BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 16 Oktober 2015

Buruh Tak Setuju Formula Upah Jokowi: Kenaikannya Kecil

Lani Pujiastuti - detikfinance
Jakarta -Paket kebijakan ekonomi jilid IV baru saja diumumkan. Pemerintah pimpinan Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan formula baru perhitungan kenaikan upah minimum tiap tahun. Sayangnya, buruh menyatakan tidak puas dengan dikeluarkannya kebijakan ini. Rumusan tersebut dinilai belum mengakomodir rumusan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi acuan upah minimum.

"Pertama yang harus dibenahi bukan kenaikan tiap tahun. Lebih dulu harus merevisi komponen KHL (Kebutuhan Hidup Layak). UMP (Upah Minium Provinsi) kita jelas-jelas tertinggal dari negara tetangga. Tiga poin utama KHL belum memenuhi standar yaitu tempat tinggal, transportasi, dan makan," ungkap Muhamad Rusdi, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ketika dihubungi detikFinance, Kamis (15/10/2015).

Buruh, kata Rusdi, akan menolak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) terkait pengupahan kalau hanya menentukan formula kenaikan upah setiap tahun. "Kalau hanya menentukan kenaikan tiap tahun yaitu UMP ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kita menolak," tegasnya.

PP tersebut menurutnya membatasi upah buruh yang memang sudah jauh tertinggal dari negara lain. "Di negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand saja sudah Rp 4 juta. Kita harus kejar ketertinggalan itu dulu," tambahnya.

Formula kenaikan upah, kata Rusdi, kalau dihitung dari inflasi 5% ditambah pertumbuhan ekonomi 4,7% itu artinya setiap tahun naik tidak sampai 10%.

"Naik nggak sampai 10%. Paling tinggi Rp 200-300 ribu naiknya kalau UMP Rp 2-3 juta. Apalagi Jawa Tengah, UMP hanya Rp 1,2 juta, berarti kenaikan upah tiap tahun hanya Rp 100 ribu. Itu kecil sekali. Nggak akan ngejar," katanya.

PP pengupahan menurutnya hanya mengakomodir kepentingan pengusaha. "Buruh kerja tapi penghasilannya sangat terbatas. PP Pengupahan hanya memenuhi kepentingan pengusaha yang ingin mendapat upah murah," jelasnya.

Rusdi menjelaskan, pemerintah mestinya fokus pada revisi KHL terlebih dahulu. "Komponen KHL yang harus direvisi contohnya pertama komponen biaya rumah. Di beberapa daerah besarannya hanya Rp 300-400 ribu. Padahal kenyataannya cicilan rumah nggak ada yang segitu. Riilnya Rp 700.000 sampai Rp 1 juta per bulan," terangnya.

Kedua, kata Rusdi, yaitu biaya transportasi. Selama ini biaya transportasi hanya dihitung satu kali jalan. "Padahal pulang pergi bisa 2 kali ganti kendaraan. Misal dari bis ke angkot atau ojek. Itu besarannya hanya Rp 200-300 ribu. Mestinya dua kali kipat karena biaya pulang belum dihitung. Jadinya Rp 500-600 ribu," tuturnya.

Ketiga, lanjutnya, yaitu uang makan. "Kebutuhan hidup layak kalau di Jabodetabek itu kan pagi buruh makan nasi uduk atau bubur Rp 15.000. Lalu siang makan gado—gado, warteg atau nasi padang Rp 15.000. Kemudian malam nasi goreng Rp 15.000. Itu sehsri Rp 45.000 dikalikan 30 hari sudah Rp 1,35 juta," paparnya.

Biaya tempat tinggal, makan dan transportasi dijumlahkan minimal Rp 2,9 juta. Itu pun belum termasuk kesehatan, pendidikan, sandang dan lainnya. "Lalu apakah terpikir bagaimana menaikkan UMP Jateng yang hanya Rp 1,2 juta?" imbuhnya.

Komponen yang belum masuk dalam KHL dan semestinya masuk, Rudi menjelaskan seperti kebutuhan sandang yaitu kaos, alas kaki, dan jaket, sampai minyak wangi.

Singkatnya, menurut Rusdi, jika ingin menyejahterakan buruh, KHL harus direvisi dan besaran kenaikan diubah. "Awalan kenaikan upah Jabodetabek, Karawang dan Purwakarta minimal naik 22% dan Jateng harus bersaing sampai minimal Rp 3 juta atau naik hampir 300%. Buruh ini urat nadi industri. Kami sudah bicara ke Menaker pun tidak direspon," pungkasnya.

Tidak ada komentar: