VIVAnews - Pemerintah mewaspadai potensi kembali membengkaknya realisasi anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) akibat kekhawatiran lonjakan harga minyak dunia.
Antisipasi itu muncul setelah meningkatnya ketegangan di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah yang merupakan negara penghasil minyak mentah dunia.
"Pegang pernyataan saya, harga minyak bisa langsung naik," kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo di kantornya, Jakarta, Jumat, 6 Januario 2012.
Agus menjelaskan, langkah antisipasi pemerintah ditempuh dengan berkaca pada pengalaman pergerakan harga minyak mentah dunia pada tahun 2011. Kala itu, kenaikan harga minyak membuat kondisi fiskal, khususnya subsidi BBM, membengkak cukup signifikan
Salah satu langkah yang diambil pemerintah adalah dengan menyiapkan cadangan risiko fiskal. Selain itu, pemerintah juga berencana menggelar program pembatasan BBM bersubsidi, konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG), serta rencana finalisasi penyesuaian tarif listrik.
"Itu adalah bentuk usaha kami untuk bisa mengelola energi lebih baik," kata Agus.
Terkait volume BBM yang hanya turun sedikit dibandingkan tahun 2011 padahal pemerintah memberlakukan pembatasan subsidi, Menkeu beralasan penetapan itu diambil setelah memperhitungkan asumsi kenaikan konsumsi masyarakat.
Tahun ini pemerintah menetapkan kuota volume BBM bersubsidi sebanyak 37,5 juta kiloliter, sedikit berkurang dari alokasi 2011 sekitar 40 juta KL.
"Untuk Indonesia yang konsumsinya meningkat seperti sekarang, target itu cukup agresif. Semua pihak harus berkomitmen untuk mencapai itu," kata Agus. "Kalau dihitung secara normal, konsumsi bisa mencapai 43 juta KL."
Ditambahkan Agus, isu pengendalian BBM dan penyaluran dana subsidi yang tepat sasaran sebetulnya merupakan hal-hal yang ditunggu oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Terlebih lagi alokasi anggaran subsidi energi pada tahun lalu membengkak menjadi Rp110 triliun.
"Jumlah anggaran itu kan besar, kalau tidak digunakan secara tepat sasaran, sayang," ujar Agus. (umi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar