Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) terus melanjutkan pengusutan kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Depo Minyak di Balaraja, Tangerang. Kejagung pun memeriksa Pengusaha Edward Soeryadjaya terkait posisinya sebagai Komisaris PT Pandanwangi Sekartaji (PWS) pada tahun 2000-2003.
"Kasus dugaan korupsi yang di mana kami diminta keterangan. Jadi korupsi secara umum. Bahwa diduga terjadi penyalahgunaan kewenangan dari pimpinan lembaga negara dalam hal ini Pertamina dalam hal menyelesaian pembayaran kepada PT PWS," ujar Edward Soeryadjaya kepada wartawan di Gedung Bundar Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Selasa (24/5/2011).
Edward menjelaskan, dirinya sempat menjabat sebagai Komisaris Utama PT PWS pada periode 2000-2003. Namun saat pembayaran kompensasi atau ganti rugi dari Pertamina diberikan, Edward telah menyerahkan PT PWS kepada pengusaha Sandiga Uno.
"Diawalnya saya Komisaris Utama PWS, tetapi kemudian waktu saya jadi pengurus DPP Golkar, saya serahkan semuanya ke Pak Sandiaga Uno. Jadi setelah itu ya saya tidak tahu lagi," tuturnya.
Edward menjelaskan, dalam kasus ini Pertamina melakukan pemutusan kontrak kerja pembangunan Depo Minyak di Balaraja secara sepihak. Sehingga PT PWS yang menjadi rekanan Pertamina mendapat kompensasi atau ganti rugi sebesar US$ 12,8 juta.
Menurutnya, pemutusan kontrak yang dilakukan oleh Pertamina kemudian dilakukan penghitungan kompensasi, lalu diputuskan oleh BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan sesuai keputusan BANI nilai yang harus dibayar adalah US$ 20 juta. Tapi kemudian hanya dibayarkan US$ 12,8 juta.
"Ditengarai ada ketidakwajaran dalam proses pembayaran itu, pembayaran kompensasi. Karena BANI memutuskan US$ 20 juta, tapi kenapa dibayarnya US$ 12,8 juta," ucap Edward.
Edward menambahkan, dalam kaitan pembayaran kompensasi sebesar US$ 20 juta tersebut, seharusnya pihak yang menerima ganti rugi menyerahkan hasil pekerjaan senilai 29%. Namun ditengarai bahwa nilai yang diserahkan jauh di bawah itu.
"Akhirnya setelah diteliti lebih lanjut diperkirakan terjadi ketidakwajaran dalam proses pembayaran itu, jadi suatu pembayaran yang dipaksakan. Jadi kalau tidak bisa menyerahkan 29% berarti kan tidak usah bayar sama sekali. Kan tidak mungkin suatu keputusan BANI yang bersifat final itu tiba-tiba dilakukan negosiasi ulang," jelasnya.
Uang kompensasi sebesar US$ 12,8 juta diketahui dibayarkan oleh Pertamina dalam dua tahap. Tahap pertama pembayaran kompensasi sudah dicarikan PT PWS yakni sebesar US$ 6,4 juta, sedangkan sisanya ditunda pembayarannya oleh Pertamina. Terhadap uang kompensasi tersebut, Edward mengaku dirinya tidak menerima sepeser pun karena saat itu Edward sudah tidak menjabat sebagai Komisaris.
"(Kompensasi diterima) Oleh PWS perusahaannya yang dikuasai oleh Sandiaga Uno. Kalau menurut dia, kan dia yang memiliki. Padahal setahu saya, saya yang memiliki, saya yang menitipkan ke beliau tahun 2005 waktu saya menjadi pengurus DPP Golkar. Karena aktivitas itu tidak memungkinkan saya melakukan pengelolaan bisnis secara sambilan, nanti rugi," tandas putra pendiri PT Astra International ini.
Menurut informasi yang dihimpun, kasus ini berawal pada 1996, saat Pertamina menggandeng PT Pandanwangi Sekartaji (PWS) sebagai rekanan dalam proyek pembangunan Depo Minyak Balaraja di Tangerang. Proyek tersebut diketahui bernilai US$ 20 juta. Namun akhirnya proyek tersebut gagal dilaksanakan akibat krisis moneter.
Padahal PT PWS telah membeli tanah seluas 20 hektar untuk proyek tersebut dengan meminjam uang kepada perusahaan Singapura, Van Der Horst Ltd (VDHL). Dalam mendapat pinjaman tersebut, PT PWS menjaminkan sertifikat HGB No 031 atas tanah proyek tadi. Namun kemudian di tengah jalan, VDHL bangkrut terkena krisis keuangan dan dilelang. Lelang dimenangkan oleh pengusaha Edward Soeryadjaya, sehingga sertifikat HGB No 031 yang tadi dijaminkan oleh PT PWS berada di tangannya.
Di tengah perjalanan, PT PWS yang sebelumnya dimiliki Oleh Johnie Hermanto dan Tri Harwanto kemudian disebut-sebut dibeli oleh kelompok perusahaan Sandiaga Uno, yakni PT VDH Teguh Sakti senilai US$ 1,5 juta. Saat dimiliki oleh kelompok perusahaan Sandiaga Uno tersebut, PT PWS lantas meminta ganti rugi kepada Pertamina atas pembatalan sepihak proyek tersebut.
Pertamina lantas membayar ganti rugi sebesar US$ 6,4 juta kepada PT PWS, dari total kerugian sebesar US$ 12,8 juta. Namun, saat PT PWS hendak mencairkan ganti rugi tahap kedua, terungkap bahwa sertifikat asli tanah proyek tersebut tidak lagi berada di tangan PT PWS.
Yang ada hanya sertifikat HBG No 032, bukan sertifikat HGB No 031, yang asli. PT PWS menyebut sertifikat HGB No 031 tersebut hilang. Padahal diketahui bahwa sertifikat HGB No 031 ada di tangan pengusaha Edward Soeryadjaya. Edward pun lantas mengajukan protes kepada Pertamina. Dan Pertamina memutuskan menunda pembayaran ganti rugi tahap kedua tersebut.
Dalam kasus ini, uang negara sebesar US$ 6,4 juta telah mengalir ke PT PWS sebagai bentuk uang ganti rugi. Padahal diketahui belakangan bahwa ada dugaan pemalsuan atau penipuan sertifikat tanah guna mendapatkan pembayaran ganti rugi tersebut. Hal ini dinilai merugikan Pertamina. Namun semua ini masih sebatas dugaan dan tengah ditelusuri oleh pihak Kejagung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar