BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Kamis, 05 Mei 2011

BBM Bersubsidi Antara Naik dan Tidak

INILAH.COM, Jakarta – Konsumsi BBM bersubsidi (Premium) sudah 3,6% lebih tinggi dari kuota. Tapi, pemerintah belum menaikan harga atau membatasinya. Bagaimana pendapat para ekonom?
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran (Unpad) Ina Primiana mengatakan, pemerintah harus menghitung secara tepat soal subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab, Ina yakin, kalaupun pemerintah memilih kenaikan harga Premium atau mengalihkan sepenuhnya ke Pertamax, rencana itu akan sulit dilakukan.
Sebab, lanjutnya, jumlah masyarakat yang pendapatannya menengah ke bawah sangat banyak. Apalagi, income per kapita Indonesia sangat rendah US$2.600 per tahun. “Pengguna Pertamax adalah mobil-mobil mewah yang merupakan bagian kecil dari masyarakat Indonesia,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (4/5).
Ina sendiri menyarankan, untuk saat ini, pemerintah jangan dulu menaikkan harga BBM. Sebab, akibat krisis 2008 hingga saat ini, daya beli masyarakat belum terlalu pulih. Begitu juga dengan dunia usaha. “Belum lagi dampak dari pemberlakuan China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) sejak 1 Januari 2010. Daya beli masyarakat secara umum belum pulih,” ujar Ina.
Buktinya, imbuh Ina, tren pembelian barang-barang murah terjadi di masyarakat. Masyarakat saat ini tak lagi peduli dengan kualitas. Kondisi itu, akan semakin parah jika harga BBM naik. “Itulah yang harus diperhatikan pemerintah dalam jangka panjang,” papar Ina.
Pada saat yang sama, hampir 70% pekerjaan berada di sektor informal sehingga tingkat kepastiannya sangat rendah. Artinya, 70% pekerja tidak memiliki masa depan. “Mengatur subsidi, tidak mesti dengan kenaikan harga,” tukasnya.
Subsidi, lanjutnya, sangat tergantung kepada efiesiensi pemerintah yang bisa dilakukan di semua sektor. Menurutnya, banyak pos anggaran yang bisa dihemat untuk tidak mengurangi keberpihakan kepada masyarakat bawah. “Yang terpenting saat ini, adalah meningkatkan daya beli masyarakat,” tandas Ina. “Jangan menaikkan BBM tanpa memikirkan dampaknya.”
Justru, dia menambahkan, pada saat terjadi konsumsi BBM jenis Premium dalam jumlah besar, pemerintah harus mewaspadai penimbunan yang dilakukan spekulan. Sebab, selain karena faktor peralihan dari Pertamax karena mahal di atas Rp9.000 per liter, ke premium yang murah Rp4.500, kenaikan konsumsi bisa juga dipicu ulah spekulan.
Menurutnya, spekulan juga beraksi di tengah kondisi saat ini. “Orang akan menimbun Premium jelang pemberlakuan kebijakan beralih ke Pertamax dan kenaikan harga Pertamax itu sendiri,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Koordinator Tim Kajian Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan, jika pemerintah memilih menaikan harga premium Rp500 per liter dari level Rp4.500, akan memicu inflasi 0,33%. Hal itu bisa dilakukan karena harga minyak sudah berada jauh di atas 10% di atas target APBN.
Apalagi, imbuhnya, seiring harga minyak yang meroket ke atas US$110 per barel$, Pertamax pun naik ke level Rp9.050. “Karena itu, konsumsinya mengalami penurunan tapi di sisi lain konsumsi Premium yang disubsidi pemerintah mengalami lonjakan tajam,” urainya. Karena itu, pemerintah akan terangsang melakukan pembatasan BBM bersubsidi.
Dalam hitungan Latif, pada saat harga harga Pertamax di level Rp7.000, disparitas harga mencapai 35% dibandingkan premium. Jika diterapkan pembatasan BBM (bukan menaikkan harga premium) di seluruh Indonesia akan mendongkrak inflasi 1%.
Sedangkan jika diberlakukan di Jabodetabek saja hanya menyumbang 0,3%. Tapi, saat ini, harga Pertamax di atas level Rp9.000 sehingga peluang inflasinya akan jauh lebih tinggi dari 1%.
Dia menilai, kenaikan harga BBM merupakan pilihan rasional. Sebab, volume BBM yang disubsidi sebesar 38,5 juta kilo liter. Jika dinaikkan Rp100 per liter, pemerintah akan menghemat anggaran Rp2,31 triliun. Jika naik Rp500, pemerintah menghemat lebih dari Rp10 triliun. “Kenaikan harga Premium, lebih menguntungkan ketimbang pembatasan BBM bersubsidi,” imbuhnya.
Sebelumnya, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Adi Subagyo melaporkan, konsumsi BBM Bersubsidi jenis Premium selama 4 bulan pertama di 2011 atau dari Januari hingga April sudah mendekati 8 juta kiloliter, yakni 7,8 juta KL. Angka tersebut lebih tinggi 3,6% dari kuota selama 4 bulan pertama di 2011. [mdr]

Tidak ada komentar: