Rivki - detikNews
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY)
kembali menggelar sidang etik Majelis Kehormatan Hakim (MKH) terhadap
hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Tri Hastono. Dia diduga melakukan
tindak asusila.
"Saudara terlapor Tri Hastono adalah hakim PN
Mataram namun saat kejadian yang dilaporkan, saudara sebagai Ketua PN
Rote Ndao," ucap ketua majelis MKH, Eman Suparman, saat sidang di Gedung
MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (20/5/2015).
Komisioner
KY bidang Pengawasan, Eman Suparman duduk sebagai ketua majelis dibantu
komisioner KY lainnya yaitu, Taufikurahman Syahuri, Ibrahim dan Jaja
Ahmad Jayus. Sedangkan dari unsur MA duduk sebagai anggota adalah, hakim
agung Gayus Lumbuun, Is Sudaryono dan Andi Abu Ayub.
Hakim Tri Hastono direkomendasikan hukuman pemecatan tanpa menerima hak pensiun atas dugaan tindak asusilanya.
Belum
diketahui bagaimana kronologi kasus dugaan tindak asusila tersebut.
Sidang yang dilaksanakan di ruang Wiryono itu sempat dibuka untuk umum
saat mengenalkan identitas terlapor. Saat memasuki pemeriksaan perkara,
sidang dilaksanakan secara tertutup. Sidang yang berlangsung sejak pukul
10.30 Wib ini masih berlangsung hingga sekarang.
Tri Hastono
bukan hakim pertama yang diadili di pengadilan etik karena
perselingkuhan. Hakim dari Pengadilan Negeri (PN) Kalilanda, MH
kedapatan selingkuh dengan Ina Mutmainah dan membuahkan seorang anak.
Padahal MH telah memiliki istri dan anak. MH hanya diskorsing selama 2
tahun oleh MA. Tidak terima, Ina menggugat MA ke Mahkamah Konstitusi
(MK) dan meminta MA dinyatakan tidak berwenang menjatuhkan sanksi kepada
hakim dan meminta hanya KY lah yang berwenang sesuai UUD 1945. Kasus
Ina masih ditangani MK.
Atas hal itu, standar moral hakim
Indonesia di atas pun dipertanyakan. Sebagai perbandingan, di negeri
sakura Jepang yang tidak memiliki kode etik tertulis seperti di
Indonesia, hukum telah menjadi darah daging dan ruhnya sehingga semua
hakim belum ada yang melakukan penyimpangan baik hukum maupun etika.
"Hakim
di Jepang tidak memiliki kode etik dan pedoman perilaku hakim seperti
di Indonesia, namun hukum telah menjadi darah daging dan ruhnya sehingga
semua hakim belum ada yang melakukan penyimpangan baik hukum maupun
etika," ujar laporan Joint Study For The Capacity Building of Indonesian
Judges II pada 2009 lalu.
Menurut Franz Magnis Suseno, menjadi
hakim bukan sembarang profesi. Dia termasuk profesi luhur. Lebih dari
itu, profesi hakim memuat sesuatu yang suci yaitu hakim harus menjamin
keadilan dalam masyarakat. Di mana keadilan adalah prinsip moral paling
mendasar dalam menata kehidupan masyarakat dan menyelesaikan konflik.
"Dengan
demikian hakim berpartisipasi pada kemutlakan kebaikan dan kebenaran
ilahi. Atau dengan kata lain, menjadi hakim berarti dipanggil oleh Yang
Ilahi untuk memancarkan keadilan Ilahi ke dalam masyarakat," kata Franz
Magnis sebagaimana dikutip dari makalahnya yang diberikan dalam
pembekalan calon hakim agung 2013 di Mega Mendung, Bogor pada 24 April
2013 lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar