BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Rabu, 07 Oktober 2015

Salim Kancil, Buta Huruf Tapi Melek Hati

Bahtiar Rifai - detikNews
Jakarta - Salim alias Kancil dan istrinya Tijah buta huruf. Tapi mereka tidak buta hati. Salim terus berjuang mempertahankan tanahnya dari kesewenang-wenangan Kades Selok Awar-awar Hariyono, sampai mati.

Saat diwawancarai majalah detik, Tijah, istri Salim bercerita soal momen pilu saat Salim dianiaya sampai tewas oleh Tim 12, preman bentukan Hariyono. Dia juga menceritakan awal mula perjuangan Salim saat tanah garapannya gagal panen karena dijadikan area parkir alat berat tambang pasir ilegal.

Salim memprotes penambangan pasir karena menjadi korban. Ia tidak bisa lagi bekerja di sawah karena lahannya itu dijadikan tempat parkir penambangan. Ia dijanjikan akan mendapat bagi hasil dari lahan parkir itu. Tapi janji itu tidak ditepati. Salim hanya dipingpong saat minta uang bagi hasil parkir.

"Saya malu, Tik (Tijah), minta-minta begitu. Saya mau berjuang seperti Pak Karno saja," kata Tijah menirukan ucapan Salim saat diwawancarai majalah detik.

Salim bertekad berjuang untuk tanah dan penghasilannya. Bahkan dia teringat perjuangan Bung Karno. Namun dia malah mendapat ancaman, teror, sampai penganiayaan hingga tewas.

"Wis (sudahlah) akhirnya tidak pernah minta lagi sampai sekarang. Terus ada musyawarah. Pak Salim bilang, "Harta enggak masalah diambil, tapi hati ini sakit. Saya mau berjuang kayak Bung Karno. (Tapi kemudian bilang) Wong nulis saja enggak bisa, kok mau kayak Bung Karno." Sama saya guyon seperti itu," demikian cerita Tijah lagi.

Setelah sawah rusak, Salim hanya bisa bekerja mencari ikan dan serabutan. Kadang-kadang mencari rumput untuk makan ternak sapi. Dari hasil kerja itu, Salim mendapat uang Rp 10.000 per hari. "Wis pokoke bisa makan," imbuh Tijah.

Saat kejadian pembunuhan Salim, Tijah tak tahu. Yang tahu pertama kali malah cucunda Salim. Begini cerita lengkapnya:

Waktu kejadian, saya enggak tahu. Kalau cucunya itu tahu. Saya waktu itu cari pakan kambing, rambanan (daun-daunan). Itu jauh dari rumah. Anak mantu saya bilang, "Ibu, pulang, Bapak dibawa ke balai desa." Saya enggak terkejut kalau (Bapak) dipanggil ke balai desa, itu memang sudah biasa. Saya kira tidak ada apa-apa.

Sudah sampai sini (rumah), adik ipar saya bilang, "Sudah, Yu, enggak usah dibawa makanan kambingnya, taruh di sini saja." Terus, "Sudah, Yu, enggak usah kasih makan kambing. Kakak sudah meninggal sudah dikeroyok orang. Ada di sana, di samping kuburan." Ya, saya terkejutlah. Saya diam. Terus ada saudara datang, (memberi nasihat), "Pak Salim begini, enggak usah panik, gelisah. Kalau (kamu) gelisah, anak siapa yang urus." Ya, sudah, saya berusaha tegar.

Sampai di sana (dekat kuburan) sudah ada banyak polisi di lokasi. Aku mau nyamperin enggak boleh sama orang-orang. Ya, saya nurut. Namanya istrinya, saya sudah stres. Ini gara-gara Kepala Desa.

Suami saya tidak sembarangan demo. Ini sudah lapor. Sudah lapor Jakarta, Surabaya, Malang juga sudah. Di rumah, ia dikit-dikit lapor. Bulan puasa juga sudah disamperin sama orang-orang itu. Itu Tim 12 (tim yang dibentuk Kepala Desa Selok Awar-Awar Hariyono).

Saya sih enggak tahu. Tapi suami cerita, "Tik, saya tadi mau dibunuh sama tim-tim itu." Lantas saya tanya, "Kamu salah apa memang?" Suami saya jawab, "Aku enggak salah. Wong aku ditantang main celurit sama Pak Desir. Pak Desir teriak, keluar, ambil celurit kamu." Pak Kancil menjawab, "Saya bukan orang gila. Saya dipegang sama pemerintah. Saya punya hukum. Kalau kamu enggak punya hukum, silakan bunuh saya.

Tidak ada komentar: