Pewarta: Anita P Dewi
Jakarta (ANTARA News) - Penyidik Bareskrim Polri berhasil meringkus
seorang warga negara Bulgaria berinisial IIT (46) yang merupakan
sindikat internasional pencurian atau pembobolan uang nasabah perbankan
melalui mesin Anjungan Tunai Mansiri (ATM).
"Pada 7 Februari 2015, penyidik Cybercrime Polri berhasil menangkap IIT yang diduga menerima uang hasil kejahatan dan membantu kejahatan yang dilakukan sindikatnya," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Victor E Simanjuntak di Jakarta, Senin.
Menurut dia, tersangka diamankan di sebuah vila mewah di Seminyak, Bali. Ia ditangkap bersama enam warga negara Bulgaria lainnya.
"Kemudian dua orang dari mereka dideportasi karena telah melanggar keimigrasian," katanya.
Sementara, empat orang lainnya melarikan diri ke Nusa Tenggara Timur (NTT). "Mereka lari ke NTT, kemudian menyeberang ke Timor Leste dan menuju Singapura," kata Victor.
Dalam melakukan operasinya, IIT dan sindikatnya mencuri uang nasabah bank dengan modus operandi yang tergolong baru.
Victor mengatakan, sindikat ini menggunakan alat penyadap yang menyerupai router. Alat penyadap ini mampu membaca lajur transaksi kartu ATM milik korban, sesaat setelah korban memasukkan kartunya ke mesin ATM.
Modus ini berbeda dengan modus-modus pencurian uang ATM sebelumnya. Biasanya pelaku memasang skimmer (alat pembaca magnetic stripe kartu) dan memasang kamera tersembunyi untuk mengetahui PIN ATM korban.
Kasus kejahatan ini diketahui setelah Polri menerima laporan dari sebuah bank swasta nasional terkait adanya aktivitas mencurigakan yang terekam CCTV di beberapa lokasi ATM di Bali yang dilakukan oleh WNA.
IIT diketahui telah tinggal di Bali selama dua tahun. Dia dan komplotannya selalu menggunakan uang tunai dalam bertransaksi apapun untuk menghindari terlacaknya aksi mereka oleh polisi.
Dari koordinasi Bareskrim dengan Europol Cyber Crime Center (EC3), diperoleh informasi bahwa sindikat ini telah melakukan kejahatan pencurian uang terhadap 560 orang korban. Para korban tersebut merupakan para WNA yang pernah berlibur di Bali.
Sindikat ini menjadikan Bali sebagai lokasi pencurian identitas nasabah dan lokasi penarikan uang hasil kejahatan karena mereka sudah sulit melakukan aksinya di Eropa dan Amerika.
"Berdasarkan data Europol, diketahui sindikat ini sebelumnya pernah melakukan kejahatan serupa di beberapa negara Eropa dan Amerika serta pernah dipenjara," katanya.
Ia menyebut, uang yang diambil pelaku dari setiap korban tidak banyak. Rata-rata kurang dari 300 Euro atau Rp4,2 juta. Meski demikian, keuntungan yang diraup sindikat ini sangat besar karena korbannya sangat banyak.
"Karena dana yang dicuri dari korbannya tidak besar sehingga korban pun tidak merasa uangnya dicuri," katanya.
Dalam penangkapan IIT, penyidik menyita ribuan "white card" (kartu palsu) yang berisi data magnetic stipe nasabah yang identitasnya dicuri.
Selain itu juga disita barang bukti lainnya berupa komputer, magnetic card writer, uang dalam mata uang asing seperti USD, Euro, Riyal, SGD, RM, HKD, Lira dan RMB dengan total nilai Rp500 juta.
Atas kejahatan yang dilakukannya, IIT telah melanggar Pasal 362, 363, 406 KUHP, Pasal 30 Jo Pasal 46 dan atau Pasal 32 Jo Pasal 48 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 3, 4, 5 dan 10 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Pada 7 Februari 2015, penyidik Cybercrime Polri berhasil menangkap IIT yang diduga menerima uang hasil kejahatan dan membantu kejahatan yang dilakukan sindikatnya," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Victor E Simanjuntak di Jakarta, Senin.
Menurut dia, tersangka diamankan di sebuah vila mewah di Seminyak, Bali. Ia ditangkap bersama enam warga negara Bulgaria lainnya.
"Kemudian dua orang dari mereka dideportasi karena telah melanggar keimigrasian," katanya.
Sementara, empat orang lainnya melarikan diri ke Nusa Tenggara Timur (NTT). "Mereka lari ke NTT, kemudian menyeberang ke Timor Leste dan menuju Singapura," kata Victor.
Dalam melakukan operasinya, IIT dan sindikatnya mencuri uang nasabah bank dengan modus operandi yang tergolong baru.
Victor mengatakan, sindikat ini menggunakan alat penyadap yang menyerupai router. Alat penyadap ini mampu membaca lajur transaksi kartu ATM milik korban, sesaat setelah korban memasukkan kartunya ke mesin ATM.
Modus ini berbeda dengan modus-modus pencurian uang ATM sebelumnya. Biasanya pelaku memasang skimmer (alat pembaca magnetic stripe kartu) dan memasang kamera tersembunyi untuk mengetahui PIN ATM korban.
Kasus kejahatan ini diketahui setelah Polri menerima laporan dari sebuah bank swasta nasional terkait adanya aktivitas mencurigakan yang terekam CCTV di beberapa lokasi ATM di Bali yang dilakukan oleh WNA.
IIT diketahui telah tinggal di Bali selama dua tahun. Dia dan komplotannya selalu menggunakan uang tunai dalam bertransaksi apapun untuk menghindari terlacaknya aksi mereka oleh polisi.
Dari koordinasi Bareskrim dengan Europol Cyber Crime Center (EC3), diperoleh informasi bahwa sindikat ini telah melakukan kejahatan pencurian uang terhadap 560 orang korban. Para korban tersebut merupakan para WNA yang pernah berlibur di Bali.
Sindikat ini menjadikan Bali sebagai lokasi pencurian identitas nasabah dan lokasi penarikan uang hasil kejahatan karena mereka sudah sulit melakukan aksinya di Eropa dan Amerika.
"Berdasarkan data Europol, diketahui sindikat ini sebelumnya pernah melakukan kejahatan serupa di beberapa negara Eropa dan Amerika serta pernah dipenjara," katanya.
Ia menyebut, uang yang diambil pelaku dari setiap korban tidak banyak. Rata-rata kurang dari 300 Euro atau Rp4,2 juta. Meski demikian, keuntungan yang diraup sindikat ini sangat besar karena korbannya sangat banyak.
"Karena dana yang dicuri dari korbannya tidak besar sehingga korban pun tidak merasa uangnya dicuri," katanya.
Dalam penangkapan IIT, penyidik menyita ribuan "white card" (kartu palsu) yang berisi data magnetic stipe nasabah yang identitasnya dicuri.
Selain itu juga disita barang bukti lainnya berupa komputer, magnetic card writer, uang dalam mata uang asing seperti USD, Euro, Riyal, SGD, RM, HKD, Lira dan RMB dengan total nilai Rp500 juta.
Atas kejahatan yang dilakukannya, IIT telah melanggar Pasal 362, 363, 406 KUHP, Pasal 30 Jo Pasal 46 dan atau Pasal 32 Jo Pasal 48 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 3, 4, 5 dan 10 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar