BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 22 Januari 2013

Ibukota Tetap, Jakarta Perlu Ditata

INILAH.COM, Jakarta - Banjir besar yang melanda DKI Jakarta Raya Januari 2013 ini, kembali mengundang beragam reaksi. Yang paling mencolok adalah munculnya gagasan lama tentang perlunya pemindahan Ibu Kota NKRI Jakarta ke kota baru.
Dengan pemindahan itu, semua kegiatan pemerintah dan seluruh lembaga tinggi negara, tidak lagi menggangu penduduk Jakarta, Kecamatan Jonggol di Jawa Barat kembali disebut-sebut sebagai pengganti Jakarta. Tapi ada pula pandangan agar ibukota NKRI perlu direlokasi ke luar Jawa.
Makassar (Sulawesi Selatan) dan Palangkaraya (Kalimantan Tengah) merupakan dua kota yang disebut sebagai alternatif. Gagasan ke Jonggol, merupakan kelanjutan dari pemikiran pihak swasta yang muncul di era pemerintahan Soeharto, sekitar 20 tahun lalu.
Sementara ke Palangkaraya, membangkitkan kembali pemikiran Proklamator Soekarno. Bahwa ibukota NKRI perlu berada di tengah-tengah wilayah Indonesia. Hampir sama alasannya dengan pemilihan kota Makassar.
Pemikiran tentang Jonggol, kurang begitu mendapat respons. Sebab ada yang mencurigai gagasan itu sarat dengan kepentingan bisnis. Gagasan itu seakan meniru Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahan dari Kualalumpur ke Putera Jaya. Tapi sejatinya tidak.
Putera Jaya merupakan sebuah kota cyber, mewajibkan semua birokrat menguasai penggunaan Teknologi Informasi (TI). Sementara ketika Jonggol dirancang tak pernah disinggung sama sekali tentang bakal digunakannya IT disana. TI seakan masih terlalu mahal buat Jonggol atau Indonesia.
Pada saat pemindahan ke Jonggol mengemuka, kesemerawutan lalu lintas Jakarta, belum lagi separah seperti situasi di 2013 ini. Pemukiman kumuh, juga belum merata. Jakarta belum kelihatan sebuah kota yang over populasi. Gagasan pemindahan ibukota ke Jonggol akhirnya meredup bersamaan dengan jatuhnya rezim Soeharto di pertengahan 1998.
Ada manfaatnya gagasan pemindahan itu tidak sempat disetujui. Sebab jika itu terjadi, saat ini Presiden SBY pasti sedang berkantor di Jonggol. Dan besar kemungkinan, salah satu keluhan lainnya terhadap SBY, adalah mahalnya biaya hidup disana. Mengapa ? Karena begitu ide Jonggol bocor ke tengah masyarakat, harga tanah di kawasan itu dan sekitarnya secara tiba-tiba meroket. Semua menjadi serba mahal.
Yang cukup menarik dari gagasan pemindahan ibukota kali ini, seakan-akan, keterlambatan memindah ibukota NKRI merupakan penyebab utama terjadinya banjir dan kesemrawutan Jakarta. Padahal kaitannya tidak ada sama sekali.
Ada semacam penggiringan siapapun yang menjadi Presiden RI atau Gubernur DKI Jaya, pemindahan ibukota NKRI, merupakan sebuah keharusan. Argumentasi yang dikemukakan, tidak pernah menghitung berapa biaya yang bakal diakibatkan oleh pemindahan itu. Tidak dipikirkan, kesibukan memindahkan ibukota akan menyedot enerji lebih banyak, sehingga prioritas membangun bangsa justru tersisihkan.
Yang lebih menarik lagi pemindahan ibukota NKRI itu tidak disertai oleh konsep dan argumentasi yang disusun oleh ahli tata kota. Yang bersuara hanyalah para praktisi. Yang dijadikan acuan hanyalah pengalaman negara maju seperti di Amerika, Eropa dan Asia.
Hanya disebutkan, Amerika Serikat pernah memindahkan ibukota dari New York ke Washington. Jerman dari Bonn ke Berlin, Australia dari Sydney ke Canberra, Jepang dari Kyoto ke Tokyo. Tanpa ada penjelasan apa yang menjadi alasan dari pemindahan itu.
Padahal perbandingan ibukota RI dengan negara lain di atas, tidak atas dasar "apple to apple". Sebab yang sudah pasti pemindahan semua ibukota yang disebutkan di atas, bukan oleh karena alasan banjir dan kemacetan lalu lintas. Pemindahan itu karena kebutuhan dengan alasan yang berbeda satu sama lain.
Singkatnya mereka yang pro pemindahan ibukota NKRI itu lebih melihat memindahkan ibukota sebagai sebuah pekerjaan yang mudah. Jauh lebih mudah dari pada mengatasi persoalan banjir dan kemacetan lalu lintas.
Padahal bila yang menjadi tujuan adalah menciptakan kehidupan yang lebih nyaman tanpa gangguan banjir dan kesemrawutan lalu lintas, maka yang harus dilakukan adalah perbaikan dan penataan infrastruktur. Jadi bukan dengan solusi memindahkan ibukota. Bila solusi pemindahan yang dipilih, bisa-bisa hasilnya hanya memindahkan masalah dari kota lama ke kota baru.
Kalau diniati, Jakarta tetap bisa menjadi sebuah kota bebas banjir dan bersih dari kesemerawutan lalu lintas. Jangan lupa, Jakarta menjadi macet, karena kota ini tujuan akhir dari para pemimpi.
Ibukota ini sejak awal kemerdekaan bahkan masih di era penjajah, sudah memiliki daya tarik tersendiri. Sebagai kota proklamasi, Jakarta memiliki makna sebagai kota yang merdeka. Sehingga daya tarik Jakarta, bukan semata-mata karena semua fasilitas yang diperlukan, tersedia di sini.
Banjir mengarah ke Jakarta, sebab Jakarta berada di dataran lebih rendah dan pinggir laut. Tugas manusialah mengalihkan arah banjir itu. Banjir dan kesemerawutan lalu lintas, baru terjadi di tahun-tahun belakangan. Penyebabnya antara lain karena pemerintah ibukota tidak menciptakan budaya tertib bagi warganya.
Sama halnya dengan banjir dan kesemerawutan lalu lintas. Semuanya terjadi karena pengelola ibukota tidak tertib menerapkan semua peraturan. Bencana banjir dan kesemerwutan lalulintas terjadi karena akumulasi dari soal serius yang diremehkan.
Otoritas DKI yang seharusnya menjadi panutan dalam soal ketertiban, justru ikut menciptakan ketidak tertiban. Contoh faktualnya cukup banyak. Mulai dari soal pembuatan drainase atau saluran air, sampai dengan pemberian izin bangunan. Pembangunan Jakarta berjalan tanpa arah dan cita rasa.
Rencana Induk Tata Kota Jakarta, hanya ada di atas kertas. Pelaksanaannya amburadul, seiring hadirnya manusia-manusia yang bekerja dengan lebih mengutamakan kepentingan sesaat dan pribadi. Status Jakarta sebagai Daerah Khusus, tidak menghadirkan pemimpin atau Gubernur yang memiliki kelebihan khusus. Sejarah mencatat hanya Ali Sadikin, almarhum, yang dipandang sebagai pemimpin ibukota yang memiliki visi yang jelas tentang bagaimana membangun Jakarta.
Jadi tidak nyamannya Jakarta sebagai kota hunian saat ini, antara lain karena absennya pemimpin yang berwawasan. Sudah begitu, keadaan diperparah oleh sikap birokrat di lini pelaksana, yang tidak profesional.
Jadi banjir dan kesemerawutan lalulintas, hanya merupakan ujung dari tidak tertibnya para birokrat yang menjadi penentu kebijakan. Oleh sebab itu jika yang menjadi penyebab munculnya banjir dan kesemrawutan lalu lintas sebagai akibat dari kinerja birokrasi yang jelek, ciptakanlah birokrat yang berkinerja produktif.
Hampir semua kota besar di dunia, memiliki sistem angkutan kereta bawah tanah. Sistem itu sudah terbukti mampu mengurangi kemacetan lalu lintas dan menciptakan transportasi massal yang murah.
Tapi gagasan itu selalu ditentang, dengan alasan struktur tanah di Jakarta, sangat rentan. Penentang tidak pernah berpikir bahwa teknologi untuk mendukung sistem itu, sudah lama diciptakan manusia dan terus diperbaharui.
Hong Kong contohnya. Bekas koloni Inggris ini sudah punya jalur kereta dan mobil di bawah laut, jauh sebelum gagasan yang sama mau digunakan di Jakarta. Artinya pekerjaan membangun lalu lintas di dalam tanah yang strukturnya lebih rentan dengan tanah Jakarta, tak ada masalah. Fakta ini diperkuat lagi pada 1990-an. Kota Callais (Prancis) dihubungkan dengan jalur lalulintas di bawah laut dengan Dover (Inggris).
Oleh sebab itu yang diperlukan oleh Jakarta saat ini adalah sebuah penataan. Bukan mengosongkannya dari aktifitas pemerintah pusat. Dan penataan itu hanya mungkin dilakukan oleh manusia atau pemimpin yang berpikiran konstruktif dan progresif. [mdr]

Tidak ada komentar: