VIVAnews -- Kepada mereka kita harus berterima
kasih. Mereka bertaruh nyawa di garis depan. Di hutan yang merangas. Di
tebing yang curam. Dan lembah yang dalam. Mereka datang dari banyak
latar belakang. Tentara Nasional Indonesia, Badan SAR Nasional, PMI dan
sejumlah relawan. Semenjak pesawat Sukhoi buatan Rusia menghantam tebing
Gunung Salak, Rabu 9 Mei 2012, tim ini berjuang keras menembus lokasi.
Musuh mereka bukan cuma medan yang susah, tapi juga cuaca yang buruk.
Kawasan sekitar Gunung Salak itu kerap kali ditutup awan. Juga hujan
yang mengguyur deras. Dan itu sudah terjadi semenjak Rabu itu hingga
hari ini.
Pantauan VIVAnews di landasan helikopter Cijeruk, Pasir
Pogor, Minggu 13 Mei 2012, helikopter Super Puma milik TNI Angkatan
Udara bolak-balik terbang untuk melakukan proses evakuasi. Proses
evakuasi sempat dihentikan selama tiga jam.
Salah seorang anggota SAR mengatakan bahwa proses evakuasi terpaksa
dihentikan lantaran angin kencang. Dan tidak ada waktu yang terbuang.
Sembari menunggu angin kencang reda, mereka bersiap mengevakuasi korban
ke Cijeruk, lalu ke Lapangan Udara Halim Perdanakusuma. Selain untuk
kepentingan evakuasi, waktu itu dipakai untuk istirahat. “Kondisi Tim
SAR di atas sudah mulai melemah,” katanya.
Tim SAR di atas itu maksudnya adalah tim yang berada di lini depan
itu. Pasokan logistik berupa makanan dan obat-obatan untuk tim itu
sangat penting. “Akan didrop logistik dan minuman, juga obat,” kata
anggota SAR yang tak mau disebut namanya itu, Minggu siang. Dia
menambahkan, tim akan tetap bertahan di atas sampai ada pergantian
pasukan.
Sementara, Komandan Korem Surya Kencana 0621, Kol. Inf.
A Putranto mengatakan, proses evakuasi sangat bergantung dengan cuaca.
Sebab, saat angin kencang berhembus, helikopter tak bisa diberangkatkan.
Meski demikian, kerja tak boleh berhenti. “Ini hari kelima, upaya
evakuasi saya rasa cukup maksimal,” kata dianya.
Saat ini, dia
mengungkapkan, tim akan berkonsentrasi untuk mengevakuasi para korban.
Kalau matierial pesawat itu akan diangkut belakangan. Kolonel Putranto
menerangkan bahwa di lokasi jatuhnya pesawat ada 560 personel pasukan.
Ditambah dari relawan. “Kami undang dari federasi panjat tebing
Indonesia, dan pemanjat tebing dari TNI,” kata dia.
Karena fokus
masih pada korban, tim Rusia yang juga dikerahkan untuk evakuasi belum
diterjunkan. Sebab, mereka bertugas mengumpulkan puing pesawat.
Pemandangan mengenaskan
Tim
evakuasi yang dipimpin Mayor Pasukan S. Tambunan dari Lapangan Udara
Atang Sanjaya adalah salah satu yang pertama mencapai lokasi jatuhnya
pesawat itu. Mayor Tambunan menceritakan, ia dan timnya bergerak dari
Bandung Kamis lalu. "Kami sampai di Puncak 2 Salak pada pagi hari,"
katanya Minggu 13 Mei 2012.
Dalam perjalanan, tim TNI bertemu
dengan tim SAR dan relawan yang kembali karena tak mampu turun dari
Salak II ke Salak I, lokasi puing pesawat. "Kami putuskan memecah
kekuatan. Saya dengan Kopral Mursdi turun ke Salak 1 kemudian tanpa
peralatan naik ke Salak 2 dari Salak 1," katanya. Penyisiran dilakukan
untuk mengetahui kondisi lokasi kejadian.
Mayor Tambunan
menceritakan, sampai di wilayah tebing mereka melakukan observasi.
Karena waktu tidak memungkinkan evakuasi, tim ini hanya bisa
mendokumentasi. Mereka berangkat hanya dengan satu unit peralatan
survival. Tidak membawa peralatan lengkap. Apa yang mereka saksikan
saat itu sangat menyayat hati. Ada tiga korban. Dua di sungai, satu di
tumpukan airframe pesawat yang menggantung di tebing 40 meter.
Salah
satu korban diperkirakan adalah awak pesawat, dilihat dari fisik,
rambut, dan pakaiannya yang biru. Kondisi jenazah pun sangat
mengenaskan, dua jasad terbakar dan tak utuh. "Kemarin sore jenazah baru
diturunkan, kami titipkan ke Basarnas," katanya.
Bagaimana dengan badan pesawat? Dia mengungkapkan, sebagian besar
material pesawat berada di dasar tebing, di lembah. Seluruhnya landing
gear lengkap, sayap kanan kiri lengkap. Main body masih tertimbun longsoran. Tim ini bertahan di lokasi hingga Minggu pagi. Mereka ke luar pukul 06.05 WIB pagi tadi.
Suara aneh
Soal
ketinggian, Gunung Salak memang kalah dari gunung lainnya di Jawa
Barat. Namun, soal medan, jangan ditanya. Para pendaki pun mengakui,
Salak tak gampang ditaklukkan. Selain terjal, gunung ini adalah salah
satu hutan hujan di Indonesia. Pepohonan sangat lebat.
Untuk
mencapai lokasi jatuhnya pesawat, tim SAR dan TNI kerap harus membuka
jalan baru, bukan jalur pendakian. Mereka harus membabat ilalang dan
menembus hutan perawan, yang belum pernah dimasuki manusia sebelumnya.
Tak jarang pengalaman aneh di luar logika mereka temui selama
perjalanan.
Salah satunya dialami petugas perbekalan angkutan
TNI Angkatan Darat, Sersan Dua Purnahadi. Kala itu, ia dan tim
perbekalan berangkat dari Posko Pusat Evakuasi Embrio Penangkaran Sapi,
Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Bogor, Jawa Barat. Menggendong pasokan
logistik.
Selama berkali-kali naik turun itu, Purnahadi kerap
melihat hal yang tak biasa. “Misalnya melihat perempuan di pinggir jalur
yang saya lewati, dia sedang menangis,” kata dia, Sabtu malam, 12 Mei
2012. Dia menceritakan, sosok tak kasat mata yang sering ia jumpai
umumnya menyerupai manusia.
Namun, apa yang dilihat Purnahadi
tak disaksikan anggota tim lain. Ia pun enggan memberitahukannya.
“Sebenarnya saya sendiri merinding. Apalagi kalau saya kasih tahu ke
teman saya, panik yang ada,” kata dia. Namun, “sepanjang kita nggak
mengganggu, mereka sebenarnya juga nggak ganggu kita. Berpapasan, sudah
begitu saja.”
Berlajar dari pengalamannya, Purnahadi selalu
memperingatkan relawan lain yang hendak naik Gunung Salak. “Yang cowok,
saya bilang jangan membawa benda-benda seperti jimat. Kalau ada relawan
cewek yang ikut bantu, saya selalu tanya, apakah sedang datang bulan?
Kalau iya, saya larang naik ke atas,” ujarnya.
Lain lagi cerita
petugas tim Badan SAR Nasional (Basarnas) yang menjadi bagian dari tim
evakuasi. Operator Radio Komunikasi Basarnas di Posko Embrio, Agustamin
bercerita, ada empat anggota Basarnas yang ikut menjadi personel
evakuasi bertahan di atas tebing yang ditabrak pesawat Sukhoi
Superjet-100. Mereka bertahan di atas untuk memantau personil evakuasi
lainnya menuruni tebing guna mencapai dasar lembah, tempat di mana
diduga para jenazah korban berada.
Saat malam tiba, keempatnya
pun terpaksa bermalam di atas tebing yang berada di Puncak Manik itu.
Saat itulah, satu petugasnya mendengar beberapa kali teriakan minta
tolong dari dasar lembah. Firdaus, nama petugas itu, melaporkan apa
yang didengarnya itu melalui alat komunikasi handy talkie.
"Saya
tanya teriakannya seperti apa. Dia jawab, seperti ada suara perempuan
berteriak 'tolong-tolong'," kata Agus. Tak hanya itu, teriakan lainnya
pun didengar anak buahnya itu. Kali ini teriakan suara laki-laki. "Anak
buah saya itu bilang, teriakan 'sakit-sakit', terus ada teriakan lagi,
'tolong-tolong', 'sakit-sakit'," ucapnya.
Mengetahui hal itu,
Agus meminta agar anak buahnya berusaha konsentrasi dalam bekerja. “Saya
tidak tahu apakah itu halusinasinya dia atau benar. Karena tiga anak
buah saya yang lain tidak mendengar,” kata Agus. Dia juga meminta kepada
anak buahnya itu, agar tidak berspekulasi bahwa masih ada korban yang
hidup di dasar lembah.
Tidur Bergelantungan
Kisah
salah satu komandan regu, Tim Charlie, Komando Pasukan Khusus
(Kopassus), Sersan Satu Abdul Haris menggambarkan betapa sulitnya proses
evakuasi. Tim yang menuruni tebing dengan ketinggian hingga 500 meter,
untuk mengevakuasi korban, bahkan terpaksa harus bermalam di tebing.
Tidur bergelantungan di tali.
Haris memimpin salah satu tim yang
keseluruhan terdiri atas 255 personil gabungan TNI, Polri, Basarnas,
Tagana, PMI, dan lainnya. Tim ketiga yang diberangkatkan untuk
mengevakuasi para korban.
Haris mengatakan, lokasi jatuhnya
pesawat setelah menabrak tebing adalah sebuah lembah dengan kedalaman
lebih dari 500 meter. Karenanya tim evakuasi pun harus menyusuri tebing
dengan kemiringan 85 derajat, nyaris tegak lurus, itu dengan menggunakan
tali sling guna mencapai dasar lembah.
“Yang turun ke bawah itu anggota Tim Kopassus bersama Tim Garuda.
Tapi Tim Garuda itu naik lagi ke atas karena medan yang sangat sulit
itu,” kata dia.
Saat menyusuri tebing yang masih lebat dengan
tanaman dan pohon-pohon kecil itu dia bersama anggota lainnya mengalami
kesulitan. Karena ternyata tali sling yang memang cuma sepanjang 250
meter itu tak mampu menjangkau ke dasar lembah. “Akhirnya kami sambung
lagi dengan tali sling lainnya,” ujar Haris.
Itu bukan perkara
mudah, makan waktu lama. Bahkan, sebelum mencapai dasar lembah, matahari
sudah terbenam. "Kami sampai atas tebing itu jam 16.00. Makanya pas
raffling itu, sudah gelap," kata Haris.
Karena tak mau mengambil
risiko memaksa terus turun, sementara naik ke atas secara fisik sudah
tak kuat, maka Haris dan rekannya pun bermalam di tebing itu dengan cara
bergelantungan pada seutas tali sling. “Sudah kaya kera, kami tidur
bergelantungan,” ujar Haris.
Namun, usaha para pasukan khusus itu
tidak sia-sia. Ketika esok hari mencapai dasar lembah dan menyusurinya,
Haris beserta rekan-rekannya menemukan satu sosok jenazah dengan
kondisi yang nyaris masih utuh. Sosok itu yang kemudian diduga adalah
pilot pesawat Sukhoi Superjet-100 asal Rusia, Alexandr Yablontsev.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar