BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 24 Mei 2011

Sengketa Tanah Dominasi Kasus HAM di Sumbar

Pengaduan dugaan pelanggaran HAM terus mengalami perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya. 

VIVAnews - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sumatera Barat menyatakan masalah tanah menjadi persoalan yang paling banyak memunculkan aduan pelanggaran HAM. Persoalan tapal batas dan tanah ulayat dengan perusahaan perkebunan menjadi penyumbang angka tertinggi aduan.

“Dari 121 pengaduan kasus pelanggaran HAM yang kami terima sepanjang tahun 2010, masalah tanah mendominasi,” ujar Kepala Kantor Komnas HAM Sumbar Ali Ahmad, Selasa, 24 Mei 2011.

Persoalan tanah ini ditemukan di sejumlah daerah seperti Kabupaten Solok Selatan, Pasaman Barat, Pesisir Selatan. Dari data Komnas HAM Sumbar tahun 2010, kasus hak sipil politik tercatat mencapai 55 kasus.
Lebih dari setengahnya telah diselesaikan Komnas HAM Sumbar, sedangkan sebanyak 3 kasus diteruskan ke Komnas HAM pusat. Sementara di bidang ekonomi sosial budaya, tercatat sebanyak 40 kasus.

Pada bidang perlindungan kelompok khusus, pelanggaran terbesar terjadi pada anak. Dari 28 kasus yang ditangani Komnas HAM Sumbar, kasus terhadap hak anak mencapai 14 kasus sedangkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tercatat sebanyak 10 kasus. Sisanya, kasus terkait pelanggaran hak perempuan yakni 4 kasus.

Menurutnya, pengaduan dugaan pelanggaran HAM terus mengalami perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya. “Ini berarti, kami berhasil menyosialisasikan tentang HAM pada masyarakat sehingga mereka tahu ke mana harus melapor jika terjadi dugaan pelanggaran HAM,” ujar Ali.

Dari 121 pengaduan yang diterima Komnas, sebanyak 18 kasus ditutup karena alasan tidak cukup bukti untuk diteruskan. Namun, Ali mengaku, kasus-kasus yang telah ditutup tersebut berkemungkinan dibuka kembali jika ada bukti baru.

Kasus tanah terakhir yang diterima Komnas HAM adalah pengaduan dari kelompok pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI). Kemarin, PBHI Sumatera Barat melaporkan Kapolresta Solok, AKBP Lutfi Mardian, dan anggotanya ke Komnas HAM. Laporan ini juga dilengkapi video perlakuan kekerasan anggota Polresta Solok saat mengamankan eksekusi tanah di Nagari Tikalak, Kabupaten Solok pada 28 April lalu.

“Dari gambar ini jelas terlihat bahwa saya dipukul pakai tameng, tangan kosong, di kepala bagian belakang, serta ditendang,” ujar Eddy Ramadhan Chaniago, korban saat eksekusi tanah seluar 10.775 meter persegi.

Sedangkan rekaman video yang diterima Komnas HAM Sumbar dari pihak polisi, aksi kekerasan ini sepintas terlihat seperti aksi dorong-dorongan. Dorongan ini mengakibatkan Eddy Ramadhan keluar dari kerumunan petugas polisi.

Kejadian ini tepat berada di hadapan Kapolresta Solok, tapi menurut PBHI, tidak ada tindakan untuk mencegah aksi itu.

Menanggapi laporan PBHI tersebut, Humas Polda Sumbar AKBP Kawedar mengaku, pihaknya tidak keberatan. “Nanti penyidik Polda akan melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut dengan melihat fakta-fakta yang ada,” ujar Kawedar.

Polda juga akan memanggil kedua belah pihak untuk mengklarifikasi kebenaran kejadian ini. Ia berjanji, jika laporan PBHI itu benar, pasti akan diproses secara hukum. “Jika tidak terbukti, tentunya anggota Polresta tersebut akan keberatan karena sudah tercemar nama baiknya, dituduh telah menganiaya,” ujar Kawedar.

Komnas HAM berjanji akan mengkaji fakta-fakta berupa rekaman video dan pengaduan yang diterimanya. “Kita pelajari dulu fakta-fakta yang ada sambil mengumpulkan fakta di lapangan,” ujar Sumbar, Ali Ahmad, usai menerima pengaduan tersebut.

Tidak ada komentar: