INILAH.COM. Jakarta - Penyelenggaraan Pilkada 2012 DKI
sebetulnya tidak hanya menghasilkan Jokowi Effect. Tetapi juga
menghasilkan Fauzi Bowo Factor. Apa itu?
Tidak lain tidak bukan sebuah sikap ksatria berupa faktor kesediaan Fauzi Bowo selaku incumbent menerima kekalahan dari pesaingnya yakni Joko Widodo (Jokowi). Sikap ini merupakan sebuah pembelajaran yang sangat baik dari segi demokrasi.
Sebab sekalipun penghitungan resmi belum lagi dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang berarti hasil hasil Pemilukada belum punya kepastian hukum, tetapi Fauzi Bowo menyadari kekalahannya tinggal soal waktu. Maka jauh lebih baik bila dia menerima kekalahan itu dan mengucapkan selamat kepada pesaingnya.
Kalau saja Fauzi Bowo tidak langsung menelpon Jokowi dengan mengucapkan selamat atas perolehan suara sementara melalui hasil quickcount, hasil Pemilukada DKI boleh jadi akan lain. Dan yang sangat menarik, Fauzi menelpon Jokowi pada hari pemilihan berlangsung sesaat setelah hasil perhitungan sementara beberapa lembaga survey menunjukkan kemenangan Jokowi.
Kalau tidak salah selama ini belum pernah penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, diwarnai oleh sikap sportif ala Fauzi Bowo. Sikap Fauzi Bowo yang sportif itu menjadi faktor yang menentukan untuk berbagai hal. Yang menikmati bukan hanya rakyat Jakarta tapi bangsa Indonesia.
Warga Jakarta bisa langsung melakukan kegiatan sehari-hari, tanpa terpenjara oleh demam Pemilukada. Dengan begitu hal tersebut mengakhiri ketidak pastian dan berbagai spekulasi. Sikap Fauzi Bowo yang sportif membuat penyelenggaraan Pemilukada DKI berakhir sesuai jadwal dan otomatis tidak terjadi pemborosan.
Sikap Fauzi Bowo berdampak pada sikap Tim Suksesnya. Tim membatalkan rencana mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Sikap ini sesuai dengan tuntutan agar setiap kadidat dalam Pemilukada memiliki mental siap menang dan siap kalah.
Kalau gugatan itu diajukan, gugatan itu bisa menjadi 'bola liar'. Gugatan itu bisa menjadi komoditi politik yang pada akhirnya hanya akan menaikkan suhu politik di Jakarta, kota metropolitan yang selalu menjadi ukuran bagi situasi nasional.
Dengan Pemilukada DKI tanpa gugatan, membuat pesta demokrasi di ibukota NKRI ini menjadi sangat berbeda dengan berbagai Pemilukada di daerah-daerah. Pasca- Pemilukada tidak terjadi permusuhan berkelanjutan.
Fauzi Bowo selama ini dikesankan oleh penentangnya sebagai seorang yang otoriter dan merasa benar sendiri. Sehingga berbagai spekulasi tentang langkah apa yang akan dia ambil bila mengalami kekalahan, mulai dikira-kira oleh para pemngamat.
Fauzi yang tadinya terkesan tak bakal menerima begitu saja kekalahannya, sebaliknya justru menjadi orang pertama yang memberikan ucapan selamat kepada lawannya pada saat hasil penghitungan suara masih pada tingkat Quick Count. Sehingga faktor Fauzi Bowo kali ini seperti membalikan keadaan. Menjadi sebuah anti-tesis dalam budaya penyelenggaraan Pemilukada.
Sikap Fauzi Bowo ini selain patut mendapat apresiasi, sekaligus mengingatkan Pilpres di Amerika Serikat pada 2000 yang mempertemukan Albert Gore (Partai Demokrat) dan George Bush Junior (Republik). Yaitu demokrasi diposisikan pada tempat yang paling tinggi.
Selisih suara yang menjadi krusial, ditentukan di salah satu TPS di Palm Beach, negara bagian Florida. Hasil penghitungan suara menetapkan George Bush menang di wilayah dimana saudara kembarnya Jeb Bush menduduki posisi sebagai Gubernur.
Banyak kalangan yang meragukan kemenangan itu. Sebab selisih suaranya tidak mencapai 100 (278 melawan 266). Tetapi pihak Albert Gore tidak lagi memperpanjang perselisihan itu, selisih suara yang tipis itu tidak menjadi masalah besar.
Padahal Gore memiliki sejumlah alasan untuk memperpanjang perselisihan itu. Saran dari sejumlah pendukungnya, Al Gore masih berpeluang untuk menang, ditepisnya dengan jiwa besar.
Belakangan masyarakat Amerika Serikat terutama para pendukungnya baru menyadari, bahwa bagi Al Gore yang sudah dua periode mendampingi Bill Clinton sebagai Wakil Presiden, jabatan bukanlah segala-galanya. Menjadi Orang Nomor Dua di Amerika Serikat selama dua periode berturut-turut, sudah merupakan sebuah pencapaian puncak karir.
Setelah kekalahannya itu, Gore banting stir ke dunia non politik. Ia menjadi advokat untuk masalah-masalah lingkungan. Pekerjaan yang dilakukan berupa kampanya face to face ke berbagai lembaga. Selama melakukan advokasi, tidak jarang Al Gore mendapatkan cibiran.
Pada 2007 Al Gore akhirnya meraih hadiah Nobel Perdamaian, sebuah penghargaan bergengsi yang diakui oleh komunitas internasional. Usaha kerasnya yang tidak mengenal lelah dalam menyakinkan masyarakat atas efek negatif dari pemanasan global, telah membangunkan kesadaran yang lebih luas di masyarakat tentang pentingnya manusia menjaga dan melestarikan lingkungan.
Karir Fauzi Bowo sendiri di DKI tergolong cukup lama. Mulai dari jabatan Kepala Dinas Pariwisata, Sekretaris Wilayah Daerah , Wakil Gubernur, dua periode dan Gubernur satu periode.
Faktor Fauzi Bowo dalam menyikapi hasil Pemilukada DKI, sesungguhnya bisa menjadi rujukan penting bagi bangsa Indonesia. Mengingat dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, pada Juli 2014 Indonesia akan menggelar Pemilihan Presiden.
Semestinya semua pihak yang bercita-cita menjadi Presiden pada 2014, sejak sekarang sudah harus betul-betul memiliki mental yang sama dengan Fauzi Bowo ataupun Al Gore. Siap untuk menang tetapi siap juga untuk kalah.
Masalahnya, kalau setiap kandidat tidak punya kesiapan mental seperti itu, setiap kandidat yang kalah akan meningggalkan dendam seperti api dalam sekam. Hasilnya sudah terlihat dalam Pilpres 2004 dan 2009.
Yang kalah, para pecundang tidak pernah merasa puas dengan hasil Pilpres. Seolah-olah kalau belum menang, belum berhasil, martabat sebagai pemimpin atau tokoh masyarakat maupun tokoh nasional, telah tercoreng. Padahal yang dikejar cuma soal jabatan dan status sosial. Dua hal yang pada akhirnya belum tentu memberikan apa yang sedang dicari.
Sehingga sudah kalah, sudah gagal dalam Pilpres 2004, masih mencoba lagi di 2009 bahkan bukan mustahil di 2014. Kepada Fauzi Bowo bukan hanya masyarakat Ibukota yang perlu berterima kasih atas sikap gentleman-nya. Tetapi juga seluruh rakyat Indonesia.
Sebab bukan hanya pengakuan atas kekalahan yang dipertontonkannya secara sportif. Tetapi dia juga menyambut penggantinya Jokowi dan mengantarnya sampai ke pintu ruang kerja DKI-1 secara terhormat. Sikap yang berbudaya dan berjiwa besar.
Sikap Fauzi Bowo yang sportif pada akhirnya menjadi modal yang kuat bagi Jokowi untuk memimpin Jakarta. Bekas Walikota Solo ini tidak punya alasan untuk tidak bekerja maksimal sebagaimana janjinya dan menjadikan DKI sebagai kota kebanggaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selamat bekerja Mas Jokowi, Tengkyu berat Bang Fauzi. [mdr]
Tidak lain tidak bukan sebuah sikap ksatria berupa faktor kesediaan Fauzi Bowo selaku incumbent menerima kekalahan dari pesaingnya yakni Joko Widodo (Jokowi). Sikap ini merupakan sebuah pembelajaran yang sangat baik dari segi demokrasi.
Sebab sekalipun penghitungan resmi belum lagi dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang berarti hasil hasil Pemilukada belum punya kepastian hukum, tetapi Fauzi Bowo menyadari kekalahannya tinggal soal waktu. Maka jauh lebih baik bila dia menerima kekalahan itu dan mengucapkan selamat kepada pesaingnya.
Kalau saja Fauzi Bowo tidak langsung menelpon Jokowi dengan mengucapkan selamat atas perolehan suara sementara melalui hasil quickcount, hasil Pemilukada DKI boleh jadi akan lain. Dan yang sangat menarik, Fauzi menelpon Jokowi pada hari pemilihan berlangsung sesaat setelah hasil perhitungan sementara beberapa lembaga survey menunjukkan kemenangan Jokowi.
Kalau tidak salah selama ini belum pernah penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, diwarnai oleh sikap sportif ala Fauzi Bowo. Sikap Fauzi Bowo yang sportif itu menjadi faktor yang menentukan untuk berbagai hal. Yang menikmati bukan hanya rakyat Jakarta tapi bangsa Indonesia.
Warga Jakarta bisa langsung melakukan kegiatan sehari-hari, tanpa terpenjara oleh demam Pemilukada. Dengan begitu hal tersebut mengakhiri ketidak pastian dan berbagai spekulasi. Sikap Fauzi Bowo yang sportif membuat penyelenggaraan Pemilukada DKI berakhir sesuai jadwal dan otomatis tidak terjadi pemborosan.
Sikap Fauzi Bowo berdampak pada sikap Tim Suksesnya. Tim membatalkan rencana mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Sikap ini sesuai dengan tuntutan agar setiap kadidat dalam Pemilukada memiliki mental siap menang dan siap kalah.
Kalau gugatan itu diajukan, gugatan itu bisa menjadi 'bola liar'. Gugatan itu bisa menjadi komoditi politik yang pada akhirnya hanya akan menaikkan suhu politik di Jakarta, kota metropolitan yang selalu menjadi ukuran bagi situasi nasional.
Dengan Pemilukada DKI tanpa gugatan, membuat pesta demokrasi di ibukota NKRI ini menjadi sangat berbeda dengan berbagai Pemilukada di daerah-daerah. Pasca- Pemilukada tidak terjadi permusuhan berkelanjutan.
Fauzi Bowo selama ini dikesankan oleh penentangnya sebagai seorang yang otoriter dan merasa benar sendiri. Sehingga berbagai spekulasi tentang langkah apa yang akan dia ambil bila mengalami kekalahan, mulai dikira-kira oleh para pemngamat.
Fauzi yang tadinya terkesan tak bakal menerima begitu saja kekalahannya, sebaliknya justru menjadi orang pertama yang memberikan ucapan selamat kepada lawannya pada saat hasil penghitungan suara masih pada tingkat Quick Count. Sehingga faktor Fauzi Bowo kali ini seperti membalikan keadaan. Menjadi sebuah anti-tesis dalam budaya penyelenggaraan Pemilukada.
Sikap Fauzi Bowo ini selain patut mendapat apresiasi, sekaligus mengingatkan Pilpres di Amerika Serikat pada 2000 yang mempertemukan Albert Gore (Partai Demokrat) dan George Bush Junior (Republik). Yaitu demokrasi diposisikan pada tempat yang paling tinggi.
Selisih suara yang menjadi krusial, ditentukan di salah satu TPS di Palm Beach, negara bagian Florida. Hasil penghitungan suara menetapkan George Bush menang di wilayah dimana saudara kembarnya Jeb Bush menduduki posisi sebagai Gubernur.
Banyak kalangan yang meragukan kemenangan itu. Sebab selisih suaranya tidak mencapai 100 (278 melawan 266). Tetapi pihak Albert Gore tidak lagi memperpanjang perselisihan itu, selisih suara yang tipis itu tidak menjadi masalah besar.
Padahal Gore memiliki sejumlah alasan untuk memperpanjang perselisihan itu. Saran dari sejumlah pendukungnya, Al Gore masih berpeluang untuk menang, ditepisnya dengan jiwa besar.
Belakangan masyarakat Amerika Serikat terutama para pendukungnya baru menyadari, bahwa bagi Al Gore yang sudah dua periode mendampingi Bill Clinton sebagai Wakil Presiden, jabatan bukanlah segala-galanya. Menjadi Orang Nomor Dua di Amerika Serikat selama dua periode berturut-turut, sudah merupakan sebuah pencapaian puncak karir.
Setelah kekalahannya itu, Gore banting stir ke dunia non politik. Ia menjadi advokat untuk masalah-masalah lingkungan. Pekerjaan yang dilakukan berupa kampanya face to face ke berbagai lembaga. Selama melakukan advokasi, tidak jarang Al Gore mendapatkan cibiran.
Pada 2007 Al Gore akhirnya meraih hadiah Nobel Perdamaian, sebuah penghargaan bergengsi yang diakui oleh komunitas internasional. Usaha kerasnya yang tidak mengenal lelah dalam menyakinkan masyarakat atas efek negatif dari pemanasan global, telah membangunkan kesadaran yang lebih luas di masyarakat tentang pentingnya manusia menjaga dan melestarikan lingkungan.
Karir Fauzi Bowo sendiri di DKI tergolong cukup lama. Mulai dari jabatan Kepala Dinas Pariwisata, Sekretaris Wilayah Daerah , Wakil Gubernur, dua periode dan Gubernur satu periode.
Faktor Fauzi Bowo dalam menyikapi hasil Pemilukada DKI, sesungguhnya bisa menjadi rujukan penting bagi bangsa Indonesia. Mengingat dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, pada Juli 2014 Indonesia akan menggelar Pemilihan Presiden.
Semestinya semua pihak yang bercita-cita menjadi Presiden pada 2014, sejak sekarang sudah harus betul-betul memiliki mental yang sama dengan Fauzi Bowo ataupun Al Gore. Siap untuk menang tetapi siap juga untuk kalah.
Masalahnya, kalau setiap kandidat tidak punya kesiapan mental seperti itu, setiap kandidat yang kalah akan meningggalkan dendam seperti api dalam sekam. Hasilnya sudah terlihat dalam Pilpres 2004 dan 2009.
Yang kalah, para pecundang tidak pernah merasa puas dengan hasil Pilpres. Seolah-olah kalau belum menang, belum berhasil, martabat sebagai pemimpin atau tokoh masyarakat maupun tokoh nasional, telah tercoreng. Padahal yang dikejar cuma soal jabatan dan status sosial. Dua hal yang pada akhirnya belum tentu memberikan apa yang sedang dicari.
Sehingga sudah kalah, sudah gagal dalam Pilpres 2004, masih mencoba lagi di 2009 bahkan bukan mustahil di 2014. Kepada Fauzi Bowo bukan hanya masyarakat Ibukota yang perlu berterima kasih atas sikap gentleman-nya. Tetapi juga seluruh rakyat Indonesia.
Sebab bukan hanya pengakuan atas kekalahan yang dipertontonkannya secara sportif. Tetapi dia juga menyambut penggantinya Jokowi dan mengantarnya sampai ke pintu ruang kerja DKI-1 secara terhormat. Sikap yang berbudaya dan berjiwa besar.
Sikap Fauzi Bowo yang sportif pada akhirnya menjadi modal yang kuat bagi Jokowi untuk memimpin Jakarta. Bekas Walikota Solo ini tidak punya alasan untuk tidak bekerja maksimal sebagaimana janjinya dan menjadikan DKI sebagai kota kebanggaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selamat bekerja Mas Jokowi, Tengkyu berat Bang Fauzi. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar