Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengecam keras tindakan brutal aparat keamanan yang menewaskan sejumlah warga sipil di Bima, NTB.

Siaran pers PP Muhammadiyah yang diterima di Jakarta, Sabtu malam, menyebutkan, tindakan tersebut mencerminkan tirani dan arogansi kekuasaan dari negara dan aparat yang tidak melindungi rakyatnya.

Insiden di Bima, menurut Din, berpangkal pada sikap pemerintah yang tidak bijak, tidak berpihak kepada rakyat dan hanya membela kepentingan pengusaha.

"Seyogyanya aspirasi rakyat diperhatikan dan dipertimbangkan melalui dialog-dialog intensif dan persuasif," kata Din.

Tindakan aparat keamanan, kata Din, merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat yang harus diproses melalui jalur hukum secara adil.

Din juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak diam dan mendesak Kapolri untuk bertanggungjawab.

Sementara Kepolisian Negara RI sudah mengamankan 31 orang terkait bentrok antara pengunjuk rasa dengan polisi di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

"Mereka terdiri dari 25 dewasa dan enam anak," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri, Irjen Pol Saud Usman Nasution, di Jakarta, Sabtu.

Jumlah provokator yang ditangkap sebanyak tiga orang atas nama H yang merupakan Daftar Pencarian Orang (DPO) Polda NTB, A alias O dan SY. Sementara, korban meninggal atas nama Arief Rachman (18) dan Syaiful (17), ujarnya.

"Sementara itu, barang bukti yang disita diantaranya parang sepuluh unit, sabit empat unit, tombak satu unit, satu unit bom molotov dan bensin dua botol," kata Saud.

Ia mengatakan, tindakan pengamanan dilakukan pada hari ini jam 08.00 WITA terhadap massa yang bertahan di jembatan penyeberangan feri Sape dipimpin Kapolda NTB kemudian dilakukan penangkapan terhadap provokator dan masyarakat yang masih bertahan diangkut keseluruhan ke Polres Bima.

"Massa juga membakar Mapolsek Lambu dan beberapa kantor pemerintah lainnya dan saat ini lagi pendataan," kata Saud.

Sebelum massa memprotes keberadaan perusahaan tambang di wilayahnya dan meminta pemerintah daerah mencabut izinnya.