BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 09 Mei 2011

Burhanudin Muhtadi: Studi Banding Hanya Tutupi Nafsu Pelesiran

M. Rizal - detikNews

Jakarta - Studi banding anggota DPR ke luar negeri diusulkan agar dihentikan sementara (moratorium). Studi banding sekarang dinilai tidak efektif karena lebih banyak menjadi acara pelesiran anggota DPR.

"Kita lihat saat ini banyak studi banding yang dilakukan DPR hanya sekadar menutupi nafsu pelesiran saja. Tidak tepat sasaran, urgensinya tidak jelas, kabur dan tidak akuntabel, mekanisme tidak jelas, sebagian besar seperti itu," kata pengamat politik yang juga peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi kepada detikcom.

Studi banding yang tidak tepat sasaran misalnya terjadi pada studi banding Komisi VIII RUU Fakir Miskin di Australia. Kemiskinan dialami suku Aborigin yang mendiami wilayah Australia bagian utara. Tapi anggota DPR justru mendatangi Sydney dan Melbourne.

"Coba dicek kok anggota Komisi VIII DPR malah jalan-jalannya ke Sydney dan Melbourne, padahal konsentrasi kemiskinin ada di Darwin dan wilayah utara lainnya. Ini kelihatan dari awal bila nafsu pelesiran jelas, karena tujuan turis kan ke Sydney dan Melbourne," kata Burhan.

Bagaimana soal survei yang dilakukan LSI tentang studi banding anggota DPR?

Kalau ini ditanyakan kepada masyarakat atau publik, hampir sebagian besar masyarakat, 78 persen masyarakat menolak bahwa studi banding meskipun dengan alasan meningkatkan kinerja. 78 persen masyarakat menolak studi banding dengan alasan meningkatkan kinerja, karena selama ini studi banding yang dilakukan DPR lebih tampak sebagai kedok untuk menutupi nafsu pelesiran, ketimbang retorika meningkatkan kinerja.

Contoh sederhana, kalau memang argumennya peningkatan kinerja, kenapa fungsi legislasi anggota DPR sekarang, khususnya tahun 2010 jauh dari harapan. Dari target 170 RUU yang harusnya mereka undangkan, hanya tercapai 17 UU, atau hanya 10 persen dari 170 RUU untuk tahun 2010. Dari sisi bujeting, itu ada Rp 1,1 triliun dana APBN Perubahan tahun 2010 yang tidak jelas peruntukannya.

Terkait fungsi kontrol, fungsi pengawasan yang selama ini dilakukan anggota DPR tidak lebih sekadar untuk meningkatkan posisi tawar mereka. Misal kasus Bank Century yang tidak jelas kelanjutannya. Fungsi pengawasan sering ujung-ujungnya sekadar untuk mencari atau memeras mitra kerja. Karena itu, di mata publik, alasan untuk meningkatkan kinerja melalui studi banding hanya retorika kosong.

Apa alasan LSI melakukan survei saat itu?

Kita melakukan survei khusus terkait DPR karena bagaimana pun DPR pilar penting demokrasi. DPR adalah produk dari kinerja demokrasi yang seharusnya mendengarkan aspirasi publik.

Saya prihatin dengan DPR, karena dibanding dengan lembaga demokrasi lain tingkat kepercayaan publik pada DPR paling rendah. Bandingkan dengan kepercayaan publik terhadap lembaga kepresidenan, Mahkamah Konstitusi dan lembaga institusi lain. Kepercayaan pada DPR dan partai politik paling rendah.

Hasil survei kita sebenarnya pernah kita laporkan ke DPR, untuk memperbaiki kinerja mereka. Karena bagaimana pun DPR adalah institusi penting dalam struktur dan sistem tata negara kita, yang harus menjaga kepercayaan publik, bukan terus-menerus membuang deposito kepercayaan publik. Sebab, jika sebagai lembaga perwakilan produk demokrasi DPR gagal menjaga kepercayaan publik, itu sama saja membunuh demokrasi.

Seperti apa detail hasil survei LSI ini?

Survei ini kita lakukan kepada 1.220 orang di 33 provinsi, pada akhir November-September 2009. Tidak lama setelah anggota DPR periode 2009-2014 dilantik.

Jadi kita temukan ekspetasi profil anggota DPR melalui sistem suara terbanyak, yang sebelum mereka bekerja, tingkat harapan masyarakat sebenarnya cukup lumayan.Makanya harapan publik itu seharusnya direalisasikan dan dipenuhi anggota DPR.

Sebab, dibanding periode sebelumnya, periode sekarang dari komposisi gender, keterwakilan perempuan cukup banyak. Dari sisi usia, kebanyakan usianya lebih muda, ketimbang periode sebelumnya. Periode sekarang, anggota berusia 25-60 tahun 60 persen, terbesar dibanding masa-masa sebelumnya. Dilihat dari sisi pendidikan, saat ini relatif tinggi, sampai ada yang Master dan doktor.

Yang berlatar belakang pengusaha juga besar. Karena pemilu tahun 2009 lalu dengan sistem suara terbanyak, popularitas menjadi penting. Hal ini melahirkan kompetensi, dan banyak caleg yang membutuhkan uang besar. Akhirnya yang terseleksi mereka-mereka yang terpilih berlatar belakang pengusaha.

Dan hampir sebagian besar 70 persen dari 500-an anggota DPR itu adalah muka-muka baru. Nah awalnya ini menjadi harapan, tapi belakangan menjadi beban juga, karena belum punya pengalaman, belum punya jam terbang.

Akhirnya mengulang kekonyolan-kekonyolan yang tidak perlu yang lebih parah dibanding periode sebelumnya. Kekonyolan ini distimulasi oleh kekurangan pengalaman dan kekurangmampuan mereka dalam melaksanakan fungsi-fungsi legislasi, bujeting dan pengawasan yang seharusnya mereka emban. Akhirnya mereka masuk dalam sebuah sistem yang jauh lebih buruk, semacam predator parlemen, atau parlemen pemangsa yang semacam menjauhkan dari harapan publik.

Secara umum, persepsi (baik dan sangat baik) publik terhadap upaya DPR dalam memberantas korupsi sekitar 51,3 persen, moral anggota DPR sekitar 39,8 persen, kapasitas anggota DPR sekitar 55,7 persen dan tingkat keaktifan dalam mengikuti sidang DPR sekitar 40,4 persen. Dari empat indikator di atas, masyarakat menilai bahwa anggota DPR sekarang ini punya masalah serius dengan isu-isu moral dan juga tingkat keaktifan di DPR yang relatif rendah.

Sementara ketika reponden tentang kunjungan anggota DPR keluar negeri, sekitar 0,8 persen responden menjawab sangat setuju, 18,9 persen setuju, 61,3 persen tidak setuju, 9,8 persen sangat tidak setuju dan 9,3 persen menjawab tidak tahu. Di antara beberapa pernyataan yang kita sodorkan, masyarakat terbelah sebagian mengatakan bahwa anggota DPR lebih banyak memperjuangkan kepentingan rakyat tapi pada kisaran yang sama responden mengatakan bahwa anggota DPR banyak yang memperjuangkan kepentingan partainya.

Proporsi yang menjawab anggota DPR lebih banyak memperjuangkan kepentingan sendiri juga besar. Sebagian besar masyarakat pernah mendengar pemberitaan soal anggota DPR yang tersangkut kasus hukum/korupsi dan mendengar informasi soal kasus moral. Tingkat kepercayaan publik terhadap media massa, DPR, birokrasi dan partai politik dalam menyalurkan aspirasi masyarakat relatif rendah. Dari empat lembaga tersebut, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang paling rendah.

Secara umum, masyarakat menilai kinerja anggota DPR dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, memberi masukan kepada pemerintah, legislating, bujeting dan responsif terhadap aspirasi rakyat dalam memperjuangkannya dalam bentuk kebijakan berada di kisaran 45 persen hingga 57 persen.

Dari kelima fungsi tersebut, tingkat responsiveness anggota DPR terhadap aspirasi rakyat dinilai paling rendah. Adapun kinerja lembaga-lembaga lainnya, menunjukkan lembaga kepresidenan dan tentara yang paling diapresiasi publik. Sementara itu, partai politik, Kementerian Koordinator Ekonomi dan Kejaksaan berada paling rendah.

Jadi ini berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan anggota DPR ini?

Oh iya. Kalau dari sisi pendidikan jauh lebih berpendidikan banyak yang S2 dan S3. Semua memang anggota partai politik semua, tapi mereka baru periode sekarang menjadi anggota DPR, makanya saya sebut muka baru.

Efektif tidak studi banding yang dilakukan DPR sekarang?

Kalau dikatakan efektif atau tidak, tapi sebagian besar memang tidak efektif. Saya sendiri tidak menolak bahwa studi banding itu penting. Tapi mekanisme studi banding ini diperjelas. Sebelum mekanisme, transparansi dan konsep studi banding diperjelas, seharusnya studi banding itu dimoratorium atau dihentikan sementara dahulu.

Konsep, urgensi, mekanisme dibereskan dahulu, baru kemudian bicara kelanjutan studi banding. Ada beberapa studi banding yang urgen, misalnya studi banding untuk perumusan RUU Otoritas Jasa Keuangan, dan dilakukan di suatu negara yang tepat sasaran.

Tapi kita lihat saat ini banyak studi banding yang dilakukan DPR hanya sekadar menutupi nafsu pelesiran saja. Tidak tepat sasaran, urgensinya tidak jelas, kabur dan tidak akuntabel, mekanisme tidak jelas, sebagian besar seperti itu. Misalnya dalam penyusunan RUU Rumah Susun, itu studi banding tidak tepat dan salah sasaran. Yang terakhir kasus studi banding RUU Fakir Miskin di Australia. Kita tahu, postur kemiskinan di Australia dan Indonesia lain.

Di Australia didominiasi kemiskinan dialami suku Aborigin yang mendiami wilayah Australia bagian utara. Coba dicek kok anggota Komisi VIII DPR malah jalan-jalannya ke Sydney dan Melbourne, padahal konsentrasi kemiskinin ada di Darwin dan wilayah utara lainnya. Ini kelihatan dari awal bila nafsu pelesiran jelas, karena tujuan turis kan ke Sydney dan Melbourne.

Melihat penolakan masyarakat menolak studi banding, apakah studi banding layak dihapuskan?

Kalau saya fair saja. Saya kira penolakan besar masyarakat itu terkait dengan sering kalinya anggota DPR memanipulasi alasan peningkatan kinerja untuk menjustifikasi studi banding, iya. Tapi kalau misalnya anggota DPR berhasil meyakinkan publik, bahwa studi banding urgen, konsep jelas, transparan, tepat sasaran, mungkin publik tidak akan menolak sebesar itu.

Jadi saya fair saja, studi banding dalam beberapa hal memang perlu seperti dalam pembahasan RUU Otoritas Jasa Keuangan perlu, kita harus akui itu. Tapi jangan sampai studi banding itu dipakai sekadar untuk membuang-buang uang anggaran. Seperti yang kita lihat sekarang kesan buang-buang anggarannya terlihat, konsep tidak jelas dan seterusnya.

Kalau dihapus tidak, hanya diperjelas saja konsep, urgensi, mekanisme yang tepat dan tranparasi yang jelas. Kalau syarat-syarat ini dipenuhi, paling studi banding itu tidak banyak, selebihnya bisa ganti format studi banding dengan memanggil ahli dari luar negeri, kan lebih murah.

 

Tidak ada komentar: