Jpnn
JAKARTA–Pernyataan Ketua DPR,
Marzuki Ali yang menuding korupsi kerap dilakukan civitas kampus dan
alumni, telah membuat sebagai akademisi gelisah. Lontaran pendapat
tersebut dianggap terlalu mengeneralisir persoalan, apalagi menyebutkan
kampus tertentu.
Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, A Bakir Ihsan mengatakan,
pendapat tersebut tak perlu disikapi secara negatif. Pendapat itu
didasari oleh berbagai fakta-fakta yang ada. Tak bisa diingkari tindak
korupsi itu terjadi di kalangan akademisi.
”Tak perlu diingkari. Lebih baik mari kita bangkit bersama, menata
kampus bebas korupsi,” ujar A Bakir Ihsan dalam surat elektroniknya yang
diterima INDOPOS (Grup JPNN), Jakarta, Selasa (8/5).
Memang sangat memprihatinkan, lanjut dia, perguruan tinggi yang menjadi
basis moral juga terseret dalam arus korupsi. Tak lagi mampu menahan
dari tindakan tak terpuji tersebut. Menurutnya pelaku korupsi memang
menyeret siapa saja. Tak melihat status dan pendidikan. Korupsi
menyerupai serangan yang sangat eksesif, terjadi pada semua kalangan.
”Saya percaya banyak dosen yang masih dapat menjaga diri, tapi tak
sedikit pula yang terseret arus tersebut,” paparnya. Tak diingkari pun,
tambah dia banyak kampus yang telah membekali lingkungannya dnegan
pendidikan anti korupsi. Bahkan diperkuat dengan kegiatan keagamaan
sebagai nilai-nilai moral.
Tetapi nyatanya, ucap dosen FISIP UIN ini, pendidikan yang diajarkan tak
begitu memberi pengaruh. Tindak korupsi terus terjadi. Pelakunya pun
dari kalangan orang terdidik. ”Tak boleh menyalahkan sistem. Karena
korupsi yang terjadi sudah begitu luas, menyerang banyak lembaga,
termasuk kampus,” ungkapnya.
Dia berharap kampus bisa menjadi sumber gerakan anti korupsi. Perguruan
tinggi pelru kembali mengembangkan tri dharma perguruan tinggi. Karena
itu menjadi symbol peran perguruan tinggi dala kehidupan.
Meningkatnya tindak korupsi, tak terlepas dari lemahnya pendidikan di
perguruan tinggi. Perlu kesadaran berasma tentang kenyataan tersebut.
Perguruan tinggi harus berbenah menjawab perubahan dan tantangan.
”Seharusnya perguruan tinggi menjadi epicentrum perlawanan korupsi.
Bukan sebaliknya menjadi penyumbang koruptor,” papar dia.
Selain itu, A Bakir Ihsan meminta dua institusi pemerintah yang
berkaitan dengan pendidikan secaar langsung, yakni Kemendikbud dan
Kemenag dapat lebih mengontrol lembaga pendidikan. Memberikan sanksi
bagi kampus yang di dalamnya ada tindak korupsi.
Pernyataan serupa disampaikan Menteri Pendidikan M. Nuh. Dikatakan, di
beberapa kasus, orang menjadi pintar melanggar aturan setelah lulus
kuliah. Ada banyak hal yang membuat seseorang menjadi suka melanggar
aturan.
"Oleh karena itu, ayo sama-sama kita benahi. Itu kan nakalnya setelah
lulus. Terus dia ikut opo, ikut opo, semua tidak menjamin sehingga yang
harus kita lakukan pembenahan sistemnya secara keseluruhan," ujar M Nuh
saat memimpin rapat pembahasan RUU Perguruan Tinggi (PT) di kantornya,
Selasa (8/5).
Menurutnya, penggeneralisasian alumni kampus mana yang paling korup
tidaklah tepat. Dia mencontohkan, jika ingin mencari orang nakal di
Indonesia, maka sebagian besar merupakan orang Jawa. Hal itu jarena
populasinya paling banyak. "Dari teori statistik kan begitu. Oleh karena
itu, kita tidak bisa mengambil generalisasi seperti itu," sambung Nuh.
Namun, lanjutnya, jika ada perguruan tinggi yang nakal maka seharusnya
introspeksi. "Bisa jadi PT-nya sudah mempersiapkan dengan baik, tapi
setelah keluar dari PT kan nggak bisa lagi kita kendalikan. Organisasi
kepemudaan juga begitu. Organisasi politik juga begitu, dan seterusnya,"
paparnya. (rko/dms)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar