Kupang (ANTARA
News) - Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) mendesak
pemerintah segera mengeluarkan keputusan untuk menghapus sistem kerja
"outsourcing" atau perjanjian kerja waktu tertentu, karena tidak
berpihak kepada buruh dan pekerja.
"Desakan itu menindaklanjuti rekomendasi tertulis KSPSI saat
Kongres VIII Februari 2012 di Batu Malang, Jawa Timur," kata Ketua
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT), Stanis Tefa, di Kupang, Rabu.
Tefa mengatakan hal tersebut menanggapi desakan berbagai kalangan,
terutama para buruh dan pekerja agar segera menghapus sistem
"outsourcing" dari sistem kerja di Indonesia, karena sistem kerja
seperti itu hanya menyengsarakan pekerja.
"Pihak KSPSI juga telah menegaskan kembali rekomendasi itu, pada
pengukuhan jajaran pengurus DPP KSPSI periode 2012-2017, pimpinan Ketua
Umum Yorrys Raweyai, di Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 1 Mei 2012,
bertepatan dengan Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan May Day,"
katanya.
Pada saat ini Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia Yorrys Raweyai selain mendesak pemerintah menjadikan tanggal 1
Mei sebagai Hari Buruh Nasional, dan dinyatakan sebagai hari libur,
juga mendesak penghapusan sistem kerja "outsourcing" kerena bertentangan
dengan konstitusi.
"Outsourcing" telah menjadi persoalan serius bagi kaum pekerja
karena merupakan perbudakan modern. "Regulasi harus ditata ulang karena
masalah "outsourcing" ini jelas-jelas merugikan nasib dan masa depan
pekerja," katanya.
Ia menegaskan bahwa konstitusi telah mengamanatkan pemerintah untuk
memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia termasuk
diantaranya buruh dan pekerja. Dengan demikian, sistem kerja yang
dilakukan pada waktu tertentu merupakan pelanggaran terhadap konstitusi
dan dampaknya akan menyengsarakan pekerja.
"Kami mendesak Menakertrans menerbitkan Keputusan Menteri yang menghapus praktik outsourcing
untuk jenis pekerjaan pokok dan produksi, Kepmen ini berfungsi untuk
mengimplementasikan amar putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011," katanya.
Dalam amar putusan tersebut, MK menyatakan bahwa frasa "perjanjian
kerja waktu tertentu" dalam Pasal 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945.
Pertentangan tersebut terjadi menurut MK sepanjang dalam perjanjian
kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak
bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian
perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau penyedia jasa pekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar