih yang mendalam, ucapnya.

Pesawat TNI AU Boeing 737-400 A7305 lepas landas dari Bandara Internasional Tribhuvan, Nepal membawa Bunyati dan kedua anaknya beserta ke 26 WNI lainnya menuju Tanah Air. Sesampainya di Lanud Halim Perdanakusuma setelah transit 2 kali di Dhaka, Bangladesh dan Banda Aceh, Aceh, 26 WNI tersebut disambut oleh Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir.

Tidak ada komentar: