BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 31 Maret 2014

Tak Perlu Gaduh, Bela TKI/WNI Yang Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri

Oleh : Desk Informasi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan, upaya pembebasan TKI/WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri tidak mungkin dijelaskan secara terbuka. Hal ini untuk menjaga hubungan dengan pemimpin negara setempat, juga menghindari protes dari masyarakatnya karena umumnya TKI yang dijatuhi vonis mati tersebut dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan setempat, dan juga telah diakui sendiri oleh TKI.
Saat bertemu dengan 4 (empat) keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tersangkut masalah hukum di Arab Saudi, yaitu Satinah, Tuti Tursilawati, Karni binti Medi, dan Siti Zaenab, di Hotel Gumaya, Semarang, Jateng, Minggu (30/3) pagi, Presiden SBY mengemukakan, mereka (pemerintah dimana WNI mengalami kasus) tidak ingin rakyatnya gundah, marah, atau memprotes (permintaan pengampunan dari Indonesia). Sama seperti negara lain yang meminta pembebasan warga negaranya yang dihukum mati di Indonesia, rakyat kita juga akan marah.
"Bayangkan kalau ada orang Arab membunuh anak Indonesia umur 4 tahun, terus saya bebaskan dari hukuman mati dengan memberikan grasi. Saya kira saya tidak bisa bertahan sebagai Presiden," jelas SBY dalam pertemuan dengan sejumlah wartawan Semarang, seusai bertemu dengan 4 (empat) keluarga TKI yang tersangkut masalah hukum di Arab Saudi itu.
Kepala Negara mengingatkan, pembebasan seseorang dari hukuman mati, bahkan pengurangan hukuman sekalipun, adalah isu yang sangat sensitif. Pemimpin negara manapun akan berhati-hati melakukannya, begitu juga Indonesia.
"Banyak kepala negara meminta pembebasan dari hukuman mati warga negaranya yang terlibat kejahatan di Indonesia. Tapi saya tidak begitu saja membebaskannya," ujar Kepala Negara.
Presiden menjelaskan, dalam kasus TKI yang mengalami masalah hukum di luar negeri, umumnya pengadilan setempat memberikan vonis hukuman mati karena terbukti melakukan tindak kriminal, seperti kasus pembunuhan terhadap anak berusia 4 tahun inilah yang dihadapi TKI Karni binti Medi, atau tinak pidana terkait narkoba.
"Jadi keliru ini, (kalau disebutkan) orang baik-baik dizalimi, SBY diam saja, pemerintah diam saja. Mereka melakukan tindak kriminal, dibuktikan dalam pengadilan dan mereka sudah mengaku," jelas Presiden SBY.
Namun demikian, tetap Presiden secara moral wajib mengusahakan pembebasan dari hukuman mati. "Diminta atau tidak diminta keluarga, ditekan atau tidak oleh sebagian publik kita, saya harus melakukannya karena itu tanggung jawab moral saya," SBY menegaskan.
Presiden kemudian menceritakan sejumlah kasus yang dialami WNI di Tiongkok. Cukup banyak WNI yang dapat dibebaskan dengan pesan dari pemerintah Tiongkok agar Indonesia diam. Tidak gaduh dan menyebabkan kemarahan dari masyarakat Tiongkok.
"Oleh karena itu saya tidak bisa ngomong ini di luar, nanti kok SBY tidak membela warganya. Habis-habisan saya laksanakan, tapi saya hemat bicara supaya tidak melukai masyarakat, rakyat, dan pemerintah negara yang ingin melakukan pembebasan dari hukuman mati maupun pengampunan lainnya," ujar Presiden SBY.
Menurut Kepala Negara, ia  tidak hanya menulis surat, tetapi juga berbicara langsung melalui telepon atau melakukan pertemuan dengan pemimpin negara yan bersangkutan. “Itu yang saya lakukan sebagai Presiden. Tidak diminta pun oleh keluarga, tidak ditekan pun oleh siapapun, itu saya lakukan terus-menerus, tidak pernah berhenti," tegas SBY.
Presiden lantas menjelaskan hasil yang dilakukan pemerintah dalam membebaskan warga Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri. “Selama ini sudah ada 176 WNI yang dibebaskan dari hukuman mati. Namun, masih ada 246 orang lagi yang harus dimohonkan pengampunan dan pemaafannya. Dari 176 orang itu, rata-rata tersandung kasus pembunuhan dan narkoba,” tukasnya.
Pahlawan Kesiangan
Secara terpisah Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam di Jakarta, Minggu (30/3) siang, menyebutkan adanya “pahlawan kesiangan” dan “dermawan kesiangan” yang turut meramaikan info "bursa pasar tebus" TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri, padahal pemerintah sudah menyelamatkan 176 TKI terhukum mati.
Contoh kampanye "pahlawan kesiangan" itu, lanjut Seskab, yaitu yang dilakukan tokoh-tokoh parpol dan calon anggota legislatif (Caleg) yang seolah-olah membela Satinah dengan suara lantang, “Kalau pemerintah minta saya tebus; potong gaji,Komis I pakai dana APBN", dan sebagainya. Selain itu, juga ada Ketua partai politik (Parpol) yang seperti pahlawan kesiangan mau menebus diyat Satinah, padahal sudah 176 TKI terhukum mati yang dibebaskan pemerintah
Akibatnya, lanjut Seskab, keluarga korban yang dibunuh Satinah menaikkan lagi nilai diyat. Jika biasanya, nilai diyat hanya 1-2 juta riyal, kini naik menjadi 4-5 juta riyal. Bahkan dalam kasus Satinah, keluarga korban sempat menuntut diyat 15 juta riyal.
“Diyat cenderung terus naik yang dituntut keluarga korban terbunuh oleh TKI terhukum mati, karena tahu pemerintah RI dan "dermawan kesiangan" akan menebusnya,” ujar Dipo.
Padahal yang sesungguhnya terjadi, sebagaimana dijelaskan oleh Presiden SBY, upaya pembebasan TKI/WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri itu tidak bisa dilakukan secara terbuka, harus hati-hati agar tidak menimbulkan kegaduhan di pemerintahan negara yang sedang kita lobi untuk membebaskan TKI/WNI di luar negeri. Sebab, kalau gaduh rakyat setempat akan memprotes pemerintahannya, yang tentu bisa berujung kegagalan dalam membebaskan TKI/WNI dari ancaman hukuman mati di negara tersebut. (ES)

Tidak ada komentar: