Edward Febriyatri Kusuma - detikNews
Jakarta - Meski sudah lanjut usia, Harjulian Sumardi
(79) sesemangat anak muda dalam menjaga lingkungannya. Awalnya, warga
kompleks Malaka Country di Pondok Kopi ini pusing lantaran tumpukan
sampah di depan kompleksnya membuat antar warga ribut. Namun, setelah
putar otak dan bergerak, Harjulian berhasil mengubah sampah itu jadi
biogas dan pupuk cair.
"Awalnya, saya itu melihat sampah yang
menumpuk di TPS di depan kompleks rumah saya, itu menimbulkan
permasalahan bahkan sampai konflik. Terkadang sampah-sampah itu tidak
terangkut, dibiarkan selama 1 minggu, menumpuk jadi banyak dan itu
mendapat protes dari pemilik ruko yang dipinggir Jalan Raya Pondok
Kopi," ujar Harjulian saat ditemui detikcom di kompleks Malaka Country,
Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur, Senin (8/12/2014).
Saat
hujan, lindi alias air sampah mengalir menimbulkan bau. Begitu hujan
berhenti, dari tumpukan sampah-sampah itu akan mengeluarkan belatung
yang terkadang bisa menyebar hingga rumah warga. Warga sekitar pun
mengeluh.
"Satu sisi saya mengerti keluhan mereka, satu sisi ini
ada sampah perumahan, mau dibuang ke mana lagi? Sementara TPS di luar
(kompleks Malaka Country) begitu kita buat untuk khusus kompleks kita
tetapi dengan adanya lokasi yang di luar warga di luar kompleks juga
ikut-ikutan buang sampah," tutur Harjulian.
Ribetnya permasalahan
soal Tempat Penampungan Sementara (TPS) sampah di depan kompleks Malaka
Country ini akhirnya membuat hati Harjulian tergerak mencari cara untuk
mengurangi sekaligus memanfaatkan sampah.
Harjulian lantas
memiliki gagasan yang diutarakannya pada Ketua RW dan seluruh warga agar
memisahkan sampah organik dan anorganik. Sampah anorganik seperti botol
plastik dan kaleng bisa dibuang ke TPS untuk diambil pemulung.
Sedangkan sampah organiknya bisa diolah.
"Saya sudah beberapa
kali mencari solusi dengan membuatkan kompos tetapi permasalahan sampah
tak terselesaikan juga karena konpos bahannya dari dedaunan. Akhirnya
saya timbul ide, bagaimana kalau kita buat biogas dari sampah-sampah
ini," celotehnya.
Harjulian lantas berburu ilmu membuat biogas dari kompos dan bertemulah
dengan peneliti biogas dari Sumedang. Dia menimba ilmu sang profesor itu
dan mulai bergerak mempraktekkannya.
"Akhirnya saya
berinisiatif meminta izin untuk ambil sebagian lahan taman penghijauan
untuk saya buat digester (kotak pencerna sampah organik) berupa lubang
dengan kedalaman 1,2 meter serta panjang dan lebar 4x2 meter. Bagian
bawahnya sudah dicor dan saya lapisi dengan fiber agar tidak bocor,"
tuturnya.
Di satu bagian kotak itu ada lubang untuk memasukkan
sampah-sampah organik macam sisa potongan sayur, tulang ayam dan tulang
ikan. Kemudian Harjulian mengisi kotak pencerna sampah itu dengan
campuran 2:1 antara air dan kotoran sapi 100 kg.
Kotoran sapi
yang didapatkannya dari peternak di Sumedang itu yang dicampur air bisa
menghasilkan bakteri pemakan amoniak. Bakteri-bakteri itulah yang akan
mencerna sampah organik dan menghasilkan gas metana. Bakteri-bakteri itu
bisa bertahan selama 10 tahun karena dikasih makan sampah terus
menerus.
"Ini saya buat dengan alat-alat yang didaur ulang alias
barang-barang bekas. Atap kotak digester ini saya bikin dari tandon air
yang saya belah, saya rekatkan dengan fiber agar kedap udara. Digester
ini mampu menampung 100 kg sampah organik," kata dia.
Pro kontra
warga tentu saja ada. Mulai dari bau busuk yang menyengat hingga masalah
dana. Akhirnya, dia bekerja sama dengan PLN yang mendukungnya mendanai
pengolahan kompos menjadi biogas ini.
Harjulian yang menjadi
pengurus RW bidang kebersihan lingkungan itu sampai menyediakan 2 ember
per rumah untuk memilah sampah. Sehari-dua hari warga rajin memilah,
lama-lama tidak telaten dan malas. Akhirnya, Harjulian merekrut pemilah
sampah
Sampah-sampah organik yang dikumpulkan dari warga itu dimasukkannya ke
digester selama 2 hari hingga menghasilkan gas metana. Gas metana itu
ditampungnya dalam tabung plastik besar dengan panjang 5 meter dengan
diameter 1 meter. Selain itu ada produk sampingan berupa pupuk cair yang
1 liternya di pasaran dihargai Rp 30 ribu.
Namun karena
produksi metananya masih terbatas, maka belum ada warga yang mau
memanfaatkan gas metana. Alasannya, ribet karena harus memiliki
pipa-pipa untuk menyalurkannya ke rumah warga, selain itu dikhawatirkan
pipa-pipa itu nanti akan menimbulkan kesan kumuh. Satu masalah lagi,
tekanan gas metana yang kecil belum memungkinkan untuk disalurkan ke
rumah-rumah.
Maka, jadilah Harjulian sebagai inisiator
menjadikan dirinya proyek percontohan. Dari hasil mengolah kompos
menjadi biogas ini, gas metana yang ditampungnya di tabung plastik itu
disambungkan manual dengan selang kompor gas.
"Hasilnya bisa untuk masak 5 hari," tuturnya.
Dirinya
berencana mencoba memasukkan biogas metana itu ke dalam genset kecil
yang sudah dimodifikasi. Hasilnya, berhasil. Genset bisa menyala
menghasilkan listrik.
Impian untuk TPA Bantar Gebang
Dari
hasil proyek percontohan kecil-kecilan yang dilakukan Harjulian, dia
optimis Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang bisa memanfaatkan
sumber daya sampah untuk menghasilkan listrik.
"Saya memikirkan
bagaimana dengan lahan yang luas dan tonase sampah yang tinggi, itu
dapat menghasilkan listrik untuk 1 kelurahan. Coba diluhat di Bantar
Gebang, sampah numpuk dibiarkan begitu saja. Coba seandainya pemrintah
berniat buat daur ulang sampah jadi biogas metana. Kita cukup
mempekerjakan pemulung-pemulung yang ada di sana saja. Dengan mengelola
Bantar Gebang menjadi pabrik biogas sampah, memilah sampah organik dan
anorganik bisa jadi penghasulan mereka juga. Ini bukan teknologi baru,
ini teknologi lama," harapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar