INILAH.COM, Jakarta - Perbedaan pendapatan (income), gesekan kepentingan sesaat dan kesenjangan sosial mewarnai beragam konflik antar-ummat beragama.
Menjelang pergantian tahun baru 2012, para tokoh lintas agama mengakui adanya masalah perbedaan pendapatan dan gesekan kepentingan itu, dalam renungan bersama tentanga nasib dan masa depan kerukunan umat beragama di Indonesia.
”Beda pendapat itu biasa, tapi beda pendapatan sangatlah berdampak sosial,” kata pengamat sosial-agama Moh Shofan dari Yayasan Paramadina. Masa depan toleransi antar beragama di Indonesia cukup memperihatinkan.
Dalam acara refleksi akhir tahun 2011, sejumlah tokoh menyampaikan keprihatinan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam refleksi akhir tahun, kemarin.
Para tokoh agama juga menilai musyawarah mufakat dan gotong royong telah tergerus sistem yang mengedepankan kepentingan besar dan selalu memenangkan modal besar.
Mencederai toleransi dan kerukunan ialah mencederai komitmen kebangsaan. Kasus Syiah-Sunni di Sampang dan Gereja Yasmin Bogor merupakan masalah kebangsaan yang mesti diselesaikan secara baik dalam kebersamaan.
Segenap komponen bangsa, baik penguasa maupun rakyat, cenderung merusak diri sendiri dan bangsa. Semua pihak yang mempunyai kekuasaan tidak amanah, dan dihimbau supaya kembali kepada spirit melayani masyarakat agar tumbuh optimisme yang kuat dan maju ke depan.
Pesan moral disuarakan Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Andreas A Yewangoe, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Mgr Situmorang dan Sekretaris KWI Romo Benny Susetyo, Ketua Parisada Dharma Indonesia Nyoman Suwisma, Ketua Majelis Budhayana Indonesia Khrisnanda, dan Sekretaris Matakin Kristian serta Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj.
Dalam hal ini, Ketua Dewan Syura Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat mengatakan, konflik yang terjadi antara Sunni-Syiah di Sampang, Madura, bukan karena perbedaan pendapat, melainkan karena perbedaan pendapatan yang dipicu konflik internal keluarga antara Raisul Hukama (Rais) dan adiknya, Tajul Muluk.
Kang Jalal menjelaskan, Rais dan Tajul awalnya sama-sama menjadi pengurus IJABI. Namun, karena ada persoalan internal di antara keduanya, akhirnya pada 2009 Rais memutuskan untuk keluar dari IJABI dan bergabung bersama kelompok yang "berlawanan".
"Bangsa ini sudah damai sejak dahulu. Kita ini (Sunni-Syiah) rukun, konflik terjadi karena ada perbedaan pendapatan. Saya tidak enak mengatakannya, tapi ini karena 'matre'," ungkapnya.
Adalah tugas para tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk lebih banyak berperan menyadarkan mereka yang tengah berkonflik, agar solidaritas sosial. perdamaian dan ketentraman bisa diamalkan.
Menjelang pergantian tahun baru 2012, para tokoh lintas agama mengakui adanya masalah perbedaan pendapatan dan gesekan kepentingan itu, dalam renungan bersama tentanga nasib dan masa depan kerukunan umat beragama di Indonesia.
”Beda pendapat itu biasa, tapi beda pendapatan sangatlah berdampak sosial,” kata pengamat sosial-agama Moh Shofan dari Yayasan Paramadina. Masa depan toleransi antar beragama di Indonesia cukup memperihatinkan.
Dalam acara refleksi akhir tahun 2011, sejumlah tokoh menyampaikan keprihatinan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam refleksi akhir tahun, kemarin.
Para tokoh agama juga menilai musyawarah mufakat dan gotong royong telah tergerus sistem yang mengedepankan kepentingan besar dan selalu memenangkan modal besar.
Mencederai toleransi dan kerukunan ialah mencederai komitmen kebangsaan. Kasus Syiah-Sunni di Sampang dan Gereja Yasmin Bogor merupakan masalah kebangsaan yang mesti diselesaikan secara baik dalam kebersamaan.
Segenap komponen bangsa, baik penguasa maupun rakyat, cenderung merusak diri sendiri dan bangsa. Semua pihak yang mempunyai kekuasaan tidak amanah, dan dihimbau supaya kembali kepada spirit melayani masyarakat agar tumbuh optimisme yang kuat dan maju ke depan.
Pesan moral disuarakan Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Andreas A Yewangoe, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Mgr Situmorang dan Sekretaris KWI Romo Benny Susetyo, Ketua Parisada Dharma Indonesia Nyoman Suwisma, Ketua Majelis Budhayana Indonesia Khrisnanda, dan Sekretaris Matakin Kristian serta Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj.
Dalam hal ini, Ketua Dewan Syura Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat mengatakan, konflik yang terjadi antara Sunni-Syiah di Sampang, Madura, bukan karena perbedaan pendapat, melainkan karena perbedaan pendapatan yang dipicu konflik internal keluarga antara Raisul Hukama (Rais) dan adiknya, Tajul Muluk.
Kang Jalal menjelaskan, Rais dan Tajul awalnya sama-sama menjadi pengurus IJABI. Namun, karena ada persoalan internal di antara keduanya, akhirnya pada 2009 Rais memutuskan untuk keluar dari IJABI dan bergabung bersama kelompok yang "berlawanan".
"Bangsa ini sudah damai sejak dahulu. Kita ini (Sunni-Syiah) rukun, konflik terjadi karena ada perbedaan pendapatan. Saya tidak enak mengatakannya, tapi ini karena 'matre'," ungkapnya.
Adalah tugas para tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk lebih banyak berperan menyadarkan mereka yang tengah berkonflik, agar solidaritas sosial. perdamaian dan ketentraman bisa diamalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar