BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 02 Mei 2011

Jalan Berliku Pembebasan Awak Sinar Kudus

Begitu mendengar hendak diserang,perompak membagi sandera dalam beberapa kelompok. Rawan.

VIVAnews - Setelah lebih dari 46 hari terombang-ambing dalam cengkeraman perompak Somalia, 20 Anak Buah Kapal Sinar Kudus akhirnya dibebaskan. Kabar pembebasan ini dipastikan oleh Samudera Indonesia, perusahaan pemilik kapal itu dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu sore, 1 Mei 2011.

"Berita pembebasan itu dapat kami pastikan. Mereka dibebaskan kurang lebih pada pukul 17.10 WIB atau 13.10 waktu Somalia," kata Wakil Direktur PT Samudera Indonesia, David Batubara, dalam acara konferensi pers itu.

Kabar pembebasan para awak kapal itu, kisah David, sebenarnya telah diketahui PT Samudera Indonesia pada Minggu pagi.  Petinggi perusahaan itu kian yakin setelah sebuah media asing memberitakan pembebasan awak kapal yang dipimpin Kapten Slamet Jauhari ini. Media itu menulis bahwa 20 awak kapal Indonesia itu dibebaskan dengan uang tebusan senilai US$4,5 juta atau sekitar Rp38,5 miliar.

Meski sejumlah media kemudian ikut memberitakan dan kian ramai lah kabar soal pembebasan itu, manajemen Samudera Indonesia belum berani mengumumkan apalagi memastikan pembebasan itu.   Sebabnya adalah,"Masih ada perompak di atas kapal," kata David.

David kemudian melanjutkan, kepastian bebasnya kapal yang memuat nikel senilai Rp1,5 triliun ini baru diumumkan setelah menajemen memastikan bahwa kendali sepenuhnya sudah berpindah ke tangan awak kapal.  Sinar Kudus pun telah bergerak menuju pelabuhan yang aman. Tanpa todongan moncong bedil para lanun.

Betulkah uang tebusannya US$ 4,5 juta dolar. David tidak menjawab. Alasannya, demi keselamatan sandera lain yang masih berada dalam cengkeraman perompak Somalia yang berbeda. Para perompak di Teluk Aden memang terbagi dalam sejumlah kelompok. Dan sedikitnya 30 kapal dari berbagai negara disandera di sana. "Masih ada sandera lain. Informasi sekecil apapun menjadi sangat sensitif," ujar David.

46 Hari Dalam Todongan Senjata
Kapal MV Sinar Kudus hilang kontak dengan perusahaan sejak 16 Maret 2011. Saat itu, kapal berbobot mati 8.900 ton sedang melaju dari Pomala, Sulawesi Tenggara menuju Rotterdam, Belanda, dengan muatan bijih nikel milik PT Aneka Tambang.

Dalam perjalanan, tanggal 11 Maret 2011, Slamet Jauhari sempat memberi kabar kepada keluarga bahwa keadaan mereka baik-baik saja. Saat itu kapal sudah tiba di Kolombo.
Lima hari kemudian, tanggal 16 Maret, ketika kapal itu sedang melaju di sekitar 320 mil timur laut pulau Socotra, pulau kecil di Samudera Hindia yang masuk dalam wilayah Republik Yaman, sejumlah perompak datang mengurung kapal itu. Para lanun itu mengarahkan moncong bedil ke kapal.
Sejumlah speedboat mengurung kapal itu. Beberapa lanun naik kapal dan banyak yang naik lewat buritan. Dalam beberapa tempo, kendali kapal itu ditangan para perompak. Mereka lalu mengiring kapal itu ke pantai yang mereka kuasai.
Beruntung ada alat dikapal itu yang jika dipencet, kantor pusat Samudera Indonesia di Jakarta bisa tahu bahwa kapal itu dibajak. Kabar soal sandera itu kemudian disampaikan manajemen perusahaan kepada keluarga awak kapal. Sampai di situ soal perompakan ini belum banyak diketahui publik. Departemen Luar Negeri dan petinggi perusahaan berjanji membebaskan para awak.
Tapi selama beberapa hari,  keluarga merasa bahwa tidak ada kemajuan dalam penangganan para sandera itu.  Cemas dengan nasib  ayahnya yang diujung maut itu,  anak kapten kapal Slamet Jauhari, Rezky Judiana kemudian mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Surat yang bertajuk, "Bapak Presiden Tolong Bebaskan Ayah Saya" itu juga dikirim ke sejumlah media massa.

Dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, Rezky meminta Presiden mengambil tindakan untuk membebaskan ayahnya dan 19 awak kapal lain. Rezky pun menjelaskan kondisi ayahnya yang dalam keadaan aman, namun persediaan makanan sudah kritis dan banyak awak kapal yang sakit.
Selain itu, Ketua Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi juga mengatakan bahwa selain banyak ABK yang sakit karena kekurangan makanan, kondisi psikologis mereka pun mengkhawatirkan.

"Mereka stress. Karena sebulan lebih di bawah todongan senjata," kata Hanafi. Karena itu KPI mendesak pemerintah menyiapkan fasilitas untuk mengatasi trauma 20 ABK itu jika berhasil dipulangkan.
"Karena banyak orang yang menjadi gila akibat trauma ditawan dan hidup dalam todongan senjata," tegas Hanafi. 

Proses Negosiasi Panjang
Dituding banyak pihak lamban mengatasi masalah ini, Presiden SBY membantah keras. Dia juga keras membantah bahwa pemerintah tidak melakukan apapun terhadap kasus ini.  SBY mengaku sudah cepat tanggap, bahkan sudah bertindak semenjak pertama kali mendengar kabar pembajakan itu.

"Ada dua pilihan, negosiasi atau serang," kata Presiden SBY dalam konferensi pers tanggal 12 April 2011.  Membayar tebusan atau menghela bala tentara. Dua pilihan itu, kata SBY, ada untung ruginya.
Jalan negosiasi pun tidak lah mudah. Karena para pembajak mudah berubah. Awalnya, perompak Somalia meminta tebusan sebesar US$2,6 juta. Namun karena tidak ada respon, para lanun ini kemudian menaikkan tebusan hingga US$3,5 juta.
Kemudian, lanun Afrika ini sempat menurunkan tebusan lagi hingga US$3 juta. Menurunnya jumlah tebusan disebutkan karena kondisi keuangan perusahaan yang buruk dan kesamaan sebagai muslim antara penyandera dengan yang disandera.

Namun, proses negosiasi ini sempat terganggu dengan sejumlah kabar akan kemungkinan dilakukannya operasi militer oleh Pasukan Khusus TNI untuk membebaskan sandera. Para perompak Somalia ini pun mulai kehilangan kesabaran, kemudian dikabarkan menaikkan tuntutan.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto juga mengakui pemerintah siap memberangkatkan dua kapal militer dalam misi pembebasan. Namun, dengan pertimbangan keselamatan 20 ABK, aksi militer urung dilakukan.

Djoko pun kemudian menyebutkan, Pemerintah dan PT Samudera Indonesia akan mengedepankan negosiasi untuk membebaskan sandera. Seakan belajar dari kesalahan sebelumnya, aksi negosiasi pun dilakukan senyap, jauh dari ekspose media.

Namun, saat itu Djoko mengingatkan proses negosiasi tidak berlangsung mudah. "Memerlukan waktu, karena tempatnya bukan di Klender tapi di Somalia sana," kata Djoko. Negosiasi itu kemudian sukses, dan para awak kapal segera kembali ke keluarga mereka.

Proses negosiasi itu dipilih --tidak menyerang dengan kekuatan militer-- kata Kepala Pusat Penerangan TNI Laksda Iskandar Sitompul yang hadir dalam konferensi pers bersama Samudera Indonesia hari Minggu 1 Mei 2011 itu, setelah mengetahui situasi dan kondisi sandera.

"Semua sandera dipencar-pencar dan tidak berada di satu kapal yang sama. Jadi kalau kita melakukan operasi militer maka bisa jadi cuma 3 yang selamat," kata Iskandar.

Tidak ada komentar: